Usai Petisi Bebaskan Ko Jul, Istri Terdakwa Pencabulan Julianto Eka Putra Ajukan Penangguhan
Jika terbukti, Julianto Eka Putra layak dikebiri atau dihukum seumur hidup seperti oknum ustaz cabul dari Bandung, Hery Wirawan.
TRIBUNPEKANBARU.COM - Usai sejumlah alumni dan siswa-siswi Sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) Kota Batu, Jawa Timur membuat petisi berisi desakan membebaskan terdakwa kasus pencabulan Julianto Eka Putra, kini Kuasa hukum terdakwa mengajukan permohonan penangguhan penahanan.
Permohonan tersebut diajukan ke Pengadilan Negeri Malang.
Permohonan itu dilayangkan oleh salah satu kuasa hukum terdakwa, Jeffry Simatupang, pada Selasa (12/7/2022).
"Hari ini kami mengajukan proses penangguhan penahanan yang sudah kami masukkan melalui Kepaniteraan PN Malang," kata Jeffry pada Selasa (12/7/2022).
Dia berharap, surat permohonan tersebut dapat segera dibaca oleh majelis hakim dan dikabulkan.
Sedangkan, orang yang akan menjadi penjamin dari pengajuan penangguhan penahanan tersebut yakni istri terdakwa.
Ada beberapa hal yang menjadi alasan dari kuasa hukum terdakwa mengajukan permohonan penangguhan penahanan.
Di antaranya, selama proses hukum bergulir terdakwa tidak pernah melarikan diri.
"Sejak dalam proses penyelidikan sampai ke tahap dua sampai ke persidangan klien kami selalu kooperatif, selalu hadir dalam setiap tingkat pemeriksaan," katanya.
Alasan lainnya, terdakwa merasa tidak pernah menghilangkan barang bukti karena sudah diserahkan ke penyidik dan menjadi berkas perkara.
Menurutnya, dengan berbagai alasan itu, pihaknya mengajukan permohonan penangguhan penahanan.
"Klien kami juga menderita sakit. Sakit gulanya tinggi, tetapi dalam kondisi yang sakit gulanya tinggi klien kami, tetap taat terhadap hukum," katanya.
Jeffry mempertanyakan penetapan penahanan terdakwa.
Jeffry menyebut, penahanan itu hanya berdasarkan pada opini publik semata.
"Jangan sampai majelis hakim terpengaruh oleh opini publik," katanya.
Ko Jul buat Komnas Anak murka
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait mengatakan, kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh JE, pendiri SMA Selamat Pagi Indonesia (SPI) Kota Batu, Jawa Timur terhadap murid dilakukan secara terencana.
Tidak hanya sekali, Arist mengatakan, ada korban yang mengalaminya berkali-kali.
Karena itu, Arist menyebut kekerasan seksual itu sebagai serangan persetubuhan, bukan lagi perkosaan.
"Kalau dalam Undang-Undang Perlindungan Anak itu serangan persetubuhan. Jadi bukan perkosaan. Kalau perkosaan itu sampai tiga kali, kalau sampai 15 kali bukan perkosaan," katanya di Mapolres Batu, Rabu (9/6/2021).
Arist mengatakan, kekerasan seksual tersebut terjadi secara terencana.
Korban yang masih berstatus siswinya mulanya dipanggil oleh terduga pelaku.
Terduga melakukan itu disertai dengan ancaman, janji dan rayuan.
"Panggilnya (korban) satu-satu itu berarti perencanaan. Itu berarti serangan kekerasan seksual atau persetubuhan dengan ancaman dengan tekanan dan ada bujuk rayu di situ dan dijanji," katanya.
Janji diberikan tanah hingga pekerjaan Janji itu berupa pemberian tanah dan pekerjaan yang layak.
Sebab, rata-rata siswa di sekolah itu berasal dari keluarga tidak mampu.
"Karena dia berasal dari keluarga miskin dijanjikan tanah, misalnya supaya dapat tanah, supaya dapat pekerjaan yang layak dan sebagainya. Itu dijanjikan tapi itu tidak ada," jelasnya.
Tidak hanya itu, kekerasan seksual itu juga dilakukan dengan memanfaatkan relasi kuasa.
Sebagai pendiri, terduga pelaku merupakan sosok yang disegani di lingkungan sekolah.
"Karena si terduga pelaku itu adalah mentor yang disegani oleh bukan saja peserta didik di situ tetapi juga oleh masyarakat umum," katanya.
Korban 16 orang
Jika terbukti, Julianto Eka Putra layak dikebiri atau dihukum seumur hidup seperti oknum ustaz cabul dari Bandung, Hery Wirawan.
Sementara itu, korban yang sudah melapor ke Polda Jawa Timur berjumlah 16 orang.
Sebanyak 14 korban sudah diperiksa dan telah divisum.
"Yang diperiksa sampai Jumat lalu sudah 14, itu juga sudah visum. Kecuali ada dua tambahan saksi kunci yang belum divisum, itu yang berasal dari Blitar. Jadi kalau mau ditotal itu bisa ada 16 tapi yang dua itu belum divisum. 14 sudah divisum secara baik," jelasnya.
Sebanyak 16 korban itu mengalami kekerasan seksual, kekerasan fisik dan eksploitasi ekonomi.
Rata-rata, korban berjenis kelamin perempuan.
Ada juga korban laki-laki yang mengalami kekerasan fisik.
"Lebih banyak perempuan, ada laki-lakinya. Yang laki-laki lebih ke kekerasan fisik," jelasnya.
(*)