Berita Viral

Uang Japuik Ajo Piaman Viral di TikTok, Berapa Uang Japuik di Pariaman dan Apa Itu Uang Japuik?

ISTILAH uang japuik ajo Piaman viral di TikTok, lantas berapa uang japuik di Pariaman dan apa itu uang japuik ? Berikut penjelasannya.

|
Penulis: pitos punjadi | Editor: Nolpitos Hendri
Ilustrasi
Uang Japuik Ajo Piaman Viral di TikTok, Berapa Uang Japuik di Pariaman dan Apa Itu Uang Japuik? 

TRIBUNPEKANBARU.COM, PEKANBARU - ISTILAH uang japuik ajo Piaman viral di TikTok, lantas berapa uang japuik di Pariaman dan apa itu uang japuik ? Berikut penjelasannya.

Sebelum dibahas lebih lanjut, kami jelaskan apa itu uang japuik dan uang japuik artinya atau dalam bahasa Indonesia adalah sejumlah uang yang digunakan untuk meminang laki-laki dari pihak si perempuan di Pariaman yang biasanya jumlah uang japuik tersebut merupakan hasil kesepakatan antara mamak kedua belah pihak.

Ternyata, uang japuik viral di TikTok berawal dari tewasnya Shintia Indah Permatasari diduga karena bunuh diri akibat gagal nikah dengan sang pacar yang diduga bernama Muhammad Hadi yang seorang polisi.

Gagalnya Shintia Indah Permatasari dengan Muhammad Hadi diduga karena uang japuik yang diminta oleh keluarga pria sangat tinggi yakni mencapai Rp 500 juta.

Soal uang japuik yang viral terkait Shintia Indah Permatasari ditemukan di media sosial TikTok, yakni di komentar akun @akupendiam08.

Lalu, menurut TikToker, keluarga Shintia Indah Permatasari tidak sanggup dengan uang Japuik Rp500 juta.

"Belajar dari kasus Shintia yang bundir karena cowok (akpol) yang katanya minta uang japuik Rp500 juta dan seharusnya nikah bulan Januari 2024?" tulis akun TikTok @rhenamrlnaaa.

Setelah viral karena kejadian itu, uang japuik kembali viral karena peristiwa itu dinilai telah mencoreng adat Pariaman sehingga banyak akun TikTok yang membuat konten tentang uang japuik ini.

Beragam konten tentang uang japuik tersebut, ada yang tidak setuju dan ada yang setuju.

Klik di SINI videonya

Selain itu, juga viral daftar harga laki-laki Pariaman mulai dari Rp 1 juta sampai Rp 50 juta, namun ini belum dibenarkan oleh niniak mamak dari Pariaman, berikut daftar yang viral itu : 

  1. PNS 50 juta
  2. Panggaleh 40 juta
  3. Bos Rumah Makan 35 juta
  4. Karyawan Swasta 28 juta
  5. Tukang 23 juta
  6. Sopir 20 juta
  7. Tukang panjek 15 juta
  8. Tukang sulo 12 juta
  9. Tukang ojek 7 juta
  10. Tukang angkek 3 juta
  11. Pengangguran 1 juta

Klik di SINI daftar uang jopuik ajo Piaman

Dilansir dari Abstrak Skripsi NIA, AZDA OKTAVIA (2011) TRADISI UANG JEMPUTAN DAN UANG HILANG DI PARIAMAN DALAM NOVEL KETIKA REMBULAN KEMBALI BERNYANYI : TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA SASTRA. Diploma thesis, UNIVERSITAS ANDALAS, tradisi uang jemputan dan uang hilang lahir dilatar belakangi oleh munculnya tudingan perawan tua bagi seorang anak gadis.

Gadih Gadang Indak Balaki (gadis yang sudah cukup umur tetapi belum menikah) merupakan hal yang tabu bagi masyarakat di Pariaman, sehingga para Ninik Mamak orang Pariaman berperan penting untuk menyelesaikan masalah ini.

Tradisi Uang jemputan adalah tradisi mas kawin dalam hal ini ditandai dengan adanya uang pinangan yang dikenal dengan istilah uang japuik.

Uang japuik (uang jemputan) adalah sejumlah uang yang digunakan untuk meminang laki-laki dari pihak si perempuan yang biasanya jumlah uang japuik tersebut merupakan hasil kesepakatan antara mamak kedua belah pihak.

Jumlah tersebut biasanya dilihat berdasarkan gelar adat si laki-laki.

Uang jemputan berfungsi 4 sebagai salah satu persyaratan pernikahan dan bermakna sebagai perwujudan rasa hormat atau penghargaan dari pihak keluarga perempuan kepada laki-laki (calon menantu atau sumando) dan keluarganya.

Pada awalnya uang jemputan ini berlaku bagi calon menantu yang hanya bergelar Sutan, Bagindo dan Sidi.

Ketiga gelar ini diwariskan menurut nasab atau garis keturunan ayah atau patriakat, sedangkan sekarang jumlah tersebut dilihat berdasarkan pangkat, jabatan, gelar sarjana dan pekerjaan si laki-laki yang akan diambil menjadi menantu dan pasang untuk kemenakannya.

Hal ini juga dikemukakan Sri Meiyenti dan Syahrizal dalam hasil penelitiannya, yaitu besar kecilnya pembayaran uang atau barang untuk jemputan tergantung dari status sosial si laki-laki yang akan diambil menjadi menantu.

Secara tradisional gelar kebangsawanan yang menjadi tolok ukur besar kecilnya jemputan. Kalau orangnya bergelar sidi, sutan, atau bagindo jemputannya lebih besar dibandingkan dengan orang biasa karena orang ingin anak cucunya dialiri darah bangsawan.

Sekarang cenderung bukan lagi gelar bangsawan yang menjadi ukuran tetapi status sosial lain yaitu gelar kesarjanaan seperti dokter, insinyur, sarjana lainnya dan lulusan perguruan tinggi terkemuka akan lebih tinggi statusnya (Meiyenti, Sri dkk : 2010).

Samudra dalam opininya yang dimuat dalam http://sosbud.kompasiana.com/2009/11/26/ mengatakan bahwa uang jemputan adalah nilai tertentu yang akan dikembalikan kemudian kepada keluarga pengantin wanita pada saat setelah dilakukan acara pernikahan.

Pihak Pengantin 5 pria akan mengembalikan dalam bentuk pemberian berupa emas yang nilainya setara dari nilai yang diberikan oleh keluarga pihak pengantin perempuan sebelumnya kepada keluarga pengantin pria.

Biasanya pemberian ini dilakukan oleh keluarga pengantin pria (marapulai) ketika pengantin wanita (Anak Daro) manjalang (berkunjung) ke rumah Mintuo(mertua).

Bahkan pemberian itu melebih nilai yang diterima oleh pihak marapulai sebelumnya karena ini menyangkut gengsi keluarga marapulai itu sendiri.

Hal ini juga ditemukan dalam sebuah novel yang brjudul Ketika Rembulan Kembali Bernyanyi karya Kartini.

Novel ini merupakan novel pertama sang pengarang yang diterbitkan oleh Yayasan Sinar Gunung Sungai Geringging pada November 2010.

Ketika Rembulan Kembali Bernyanyi merupakan sebuah novel yang berbicara mengenai sebuah tradisi yang berkembang di tengah masyarakat di Kabupaten Padang Pariaman. Tradisi itu adalah tradisi uang jemputan dan uang hilang.

Dalam novel ini diceritakan mengenai sebuah tradisi yang berkembang di tengah masyarakat di Kabupaten Padang Pariaman.

Tradisi uang jemputan dan uang hilang ini dideskripsikan mengekang kehidupan masyarakat yang menjalankan tradisi ini.

Ini dapat dilihat dari kehidupan si tokoh Nina yang penuh dengan konflik yang disebabkan oleh tradisi uang jemputan dan uang hilang tersebut yang dituangkan oleh si pengarang ke dalam novel tersebut.

( Tribunpekanbaru.com / Pitos Punjadi )

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved