Berita Vir

HEBOH Polisi di Papua Cabuli Anak tapi Divonis Bebas, Anggota DPR RI Meradang

Selain itu, status terdakwa selaku anggota Polri juga patut menjadi pertimbangan majelis hakim, mengingat polisi seharusnya melindungi rakyat.

Freepik
ANAK DI BAWAH UMUR: Pria yang baru saja menggelar resepsi pernikahan di Kalsel ditangkap karena menggauli anak di bawah umur. 

TRIBUNPEKANBARU.COM - Keputusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Jayapura yang membebaskan seorang anggota kepolisian yang didakwa melakukan tindak pencabulan anak di Kabupaten Keerom, Papua, memicu reaksi keras dari Komisi XIII DPR RI.

Andreas Hugo Pareira, Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, mengungkapkan kekecewaannya dan menilai bahwa putusan tersebut mencerminkan lemahnya penegakan hukum terhadap kasus-kasus kekerasan seksual pada anak.

Padahal, perlindungan anak dari kekerasan seksual telah diatur secara rinci dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

“Keputusan hukum tersebut juga telah mencederai keadilan dan tidak pro terhadap hak asasi manusia yang di dalamnya terdapat hak-hak anak,” ujar Hugo, saat dikonfirmasi, Jumat (21/3/2025).

Hugo mengatakan, pengadilan seharusnya bisa mengambil keputusan yang lebih adil bagi korban.

Selain itu, status terdakwa selaku anggota Polri juga patut menjadi pertimbangan majelis hakim, mengingat polisi seharusnya melindungi rakyat.

Baca juga: FAKTA-FAKTA Terbaliknya Bus Jemaah Umrah Asal Indonesia di Jeddah: Bus Terbakar, 6 Meninggal

Baca juga: Menguak Kode Yang Penting Aman: Skandal Perizinan Sabung Ayam dan Oknum Polisi di Lampung

“Di saat terdakwa telah mencoreng citra institusi kepolisian karena perilakunya, pengadilan pun ikut tidak berpihak kepada korban lewat proses peradilan yang penuh ketidakadilan,” ungkap Andreas.

Politikus PDI-P itu meminta Komnas HAM untuk turut mengawal kasus pencabulan anak oleh polisi di Kabupaten Keerom, Papua tersebut. Sebab, pihak keluarga korban saat ini sedang mengajukan kasasi atas vonis bebas terhadap pelaku.

“Keputusan pihak keluarga ini menunjukkan adanya dugaan ketidakberesan atau ketidakwajaran dalam proses peradilan,” kata Andreas

“Kami berharap Komnas HAM ikut terlibat mengawal kasus ini demi memastikan hak-hak korban benar-benar terakomodir,” sambung dia.

Dia pun mengingatkan bahwa hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan dari negara juga dijamin dalam UU HAM.

“Dalam UU ini diatur bahwa setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari orangtua, keluarga, masyarakat, dan negara. Hak anak adalah hak asasi manusia yang diakui serta dilindungi oleh hukum,” pungkas dia.

Diberitakan sebelumnya, seorang polisi berpangkat Brigadir Dua dengan inisial AFH divonis bebas oleh Hakim Pengadilan Negeri Kelas 1A Jayapura pada 20 Januari 2025 dalam kasus pencabulan anak di Papua pada 2022.

Kuasa hukum korban mengaku keberatan dan telah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Tim pengacara juga akan mengirim surat ke Komisi Yudisial, pada Senin (17/03), sebagai upaya untuk mencari keadilan.

“Yang kita takutkan, pelakunya sudah bertugas lagi di kesatuannya. Pelakunya sering lewat di depan rumahnya. Kita khawatir kalau korban tidak sengaja melihat pelaku lalu lalang traumanya kembali," kata Kuasa Hukum Korban, Dede Gustiawan Pagundun.

Tuduhan pencabulan terhadap korban mengemuka di Kabupaten Keerom, Papua, pada 2022. Saat itu, korban berusia lima tahun.

Korban kemudian bercerita kepada kakaknya. Keluarga korban kemudian melaporkan kasus ini ke Polda Papua pada 2023.

"Enam bulan kemudian pelakunya baru ditahan," kata Dede.

Kasus ini sempat diselesaikan oleh keluarga korban dan keluarga terdakwa yang difasilitasi oleh pihak Kepolisian Polres Keerom.

Proses persidangan di Pengadilan Negeri Jayapura dimulai pada 2024, kemudian hakim memberikan putusan pada Januari 2025.

Majelis hakim, yang terdiri dari Hakim Ketua Zaka Talpatty, Hakim Anggota Korneles Waroi, dan Hakim Anggota Ronald Lauterboom menjatuhkan vonis bebas pada 20 Januari.

Dede Gustiawan Pagundun, menuding hakim tidak melihat secara jernih fakta-fakta di persidangan. Hakim, sambungnya, hanya menyandarkan putusan pada ketiadaan saksi ketika dugaan perbuatan dilakukan.

"Tapi, pengakuan korban tidak dipertimbangkan hakim," ujar dia.

Hal yang juga diabaikan hakim, kata Dede, adalah keberadaan surat kesepakatan yang dibuat antara pelaku dan keluarga korban di Polres Keerom, tempat terduga pelaku bertugas.

Surat kesepakatan itu antara lain memuat kesediaan terdakwa untuk membayarkan uang sebesar Rp 80 juta kepada keluarga korban untuk biaya pengobatan.

"Surat kesepakatan itu adalah bukti pencabulan itu," klaim Dede.

"(Mana ada) orang yang tidak melakukan tindakan (pencabulan), tapi memberikan uang Rp80 juta? Tidak masuk akal," sebut Dede lagi.

"Masa ada orang ada buat surat kesepakatan kalau orangnya tidak bersalah?" kilahnya.

(TRIBUNPEKANBARU.COM_

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved