Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

Kemenkominfo Gelar Webinar di Pekanbaru, Ajak Wartawan Jadi Penjernih Informasi di Tengah Infodemik

Di tengah pandemi Covid-19, informasi tentang wabah ini berseliweran tanpa batas. Wartawan diminta menjadi agen penjernih informasi

Editor: Rinal Maradjo
istimewa
Keterangan foto: (ki-ka) Emrus Sihombing, Heru Margianto, Mayong Suryo Laksono, Dwitri Waluyo, dan Algooth Putranto di hotel Pangeran Pekanbaru, Riau (27/5) 

TRIBUNPEKANBARU.COM,  PEKANBARU - Pekerjaan sehari-hari seorang jurnalis di masa pandemi Covid-19 berhadapan dengan infodemik yang melimpah ruah di tengah masyarakat.

Produk jurnalistik, misalnya berita, sering kali malah tidak mendapat perhatian dari masyarakat yang terlanjur kebanjiran informasi yang tidak berdasar, namun menyebar dengan cepat, dan menciptakan ketidakpastian.

"Jurnalis dituntut untuk setia kepada fakta dan peristiwa sehingga berita yang dihasilkan dapat menjernihkan informasi dan memenuhi hak masyarakat untuk tahu," kata Mayong Suryo Laksono Anggota Dewan Pengawas LKBN Antara dalam Webinar Series 3 Cerdas Berdemokrasi dengan tema "Jaga Berita, Jaga Cinta, Jaga Indonesia" di Pekanbaru, Riau (27/5).

"Pada webinar ini," lanjutnya, "kita diingatkan bahwa fakta dan peristiwa itu sakral namun tidak semuanya secara serta merta dapat disalurkan kepada masyarakat. Misalnya berita konflik sosial memerlukan kehati-hatian jurnalis dalam meliput, menulis, dan melaporkan demi menjaga keutuhan bangsa dan negara Indonesia."

Webinar ini diselenggarakan oleh Direktorat Informasi dan Komunikasi Politik, Hukum dan Keamanan, Ditjen Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan menghadirkan sejumlah pembicara lainnya yaitu Dwitri Waluyo Redaktur Pelaksana Portal Berita Infopublik.id, Heru Margianto Redaktur Pelaksana Kompas.com, dr. Emrus Sihombing Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan dan dimoderatori oleh Algooth Putranto Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi.

"Banjir informasi di masa pandemi tidak dapat dihindari masyarakat hingga muncul istilah infodemik. Ini berbahaya karena infodemik itu simpang siur dan tidak ada pihak yang dapat bertanggungjawab," kata Dwitri Waluyo.

Lebih lanjut, infodemik jumlahnya masif dan tersebar cepat karena masyarakat turut meneruskannya melalui aplikasi percakapan dan media sosial.

Jika informasi diambil dari media mainstream, Dwitri melanjutkan, setidaknya dapat dipercaya karena berita diproduksi melalui kerja jurnalistik yang baik dan benar, tentu di dalamnya ada pencarian data, fakta serta verifikasi.

Ini berbeda dengan infodemik yang tak jarang diperlakukan masyarakat dengan asal menyebarkan, sekedar melihat judulnya, tapi tidak membaca isinya.

"Padahal tidak semua informasi itu memuat kebenaran, justru yang banyak beredar adalah hoaks” kata Dwitri.

Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika, pada kurun waktu Januari sampai Mei 2021, terdapat 1.606 hoaks yang dideteksi.

"Hoaks yang banyak itu disebarkan melalui berbagai platform seperti Facebook, Instagram, Twitter dan YouTube, termasuk WhatsApp group, sehingga beranak pinak,” katanya.

Pada kurun waktu tersebut, Kementerian Kominfo terus mengidentifikasi hoaks dan menerima laporan dari masyarakat.

"Setidaknya sudah ada 113 kasus yang masuk keranah hukum," katanya.

Mendulang Klik tanpa Konflik

Halaman 1 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved