Ferdinand Hutahaean Diolok-olok Netizen, Gara-gara Cuitan Achmad Subardjo Asli Jawa Padahal. . .
Ferdinand Hutahaean kembali menjadi bahan olok-olok warga dunia maya, lho kenapa? Ini sebabnya
TRIBUNPEKANBARU.COM - Ferdinand Hutahaean kembali menjadi bahan olok-olok warga dunia maya.
Pegiat media sosial ini jadi guyonan netizen setelah mengunggah cuitan yang menyebut bahwa pahlawan nasional Achmad Subardjo adalah orang asli Suku Jawa.
Padahal, dari literatur yang ada, ayah Achmad Subardjo berasal dari Aceh.
Achmad Subardjo sempat berganti nama dari nama sebelumnya, yakni Teuku Abdul Manaf, demi mempermudah perjuangannya untuk kemerdekaan RI.
"Ini sejarah yang benar tentang merah-putih menjadi bendera Indonesia. Diusulkan oleh Ahmad Subardjo, orang asli Jawa," tulis Ferdinand di Twitter, mengkomentari sebuah portal berita, dikutip pada Selasa (18/8/2021).
Tak butuh waktu lama, unggahan itu mendapat banyak tanggapan dari warganet, khususnya pihak yang selama ini kerap bertentangan pendapat dengan Ferdinand.
Ferdinand dianggap kurang memahami sejarah dan dianggap 'malas' membaca.
Bahkan, sejumlah warganet kembali menyinggung pendidikan dari Ferdinand Hutahaean.
Nama Lahir Achmad Subardjo adalah Teuku Abdul Manaf
Dikutip dari Tribun Wiki, Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo atau lebih dikenal dengan Achmad Soebardjo adalah satu dari pahlawan nasional Indonesia.
Nama lahir Achmad Soebardjo adalah Teuku Abdul Manaf. Adapun Achmad Soebardjo adalah nama yang diusulkan paman ibunya.
Sebab, jika memakai nama Teuku, akan mempersulit langkah Soebardjo dalam perjuangan melawan penjajah.
Achmad Soebardjo merupakan pejuang kemerdekaan Indonesia, diplomat, dan Menteri Luar Negeri pertama di Indonesia.
Achmad Soebardjo adalah nama yang diberikan paman dari sang Ibu, meskipun awalnya Achmad Soebardjo diberi nama Teuku Abdul Manaf oleh sang Ayah.
Kemudian nama Djojoadiseorjo diberikan sendiri saat di tahan di penjara karena Peristiwa 3 Juli 1946, ketika terjadi kudeta pertama kali bagi Indonesia oleh Soedarsono.
Achmad Soebardjo meninggal dunia di usia 82 tahun di Rumah Sakit Pertamina akibat flu yang menimbulkan komplikasi.
Diplomat dan Menteri Luar Negeri pertama di Indonesia
Ahmad Soebardjo menempuh pendidikan dasar di Sekolah Rendah Eropa III atau 3e Europeesche Lagere School (ELS).
Setelah itu Achmad Soebardjo pindah ke Sekolah Rendah Pertama B di Schoolweg Pasar Baru. (2)
Nama lahir Achmad Soebardjo adalah Teuku Abdul Manaf. Adapun Achmad Soebardjo adalah nama yang diusulkan paman ibunya.
Sebab, jika memakai nama Teuku, akan mempersulit langkah Soebardjo dalam perjuangan melawan penjajah.
Achmad Soebardjo merupakan pejuang kemerdekaan Indonesia, diplomat, dan Menteri Luar Negeri pertama di Indonesia.
Achmad Soebardjo adalah nama yang diberikan paman dari sang Ibu, meskipun awalnya Rachmad Soebardjo diberi nama Teuku Abdul Manaf oleh sang Ayah.
Kemudian nama Djojoadiseorjo diberikan sendiri saat di tahan di penjara karena Peristiwa 3 Juli 1946, ketika terjadi kudeta pertama kali bagi Indonesia oleh Soedarsono.
Achmad Soebardjo meninggal dunia di usia 82 tahun di Rumah Sakit Pertamina akibat flu yang menimbulkan komplikasi.
Lulusan Sekolah Hukum di Belanda
Ahmad Soebardjo menempuh pendidikan dasar di Sekolah Rendah Eropa III atau 3e Europeesche Lagere School (ELS).
Setelah itu Achmad Soebardjo pindah ke Sekolah Rendah Pertama B di Schoolweg Pasar Baru.
6 bulan setelah belajar di Negeri Belanda, Ahmad Soebardjo diangkat menjadi Ketua Perhimpunan Indonesia (Indonesische Vereeninging).
Ahmad Soebardjo kemudian mendapatkan kesempatan berkeliling ke negara-negara Eropa seperti Inggris, Jerman, Rusia, dan Perancis.
Kesempatan tersebut digunakan Achmad Soebardjo untuk belajar tentang politik dan melakukan propaganda untuk mendapatkan dukungan terhadap kemerdekaan Indonesia.
Selain menjadi Ketua Perhimpunan Indonesia di Belanda, Ahmad Soebardjo juga aktif di dunia jurnalistik.
Ahmad Soebardjo bergabung sebagai anggota redaksi Indonesia Merdeka dari Majalah Perhimpunan di Belanda (1922-1916), pembantu majalah Kebenaran dan Kemerdekaan (Recht en Vrijheld) cabang Belanda di Amsterdam, dan menjadi koresponden majalah bulanan 'Timbul' yang terbit di Solo (1930-1933).
Ahmad Soebardjo menyelesaikan studinya di Belanda pada 1933 dengan gelar Meester in de Rechten (Mr.) atau Sarjana Hukum di Universiteit Leiden.
Pada April 1934, Ahmad Soebardjo kembali ke Hindia Belanda dan menolak bekerja untuk kepentingan Pemerintah Kolonial.
Dia kemudian bekerja sebagai pembantu di Kantor Hukum Semarang.
Kemudian Achmad Soebardjo pindah ke Surabaya sebagai ahli hukum junior.
Saat di Surabaya kondisi pergerakan nasional di Hindia Belanda sedang mengalami tekanan berat akibat kebijakan represif dari Gubernur Jenderal Mr. P.C. de Jonghe.
Akibat kebijakan tersebut setiap mahasiswa yang baru pulang dari Belanda langsung diawasi oleh Pemerintah.
Menanggapi hal tersebut, Achmad Soebardjo berfokus pada pekerjaannya sebagai pengacara, memperdalam pengetahuaannya di bidang organisasi politik dan politik internasional, serta terus melanjutkan aktivitas jurnalistiknya.
Ketika masa kolonial Belanda, Achmad Soebardjo bersikap non-kooperatif, namun ketika masa penjajahan Jepang, Achmad Soebardjo bersikap kooperatif.
Achmad Soebardjo kemudian dipilih sebagai peneliti dalam biro penelitian angkatan laut Jepang di bawah pimpinan Laksamana Maeda.
Tindakan yang dilakukan oleh Ahmad Subarjo untuk mulai tugas penelitian adalah melakukan perjalanan keliling pulau Jawa.
Dari perjalanan tersebut Achmad Subarjo dapat mengetahui keadaan kehidupan rakyat yang sangat memprihatinkan hasil dari kebijakan tanam paksa dan pengabil-paksaan putera atau keluarga laki-laki demi tujuan militer Jepang.
Achmad Subarjo memberikan laporan mengenai hal tersebut kepada Laksamana Maeda.
Atas tindakan Achmad Subarjo tersebut penderitaan rakyat akibat tindakan militer Jepang yang semena-mena dapat berkurang.
Peristiwa Rengasdengklok
Selain di biro riset, Achmad Subarjo diberikan kepercayaan untuk mengelola Asrama Indonesia Merdeka oleh Laksamana Maeda.
Asrama Indonesia Merdeka adalah wadah pendidikan untuk para pemuda Indonesia, dengan pemateri diantaranya Ir. Soekarno (Politik), Mohammad Hatta (Ekonomi), Sutan Syharir (Sosialisme Asia) dan lain sebagainya.
Karena Jepang telah menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia, Menteri Koiso membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dimana Achmad Subarjo juga terpilih menjadi anggota.
Achmad Subarjo kemudian juga dipilih menjadi satu dari anggota Panitia Sembilan yang bertugas menyusun rancangan undang-undang dasar dan dasar negara yang akan digunakan sesudah kemerdekaan.
Achmad Subarjo mengusulkan dua gagasan penting untuk dicantumkan pada teks pembukaan UUD, yaitu penentuan nasib sendiri dan menentang Imperialisme.
Kedua gagasan dari Ahmad Subarjo tersebut kini tercantum dalam paragraf pertama pembukaan UUD 1945.
Ketika Jepang telah menyerah kepada sekutu dan terjadi kekosongan pemerintahan, rencana untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia harus tertahan.
Hal tersebut dikarenakan adanya silang pendapat pada dua golongan tokoh pergerakan Indonesia yaitu golongan tua dan golongan muda.
Peristiwa tersebut kemudian menjadi pemicu adanya Peristiwa Rengasdengklok.
Golongan muda menginginkan Soekarno dan Hatta sesegera mungkin mengumumkan kemerdekaan Indonesia.
Namun Sukarno dan Hatta menolak dengan alasan menunggu sidang PPKI pada 16 Agustus 1945.
Achmad Subarjo pada saat menjadi sosok yang dapat menengahi konflik kedua golongan Pergerakan Indonesia dengan meyakinkan golongan pemuda, bahwa Proklamasi kemerdekaan akan dilaksanakan secepatnya.
Setelah perselisihan dapat diatasi, Achmad Soebardjo bersama Sukarno dan Hatta menuju rumah Laksamana Maeda untuk merumuskan naskah proklamasi.
Meninggal di Jakarta
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, Achmad Soebardjo dilantik menjadi Menteri Luar Negeri pada Kabinet Presidensial.
Pelantikan dilakukan pada 18 Agustus 1945.
Kemudian Achmad Soebardjo juga kembali menjabat menjadi Menteri Luar Negeri pada 1951 - 1952.
Pada bulan September 1951 Achmad Soebardjo diangkat sebagai Ketua Delegasi Indonesia dalam konferensi perdamaian dengan Jepang di San Francisco.
Pada 1953 Achmad Soebardjo diangkat sebagai Direktur Akademi Dinas Luar Negeri (ADLN).
Setelah2 tahun sukses membangun pendidikan dan mendidik para calon diplomat, Achmad Soebardjo diangkat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Republik Federasi Switzerland.
Ahmad Subardjo meninggal di Jakarta pada tanggal 15 Desember 1978 dan dimakamkan di pemakaman keluarga di Cibogo.
Atas jasa Achmad Soebardjo, Pemerintah RI menganugerahi Gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor : 058/TK/Tahun 2009 tanggal 6 November 2009.
Penghargaan Achmad Soebardjo:
Order of Merit dari Pemerintah Mesir, 1954
Satya Lencana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan, 1961
Bintang Mahaputra Adipradana, 1973
Bintang Republik Indonesia Utama., 1992
Artikel ini telah tayang di WartaKotalive.com dengan judul Ferdinand Hutahaean Kembali Jadi Bahan Tertawaan setelah Tegaskan Ahmad Subardjo Asli Jawa
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/pekanbaru/foto/bank/originals/ferdinand-hutahaean-juru-bicara-bpn-prabowo-sandi.jpg)