Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

Kasus dan Penjelasan Nikah Beda Agama dalam UU Perkawinan Indonesia, Boleh?

Jika Mikha Tambayong dan Deva Mahenra nikah beda agama , maka menambah kasus nikah agama di Indonesia, berikut penjelasan nikah beda agama dalam UU

Penulis: pitos punjadi | Editor: Nolpitos Hendri
Istimewa
Kasus dan Penjelasan Nikah Beda Agama dalam UU Perkawinan Indonesia, Boleh?. Foto: Ilustrasi 

TRIBUNPEKANBARU.COM, PEKANBARU - Jika Mikha Tambayong dan Deva Mahenra nikah beda agama , maka menambah kasus nikah agama di Indonesia, berikut penjelasan nikah beda agama dalam Undang-undang Perkawinan Indonesia, apakah boleh?

Sebelum Mikha Tambayong dan Deva Mahenra , tujuh bulan lalu atau bulan Juni 2022, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mengabulkan gugatan pasangan nikah beda agama berinisial DRS dan JN.

DRS yang beragama Kristen nikah beda agama dengan JN yang memeluk agama Islam , mereka melangsungkan pernikahan pada 31 Mei 2022 di Gereja Kristen Nusantara, Jakarta Pusat.

Pada 27 Juni 2022 keduanya melayangkan gugatan ke PN Jaksel dan meminta pengadilan menyatakan perkawinan mereka sah serta meminta pengadilan memerintahkan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapill) menerbitkan akta perkawinan.

Gugatan ini dikabulkan sebagian oleh PN Jaksel, namun majelis hakim menolak mengabulkan permohonan DRS dan JN yang meminta supaya pengadilan menyatakan perkawinan mereka sah.

Majelis hakim mengabulkan permintaan DRS dan JN untuk memerintahkan Dukcapil mencatatkan perkawinan keduanya dan menerbitkan akta perkawinan.

"Memerintahkan agar Kantor Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Administrasi Jakarta Selatan untuk mencatatkan Perkawinan Beda Agama Para Pemohon ke Register Pencatatan Perkawinan yang digunakan untuk itu dan segera menerbitkan Akta Perkawinan tersebut," tulis amar putusan pengadilan dikutip dari laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jakarta Selatan dikutip Kamis, (15/9/2022).

Menurut hakim, kendati DRS dan JN berbeda agama, keduanya telah melakukan perkawinan, sehingga sebagaimana bunyi undang-undang, perkawinan itu harus dicatatkan.

"Bahwa untuk memberikan kepastian hukum tentang status perkawinan dari para pemohon dan dapat dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil, maka petitum para pemohon pada angka dua dan tiga beralasan hukum untuk dikabulkan," kata hakim.

Berkaca dari kasus ini, bagaimana sebenarnya aturan nikah beda agama di Indonesia? Benarkah Undang-undang Perkawinan membolehkan?

Aturan nikah beda agama

Ihwal pernikahan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Menurut Pasal 1 UU tersebut, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Lalu, mengacu Pasal 2, perkawinan dinyatakan sah jika dilakukan menurut hukum agama. Berikut bunyi selengkapnya:

Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya, Pasal 8 UU yang sama mengatur tentang perkawinan yang dilarang. Salah satunya, berkaitan dengan larangan agama.

"Perkawinan dilarang antara dua orang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin," demikian bunyi Pasal 8 huruf f UU Perkawinan.

UU Perkawinan tidak mengatur khusus soal perkawinan beda agama. Hanya saja, merujuk Pasal 2 UU, kerap kali ditafsirkan bahwa hukum kawin beda agama merujuk pada hukum agama.

Kasus nikah beda agama bukan sekali terjadi

Di Indonesia, nikah beda agama bukan sekali dua kali saja terjadi.

Mahkamah Agung (MA) melalui Putusan Nomor 1400K/PDT/1986 pernah mengabulkan nikah beda agama oleh dua pihak yang mengajukan kasasi.

Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim MA menyatakan bahwa UU Perkawinan tak memuat ketentuan apa pun yang melarang nikah beda agama .

Hal itu, menurut majelis hakim, sejalan dengan bunyi Pasal 27 UUD 1945 soal kedudukan setiap warga negara yang sama di depan hukum.

Selain itu, Pasal 29 Ayat (2) juga mengamanatkan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk dan beribadah menurut agama masing-masing.

Putusan ini lantas kerap menjadi rujukan pasangan beda agama dalam mengajukan izin nikah beda agama .

Pengadilan Negeri Surabaya pada 26 April 2022 misalnya, mengabulkan gugatan RA dan EDS untuk melangsungkan nikah beda agama .

Melalui putusan Nomor 916/Pdt.P/2022/PN.Sby, Majelis hakim juga memerintahkan pejabat Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kotamadya Surabaya untuk mencatatkan perkawinan tersebut dan menerbitkan akta perkawinan.

Dicatatkan Dukcapil

Sebagaimana bunyi Pasal 2 Ayat (2) UU Perkawinan, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Mahkamah Agung pernah menerbitkan fatwa yang pada pokoknya menyebutkan bahwa perkawinan beda agama tidak dapat dicatatkan. Namun, terdapat pengecualian dalam fatwa Nomor 231/PAN/HK.05/1/2019 ini.

“Perkawinan beda agama tidak diakui oleh negara dan tidak dapat dicatatkan. Akan tetapi, jika perkawinan tersebut dilaksanakan berdasarkan agama salah satu pasangan dan pasangan yang lain menundukkan diri kepada agama pasangannya, maka perkawinan tersebut dapat dicatatkan. Misalnya, jika perkawinan dilaksanakan berdasarkan agama Kristen maka dicatatkan di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, begitu pula jika perkawinan dilaksanakan berdasarkan agama Islam maka perkawinan pasangan tersebut dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA)," demikian bunyi fatwa tersebut.

Sementara, perihal pencatatan perkawinan juga diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk).

Mengacu UU itu, perkawinan yang sah menurut peraturan perundang-undangan wajib dilaporkan ke pencatatan sipil paling lambat 60 hari sejak tanggal perkawinan.

Selanjutnya, pejabat pencatatan sipil akan mencatatkan perkawinan tersebut dan menerbitkan akta perkawinan.

Sebagaimana Pasal 35 UU Adminduk, pencatatan perkawinan juga berlaku bagi perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan.

"Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta perkawinan, pencatatan perkawinan dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan," demikian Pasal 36 UU Adminduk.

Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (Dirjen Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Zudan Arif Fakrullah menjelaskan, Dukcapil berpegang pada UU Adminduk dalam mencatatkan perkawinan.

Merujuk UU, pencatatan perkawinan berlaku pula bagi perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan.

"Dan di penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan 'perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan' adalah perkawinan yang dilakukan antarumat yang berbeda agama," kata Zudan kepada Kompas.com, Jumat (16/9/2022).

Kemudian, Zudan mengatakan, Pasal 7 Ayat (2) huruf l UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan mengatur bahwa pejabat pemerintahan memiliki kewajiban untuk mematuhi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Maka, sebagai institusi yang taat hukum, setelah ada penetapan pengadilan, Dinas Dukcapil wajib melaksanakannya.

"Dalam hal ini Disdukcapil hanya mencatatkan apa yang sudah menjadi penetapan pengadilan dan tidak dalam konteks mengesahkan perkawinan," terang Zudan. sumber data: Kompas.com

( Tribunpekanbaru.com / Pitos Punjadi )

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved