Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

Mantan Bupati Inhu Raja Thamsir Rachman Dituntut 10 Tahun Penjara, Pengacara: Terlalu Berat

Raja Thamsir Rachman, didakwa bersama-sama dengan Pemilik PT Duta Palma Groups Surya Darmadi terkait alih fungsi lahan di Indragiri Hulu

Editor: Sesri
Tribunnews.com/Ilham Rian Pratama
Sidang lanjutan agenda pemeriksaan saksi perkara dugaan korupsi penyerobotan lahan sawit oleh perusahaan Surya Darmadi, Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (17/10/2022). 

TRIBUNPEKANBARU.COM - Mantan Bupati Indragiri Hulu (Inhu) Riau, Raja Thamsir Rachman dituntut 10 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung.

Selain itu, Raja Thamsir juga dituntut untuk membayar denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan.

Jaksa menyebut Raja Thamsir Rachman terbukti turut serta dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama terkait alih fungsi lahan di Indragiri Hulu, Riau.

Raja Thamsir Rachman, didakwa bersama-sama dengan Pemilik PT Duta Palma Groups, Surya Darmadi alias Apeng,

Merespons tuntutan 10 tahun itu, Raja Thamsir Rachman melalui kuasa hukumnya, Handika Honggowongso, mengatakan bahwa tuntutan tersebut terlalu berat.

"Saat ini usia RTR itu hampir 75 tahun, jadi itu tuntuan terasa berat sekali, harusnya JPU mengajukan tuntutan bebas terhadap RTR. Sebab actus reus berupa pemberian izin lokasi dan izin usaha kebun sawit ke grup usaha Duta Palma adalah sudah benar, hal itu sesuai dengan keterangan ahli dan saksi yang dihadirkan JPU sendiri di persidangan," kata Handika melalui keterangan tertulis, Selasa (7/2/2023).

Baca juga: Mantan Bupati Inhu Raja Thamsir Rachman dan Pemilik PT Duta Palma Group Ditetapkan Tersangka Korupsi

Baca juga: Jaksa Tuntut Bos Duta Palma Surya Darmadi Hukuman Penjara Seumur Hidup

Adapun saksi yang dimaksud adalah Mulya Pradata dari Planologi Kementerian kehutanan dan Lingkungan Hidup; Prof. Subarudin M. Wood dari Badan Riset dan Inovasi Nasional; Prof. Bambang Heru Saharjo dari IPB; serta Herban Heyandana, Direktur Planologi Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup.

"Dan juga berdasar peraturan berlaku dinyatakan izin lokasi dan izin usaha kebun sawit itu tidak berlaku sebagai izin pemanfaatan kawasan hutan, merupakan syarat adminitrasi untuk mengajukan permohonan pelepasan kawasan hutan ke Menteri Kehutanan dan syarat administrasi permohonan HGU ke BPN," kata Handika.

"Jadi, untuk menerbitkan izin lokasi dan izin usaha kebun sawit tidak perlu ada dulu pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan. Sebelum ada pelepasan dari Menteri Kehutanan dan terbit HGU belum boleh melakukan kegiatan pembangunan dan penanaman sawit, dan dalam izin perkebunan yang diberikan disyaratkan supaya mematuhi aturan di bidang kehutanan atau pemberesan hak tanah terlebih dahulu," tambahnya.

Terlebih jika dilihat dari perspektif tata ruang, sambung Handika, bahwa lokasi perkebunan Duta Palma Grup di atas menurut tata ruang wilayah Provinsi Riau yang diatur dalam Perda Nomor 10 Tahun 1994 berada di kawasan pengembangan perkebunan, sedang menurut menteri kehutanan berada di kawasan hutan industri dan APL.

Ia mengatakan, jika dihubungkan dengan Perppu Cipta Kerja, terlihat JPU melakukan pembangkangan atas perintah UU/Perppu Cipta Kerja.

Sebab, aktivitas pembangunan dan penanaman sawit termasuk pembangunan pabrik pengolah kelapa sawit oleh perusahan perusahaa tersebut dimulai tahun 2009, setelah Raja Thamsir Rachman tidak menjabat Bupati Indragiri Hulu karena mengundurkan diri tahun 2008.

Handika menyebut, keterlanjuran pembangunan kebun sawit oleh perusahaan Duta Palma Grup atas perintah Pasal 110A dan 120B Perppu Cipta Kerja jo peraturan pelaksanaan penyelesainnya tidak boleh dituntut secara pidana termasuk dengan tipikor.

Melainkan harus diproses secara adminitrasi disertai kewajiban membayar dana reboisasi dan provinsi sumber daya hutan serta denda administrasi kepada negara.

"Tuntutan tersebut merupakan bukti jika JPU tidak hanya melakukan disobidensce (pembangkangan) perintah Perppu Cipta Kerja yang telah mendepenalisasi keterlanjuran pembangunan kebun sawit di kawasan hutan, tetapi juga mendestroy proses penyelesaian keterlanjutan pembangunan kebun sawit seluas 3,4 juta hektar oleh ribuan perusahaan di kawasan hutan secara adminitrasi oleh Kementerian Kehutanan. Jadi tuntutan JPU tersebut merusak kepastian dan kemanfaatan hukum yang diatur dan dituju dalam Perppu Cipta Kerja," katanya.

Sumber: Tribunnews
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved