Update Sidang Perkara Korupsi Bappeda Siak, Saksi Akui Biaya Dinas Dipotong 10 Persen, Oleh Siapa?
Update kasus dugaan korupsi Bappeda Siak, di sidang lanjutan saksi akui biaya dinas dipotong 10 persen, oleh siapa?
Penulis: Rizky Armanda | Editor: Nurul Qomariah
TRIBUNPEKANBARU.COM, PEKANBARU - Update kasus dugaan korupsi Bappeda Siak, di sidang lanjutan saksi akui biaya dinas dipotong 10 persen, oleh siapa?
Sidang dugaan korupsi anggaran rutin di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Siak tahun 2014-2017 kembali digelar, Senin (3/5/2021).
Empat orang saksi dihadirkan dalam sidang tersebut.
Sidang digelar di Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, dipimpin majelis hakim yang diketuai Lilin Herlina.
Dalam perkara yang ditangani Jaksa Pidana Khusus (Pidsus) Kejati Riau ini, duduk sebagai terdakwa, Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Riau non aktif, Yan Prana Jaya Indra Rasyid.
Muhammad Afandi, staf bagian Sekretariat Bappeda Siak, menjadi orang yang pertama yang bersaksi di hadapan hakim.
Menurutnya selama bertugas di Bappeda Siak mulai Januari 2017, ia sempat beberapa kali melakukan perjalanan dinas.
"Perjalanan dinas ke Pekanbaru, ada 3 kali," sebutnya.
Lanjut dia, untuk perjalanan dinas ini awalnya menggunakan biaya sendiri.
Setelah itu, barulah nanti ia mempersiapkan laporan administrasi untuk pencairan uang perjalanan dinas ke bidang keuangan.
"Nanti baru uangnya keluar, tidak tentu (keluar uangnya). Tergantung dana yang ada," tuturnya.
"Yang menyerahkan uang bendahara. Saya yang datang (ke tempat bendahara)," imbuh dia.
Namun dipaparkan saksi, saat tanda tangan kwitansi tanda terima, jumlah uang tidak sesuai dengan nominal yang tertera, karena sudah dipotong 10 persen.
Pengakuan saksi Afandi, ia tidak tahu uang perjalanan dinas dipotong untuk kepentingan apa. Ia juga tidak mempertanyakan itu ke bendahara.
"Hanya diberitahu sama bendahara ada pemotongan," ucapnya.
"Untuk apa katanya dipotong 10 persen?," tanya hakim.
"Tidak ada dijelaskan," jawab saksi.
Dikatakan saksi, adanya pemotongan sebanyak 10 persen dari biaya perjalanan dinas itu, diketahuinya saat pertama kali mengambil uang yang sudah cair di keuangan.
Hakim Ketua Lilin Herlina, selanjutnya mempertanyakan tentang keterangan saksi saat penyidikan.
Saksi dalam BAP-nya, menyinggung soal adanya kebijakan Kepala Bappeda saat itu, Yan Prana terkait pemotongan 10 persen.
"Ini dari mana saudara tahu, kenapa bilang tidak tahu (kenapa ada pemotongan)," cecar hakim.
Saksi sempat terdiam sesaat. Kemudian dia mengaku tidak ada menerangkan seperti itu.
"Jadi bagaimana keterangan saudara di penyidik ini? Saudara baca tidak itu jawaban saudara?" tanya hakim.
"Baca Bu," jawab saksi.
"Kenapa tidak menerangkan itu (di persidangan), padahal ada di BAP saudara?" tanya hakim ketua lagi.
Hakim juga menanyakan, jika memang itu tidak ada disampaikan saksi saat penyidikan kepada jaksa, kenapa tetap ditandatangani BAP tersebut.
Menurut saksi, dirinya ketika itu tidak membaca kembali keseluruhan BAP dirinya.
"Saya tidak tahu siapa yang menyuruh pemotongan (10 persen)," bebernya.
Berlanjut, seingat saksi, dirinya ada 3 kali melakukan perjalanan dinas.
Yaitu, di bulan Maret 2017 sebanyak 2 kali, dan di bulan April 2017 sebanyak 1 kali.
Kini, giliran hakim anggota Iwan Irawan yang bertanya kepada saksi.
"Kok ada jawabannya ini (pemotongan atas kebijakan pimpinan Kepala Bappeda, red), kamu dipaksa apa gimana?" tanya hakim.
Saksi menjawab, ketika itu tidak ada paksaan.
"Kalau kamu tidak tahu, kenapa kok ada jawaban kamu di (BAP) nomor 12?" tanya hakim Iwan lagi.
"Saya tidak tahu, saya tidak pernah menyatakan itu," jawab saksi.
Ia pun menyatakan bantahan atas keterangannya di-BAP tersebut. Sembari mengatakan saat itu bendahara keuangan adalah Ade Kus Endang.
"Ada dia (bendahara) bicara itu kebijakan pimpinan?," tanya hakim kembali.
"Tidak ada," jawab saksi.
Berlanjut giliran Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang mencecar saksi. Dimana JPU dalam hal ini memastikan, jika uang yang dipotong itu nyatanya adalah uang pribadi saksi.
"Atas pemotongan itu saudara keberatan atau tidak?" tanya JPU.
"Tidak keberatan," jawab saksi. Karena katanya, pemotongan itu sudah kebijakan dan diikuti oleh seluruh pegawai di Bappeda Siak.
"Saudara sudah disumpah loh. Keterangan palsu itu ada pidananya, tolong hargai persidangan ini," ucap JPU mengingatkan saksi.
"Saudara harus jujur, jujur saja," ungkap hakim ketua menimpali.
"Yang saya ketahui itu ada pemotongan, tapi kebijakan siapa saya tidak tahu," ungkap saksi.
"Sepengetahuan saksi bendahara bertanggungjawab kepada siapa?" JPU kembali bertanya.
Saksi Afandi menjawab, bendahara bertanggungjawab pada pimpinan.
"Siapa? Saudara terdakwa ya?" tanya JPU memastikan.
"Iya, tahun 2017," beber saksi.
Saksi lainnya, Muhammad Faisal, Herianto, dan Awaludin, pada intinya juga membenarkan tentang adanya pemotongan.
Di antara mereka, bahkan ada yang mengaku keberatan, namun tidak berani menyampaikan.
Proses Penyidikan Masih Berjalan
Selain Yan Prana, dalam perkembangan penanganan perkara ini, jaksa juga menetapkan Donna Fitria, selaku mantan bendahara pengeluaran di Bappeda Siak sebagai tersangka.
Saat ini proses penyidikan masih berjalan.
Sementara dalam surat dakwaan disebutkan, Yan Prana dan Donna Fitrian (berkas perkara terpisah) diduga melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, sebesar Rp2,89 miliar, atau tepatnya Rp.2.896.349.844,37.
Ini sebagaimana laporan hasil audit Inspektorat Kota Pekanbaru Nomor: 03/LHP/KH-INSPEKTORAT/2021.
Yan Prana sebagai Kepala Bappeda Kabupaten Siak juga sebagai Pengguna Anggaran (PA) dari tahun anggaran (TA) 2013 sampai dengan 2017, melakukan pemotongan 10 persen atas anggaran perjalanan dinas mulai tahun 2013 sampai dengan 2017. Berdasarkan DPPA SKPD Nomor 1.06.1.06.01 Tahun 2013 - 2017, total realisasi anggaran perjalanan dinas yakni sebesar Rp15.658.110.350.
Januari Tahun 2013 lalu, saat terjadi pergantian Bendahara Pengeluaran dari Rio Arta kepada Donna Fitria, Yan Prana mengarahkan untuk melakukan pemotongan biaya sebesar 10 persen dari setiap pelaksanaan kegiatan perjalanan dinas.
Donna Fitria sebagai Bendahara Pengeluaran di Bappeda Siak lantas melakukan pemotongan anggaran perjalanan Dinas Bappeda Siak tahun anggaran 2013-Maret 2015 pada saat pencairan anggaran SPPD setiap pelaksanaan kegiatan.
Besaran pemotongan berdasarkan total penerimaan yang terdapat didalam Surat Pertanggung Jawaban (SPJ) perjalanan dinas dipotong sebesar 10 persen.
Uang yang diterima masing-masing pelaksana kegiatan, tidak sesuai dengan tanda terima biaya perjalanan dinas.
Pelaksana kegiatan sebagaimana yang tercantum pada Surat Perintah Tugas (SPT), terkait pelaksanaan perjalanan Dinas Bappeda Siak pada tahun 2013, sebelumnya sudah mengetahui bahwa terdapat pemotongan anggaran perjalanan Dinas Bappeda Siak atas arahan Yan Prana Jaya.
Alhasil, pemotongan anggaran perjalanan dinas sebesar 10 persen tersebut, dilakukan setiap pencairan.
Uang dikumpulkan dan disimpan Donna Fitria selaku Bendahara Pengeluaran di brankas bendahara Kantor Bappeda Siak.
Donna Fitria, mencatat dan menyerahkan kepada Yan Prana secara bertahap sesuai dengan permintaannya.
Atas perbuatannya, Yan Prana dijerat dengan pasal berlapis. Yakni, dengan Pasal 2 ayat (1), Jo Pasal 3 Jo Pasal 10, Jo Pasal 12 e dan f Undang-undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Melihat peran besar Donna Fitria dalam perkara itu, mengantarkannya sebagai tersangka baru.
Ternyata status itu disandangnya jauh hari sebelum surat dakwaan terhadap Yan Prana dibacakan, yakni pada Februari 2021.
( Tribunpekanbaru.com / Rizky Armanda )