Kader PSI yang Sebut Jokowi Penuhi Syarat Sebagai Nabi Akhirnya Beri Klarifikasi dan Minta Maaf 

Kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Dedy Nur Palakka, secara resmi menyampaikan klarifikasi dan permintaan maaf.

Editor: Ariestia
Tangkap layar Twitter @DedynurPalakka/Biro Pers Sekretariat Presiden/YouTube Kompas TV
CUITAN KONTROVERSI - Kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Dedy Nur Palakka (KANAN), Mantan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) (tengah). Cuitan Dedy menyebut Jokowi memenuhi syarat jadi nabi di akun media sosial X, Senin (9/6/2025). 

Terima kasih atas kritik, masukan, dan pengertian dari berbagai pihak.

Hormat saya, 
Dedy Nur Palakka

Viral Cuitan Dedy yang Sebut Jokowi Penuhi Syarat sebagai Nabi

Sebelumnya, cuitan Dedy Nur Palakka, yang menyebut Jokowi sudah memenuhi syarat sebagai nabi, sempat viral dan memicu kontroversi di media sosial.

Pernyataan tersebut ditulis Dedy dalam sebuah unggahan di platform X (dulu Twitter) pada Selasa (10/6/2025).

Tulisan itu diunggah sebagai respons terhadap komentar miring warganet yang menyindir kedekatan Jokowi dengan rakyat.

"Jadi nabi pun sebenarnya beliau ini sudah memenuhi syarat. Cuman sepertinya beliau menikmati menjadi manusia biasa dengan senyum lebar saat bertemu rakyat," tulis Dedy dalam cuitannya.

Ia kemudian melanjutkan, "Sementara di dunia lain masih ada saja yang tidak siap dengan realitas bahwa tugas kenegaraan beliau sudah selesai dengan paripurna," seperti dikutip dari Tribunnews.com.

Pernyataan tersebut langsung menuai reaksi beragam.

Sebagian netizen menilai Dedy terlalu berlebihan dalam memberikan pujian kepada Jokowi, bahkan dianggap melampaui batas karena menyandingkan presiden dengan gelar kenabian.

Menanggapi kontroversi tersebut, Dedy kemudian memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai maksud pernyataannya.

Ia menegaskan bahwa istilah “nabi” yang digunakannya tidak dimaksudkan secara literal seperti dalam pengertian agama.

"Orang yang menerima wahyu dari Tuhan untuk disampaikan kepada umat manusia. Namun, dalam perbincangan filsafat, sastra, dan tafsir sosial, kata nabi juga sering digunakan secara kiasan atau simbolik," jelas Dedy.

Ia juga menyatakan bahwa dirinya tidak merasa salah atas pernyataan tersebut, dan menilai bahwa pemikiran pribadi tidak selalu membutuhkan validasi banyak orang.

"Tidak perlu banyak orang untuk mengawali pemikiran. Banyak ide besar dalam sejarah justru berangkat dari satu orang yang melihat sesuatu yang orang lain belum lihat. Dulu orang menganggap Nelson Mandela pengacau, sebelum akhirnya disebut pembawa cahaya rekonsiliasi. Mahatma Gandhi dulu dianggap aneh dengan strategi ahimsa, sebelum dunia menyebutnya nabi tanpa senjata. Sifat kenabian tidak harus selalu disematkan oleh massa. Kadang, satu orang yang mampu menjaga integritas, sabar dalam difitnah, tidak membalas kebencian dengan kebencian, dan tetap memimpin dengan ketenangan, jauh lebih mencerminkan karakter kenabian daripada mereka yang sibuk mengaku-ngaku “paling religius,” lanjutnya.

Penilaian tersebut, kata Dedy, sepenuhnya merupakan bentuk apresiasi pribadi berdasarkan nilai-nilai etis, bukan sebuah klaim keagamaan.

"Jadi, kalaupun hanya satu orang yang mengatakan Jokowi punya sifat kenabian, itu sah sebagai penilaian pribadi yang berbasis pada nilai-nilai etis, bukan klaim wahyu literal," tegasnya.

(*)

 

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved