Luhut Pandjaitan Akhirnya Ngaku Utang Indonesia Sebesar Rp 7.000 Triliun
Menurutnya, utang sebesar itu digunakan untuk mendanai sejumlah proyek-proyek startegis di Indonesia.
TRIBUNPEKANBARU.COM - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengakui bahwa utang Indonesia terbilang besar.
Namun, menurutnya Indonesia mampu membayar utang tersebut.
"Orang bilang kita ini utangnya banyak, betul Rp 7.000 triliun. Tapi kita bandingkan itu hanya 41 persen dari produk domestik bruto (PDB) kita," ujar Luhut dalam acara Silaturahmi Nasional Persatuan Purnawirawan TNI AD (PPAD) Tahun 2022, di Sentul International Convention Center di Bogor, sebagaimana disiarkan YouTube PPAD TNI, Jumat (5/8/2022).
Menurutnya, utang sebesar itu digunakan untuk mendanai sejumlah proyek-proyek startegis di Indonesia.
"Dan angka itu jumlahnya dibayar oleh proyek-proyek yang bagus, bukan uang yang hilang. Semua dibayar. Pembangunan," tegasnya.
Luhut pun menyebutkan, tingkat utang pemerintah Indonesia saat ini jauh lebih aman dibandingkan negara-negara lain di dunia.
Selain kemampuan mengatasi utang, Luhut juga mengungkapkan kemampuan Indonesia mempertahankan nilai tukar rupiah agar tidak melemah.
Saat ini, katanya, share kepemilikan asing di Indonesia menurun hingga hanya tertinggal 16,1 persen.
"Dari yang dulunya 41,3 persen," lanjutnya.
Sehingga begitu ada masalah ekonomi dunia, outflow uang dari Indonesia terjadi dan rupiah terus goyah.
Akan tetapi, Indonesia tetap mampu menahan nilai tukar rupiah berkisar di Rp 14.000 terhadap dolar Amerika Serikat.
Utang ke China tembus Rp 326,7 Triliun
Besaran utang Indonesia ke China menjadi isu hangat di Indonesia. Sebagian publik khawatir, Indonesia akan terkena "jebakan utang" China.
Berdasarkan data terbaru statistik utang luar negeri yang dirilis BI, utang Indonesia ke China mencapai 21,7 juta dolar atau sekitar Rp 326,7 triliun.
Jumlah ini menempati peringkat keempat; lebih kecil dari pinjaman Jepang, Amerika Serikat dan yang terbesar dari Singapura.
Jepang bahkan pernah memberi pinjaman senilai lebih dari dua kali lipat dari jumlah yang diberikan China sekarang.
Kekhawatiran soal isu besaran utang Indonesia ke China semakin mencuat ketika Presiden Indonesia Joko Widodo berkunjung ke Beijing.
Dalam kunjungannya Presiden Indonesia Joko Widodo dan Presiden China Xi Jinping memperbarui perjanjian bilateral, antara lain tentang kerja sama dalam pembangunan infrastruktur dan maritim.
“China dan Indonesia akan melakukan kerja sama yang mendalam dan berkualitas tinggi melalui sinergi Belt and Road Initiative (BRI) dan Global Maritime Fulcrum (GMF).
Kedua belah pihak juga berkomitmen untuk menyelesaikan Kereta Cepat Jakarta-Bandung sesuai jadwal sebagai proyek unggulan,” tulis pernyataan pers yang dibuat kedua negara.
Kantor berita Reuters melaporkan, China menyanjung Indonesia sebagai model mitra strategis, berbeda dengan kata-kata tajamnya kepada Amerika Serikat dalam beberapa bulan terakhir atas masalah dari Taiwan dan Ukraina hingga praktik perdagangan dan Laut China Selatan.
Presiden Xi juga memberikan dukungan penuh pada kepemimpinan Indonesia di ASEAN pada 2023.
Sementara itu, dengan latar belakang kewaspadaan terhadap "jebakan utang China", pengamat berharap peninjauan ulang utang Indonesia juga menjadi prioritas dalam pertemuan itu.
“Mulai dari kereta cepat Jakarta-Bandung, proyek-proyek jalan tol, proyek-proyek strategis nasional, termasuk bandara, dan kawasan industri, banyak menggandeng konsorsium dari China,” kata Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS).
Namun menurut peryataan pers, kedua negara akan mempercepat perumusan baru dari Rencana Aksi Lima Tahun - Pelaksanaan Kemitraan Strategis Komprehensif antara China dan Indonesia untuk 2022 hingga 2026.
Ini adalah rencana keseluruhan untuk kerja sama konkret di berbagai bidang untuk lebih meningkatkan kesejahteraan kedua bangsa, dan menjalankan tanggung jawab yang lebih besar untuk menjaga perdamaian, stabilitas dan kemakmuran regional, dan keadilan global.
Mengapa utang kepada China menimbulkan kekhawatiran?
Kekhawatiran akan adanya isu "jebakan utang China" semakin menjadi-jadi ketika bangkrutnya Sri Lanka.
Negara itu mengalami gagal bayar atas utangnya ke China.
Bahkan Kepala CIA Bill Burns pada Rabu (20/7/2022) mengatakan, penyebab bangkrutnya krisis Sri Lanka karena jebakan utang China.
Bill Burns pun memperingatkan negara lainnya untuk tidak melakukan hal yang sama dengan Sri Lanka.
“Kenapa tiba-tiba ada isu jebakan utang? Kenapa waktu Jepang tidak sesanter ini beritanya? Karena, satu, kita di era teknologi, di mana informasi ini begitu heboh dan gencar. Padahal dulu utang antara pemerintah dengan Jepang atau utang B to B sudah biasa,” kata Kepala ekonom BRI Danareksa Sekuritas, Telisa Falianty, lewat sambungan telepon.
Menurutnya, jumlah utang kepada China mencakup utang "tersembunyi" atau utang antarbisnis yang diambil oleh BUMN maupun bank milik negara.
Bukan berarti utang tersebut diambil secara sembunyi-sembunyi, tapi utang itu tidak tercatat sebagai utang pemerintah.
“Permasalahannya, ternyata proyek-proyek yang dibuat China ini, berbeda dengan Jepang dulu, produktivitasnya dipertanyakan. Contoh, kereta api cepat Jakarta-Bandung, pengerjaannya molor. Ini kan tidak meningkatkan produktivitas sedangkan utangnya sudah berjalan,” kata Telisa yang juga merupakan dosen di Universitas Indonesia.
Harapan Jokowi dalam Pertemuannya dengan PM China Kunjungan Jokowi ke China Dinilai Cerminkan Netralitas ASEAN Telisa juga menyoroti paket-paket perjanjian yang menurutnya tidak bernilai tinggi bagi Indonesia.
“Jadi kalau China itu semuanya, utangnya dari dia, bahan bakunya dari dia, tenaga kerja bukan hanya level yang tinggi, tapi yang bawah pun dari dia,” kata Telisa.
“Jadi istilahnya nilai untuk kitanya kecil banget. Semuanya dari dia jadi ini sebenarnya proyek untuk siapa?”
Keterangan pers pertemuan Presiden Jokowi dan Presiden Xi menyebut bahwa kerja sama kuat antara kedua negara telah dipertahankan sejak 2013, tahun yang sama dengan diluncurkannya inisiatif pembangunan Sabuk dan Jalan atau Belt and Road Initiative (BRI) oleh Presiden Xi.
“Melalui Belt Road Initiative, China membuat proyek-proyek infrastruktur di berbagai negara untuk memudahkan konektivitas, memuluskan perdagangan dengan seluruh dunia, intinya itu. Dulu kan China memiliki jalur sutra,” kata Telisa.
Selain kereta api cepat Jakarta-Bandung, proyek-proyek besar yang menggandeng inisiatif ini adalah Kawasan Industri Morowali di Sulawesi Tengah senilai Rp 80 triliun, tol Probolinggo-Banyuwangi di Jawa Timur senilai Rp 21 triliun, dan Kawasan Industri Teluk Weda di Halmahera Tengah senilai Rp 70 triliun.
Utang China mudah didapat tapi sulit diakhiri?
Menurut pengamat ekonomi Center of Economic and Law Studies atau CELIOS, Bhima Yudhistira, ada banyak faktor yang membuat Indonesia tertarik dengan pinjaman dari China.
“Yang pertama, tenor utangnya jangka panjang. Kedua, secara bunga jauh lebih rendah dibandingkan kompetitor di negara lain,” kata Bhima kepada BBC Indonesia.
“Kajian awal terhadap proyeknya juga tidak dilakukan seketat kreditur lainnya. Misalnya dibandingkan dengan lembaga multilateral seperti bank dunia atau Asian Development Bank, penilaian awal mereka relatif sangat detail dan ini dianggap memakan waktu terlalu lama,” kata Bhima.
Ia juga menambahkan bahwa pinjaman dari China menjadikan standar lingkungan, sosial, dan pemerintahan relatif dikesampingkan dan tidak menjadi syarat utama pinjaman dan hanya bersifat pelengkap.
“Di sinilah pinjaman China itu dianggap 'easy to get.' Mudah prosesnya dibanding pinjaman dari kreditur lainnya. Tapi cara-cara pinjaman dengan penilaian ataupun perencanaan yang sudah bermasalah dari awal, yang penting prosesnya cepat,” kata Bhima.
“Ya ini ternyata menimbulkan banyak problem dalam proses maupun dalam penyelesaiannya.”
Menurut Bhima, meski yang mengambil pinjaman adalah BUMN, jika ada kendala maka risiko tetap ditanggung pemerintah atau APBN.
Utang non-pemerintah menjadi salah satu faktor yang membuat Sri Lanka berada di titik kebangkrutan.
“Sri Lanka, Laos juga yang terdekat,” kata Bhima. “Mereka konsepnya adalah utang dengan ‘B to B’ memang. Membentuk konsorsium dan kemudian utang itu sebagian besar digunakan untuk proyek infrastruktur yang memang perencanaannya dari awal sudah bermasalah dan dipaksakan seperti Pelabuhan Hambatonta di Sri Lanka,” kata Bhima.
“Ketika gagal bayar, ada konsesi yang diberikan kepada China maupun BUMN China, dalam jangka yang sangat panjang (pelabuhan) dikelola mereka.”
(*)