Berita Viral
Mahfud MD ungkap Bahaya yang Mengerikan jika Sejarah Indonesia Ditulis Ulang
Mahfud MD secara tegas mengatakan ada bahaya yang mengerikan jika sejarah Indonesia ditulis ulang. bahkan bisa menghilangkan fakta
TRIBUNPEKANBARU.COM - Publik terus menyoroti usaha pemerintah melalui Menteri Kebudayaan Fadli Zon menulis ulang sejarah.
Terbaru adalah kritikan keras yang disampaikan oleh mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.
Ia merespons soal kontroversi pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut tidak ada bukti pemerkosaan massal dalam tragedi Mei 1998.
Baca juga: BIKIN GELENG KEPALA, Pria ini Memilih Nikahi Chatbot Dibanding Pacar Rilnya, Ngaku Terlanjur Cinta
Sejarah yang telah ada dikhawatirkan malah dihilangkan. Hal itu tentu saja akan berdampak tidak baik pada fakta sejarah yang sejatinya ada.
Namun, fakta sejarah kemudian dihilangkan hanya untuk kepentingan pemerintah.
Inilah yang kemudian menjadi perhatian serius Mahfud MD.
Bahkan ia secara tegas mengatakan, pemerintah cukup menulis sejarah di pelajaran saja.
"Yang penulisan sejarah itu, kalau saya sejak awal menyatakan negara itu tidak perlu nulis sejarah. Sejarah yang ditulis oleh negara ya buku pelajaran aja," kata Mahfud dalam keterangannya, Kamis (19/6/2025).
Menurut Mahfud, sejarah mestinya ditulis oleh para ilmuwan, bukan oleh pemerintah, agar tidak mudah dimanipulasi sesuai kepentingan kekuasaan.
"Saya bilang, saya enggak setuju. Sejarah kalau ditulis oleh negara nanti berubah lagi, karena yang ditulis oleh negara sudah banyak, sejarah itu," ujarnya.
Dia mencontohkan buku sejarah versi Mohammad Yamin yang sempat dianggap sahih tetapi belakangan terbukti mengandung banyak kekeliruan.
Mahfud menilai proyek penulisan sejarah oleh pemerintah berpotensi menimbulkan klaim sepihak dan menimbulkan kontroversi.
“Klaim baru, nanti akan diklaim lagi, itu salah. Dulu bukunya Yamin dipuji-puji, lalu katanya salah. Ini kan, ditulis lagi, ditulis lagi,” tegasnya.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini juga menanggapi pernyataan Fadli Zon bahwa tidak ada bukti dan rumor terkait peristiwa pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998.
Menurut Mahfud, hal itu bertentangan dengan kesaksian korban dan hasil investigasi resmi.
"Ya menurut saya saya tahun 1998 saya sudah jadi dosen. Jadi, logika saya mengatakan memang terjadi peristiwa pelanggaran HAM di tahun 1998 itu. Dan kemudian sebelum Komnas HAM menentukan itu kan ada TGPF. Di mana di situ ada Hermawan Sulistyo atau Kiki. Itu dia bicara ada pelanggaran itu," jelas Mahfud.
Baca juga: LUAR BIASA, 25 Wakil Menteri Ini Rangkap Jabatan Komisaris BUMN, Sebulan Segini Gaji yang Diterima
Mahfud menambahkan bahwa ada kesaksian langsung dari korban kekerasan seksual yang tak bisa diabaikan.
"Kalau itu ada, bahkan ada orang yang seorang tokoh yang terkenal sekali ketika dia trauma karena istri dan anaknya diperkosa di depan dia. Ya kan? Dia pergi ke Amerika Serikat, sudah pulang ke Indonesia, dia cerita. Kalau saya lihat dengan mata kembali karena anak dia dan istri dia," kata dia.
Dia menegaskan bahwa pelanggaran HAM berat sudah ditetapkan sebagai fakta hukum oleh Komnas HAM berdasarkan mandat undang-undang.
"Enggak bisa dihapus. Hapus dalam buku, besok akan ditulis orang lagi. Dalam sejarah yang berbeda. Sekarang malah menjadi kontroversi ini,” katanya.
Mahfud juga menyinggung bahwa penyelesaian non-yudisial terhadap pelanggaran HAM sudah mendapat pengakuan internasional.
"Itu kemudian mendapat penghargaan dari BBB, kan. Dengan menyebut, menghargai, mengapresiasi langkah Presiden Joko Widodo dari Indonesia. Dan para korban mengapresiasi," kata dia.
Dia mengingatkan bahwa sejarah pelanggaran HAM tidak bisa dihapus begitu saja.
"Sejarahnya tidak bisa dihapus. Tetapi mungkin pengadilannya bisa diperbaiki," tambahnya.
Mahfud menilai pemerintah sebaiknya tidak menghapus atau mengabaikan fakta-fakta sejarah yang sudah dibuktikan secara hukum.
Pakar hukum tata negara ini menyadari memang terdapat kesulitan untuk membuktikan pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu di hadapan pengadilan. Karena proses pembuktian yang harus kuat dan jelas. Namun, Mahfud menyarankan kejujuran dalam menghadapi kenyataan sejarah.
“Biarkan sejarawan menulis sendiri. Orang bisa analisis sendiri," tandas Mahfud.
Sebelumnya, Fadli Zon memberikan klarifikasi terkait pernyataannya soal kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998.
Fadli menilai bahwa istilah “perkosaan massal” membutuhkan verifikasi fakta yang lebih kuat.
"Saya tentu mengutuk dan mengecam keras berbagai bentuk perundungan dan kekerasan seksual pada perempuan yang terjadi pada masa lalu dan bahkan masih terjadi hingga kini," kata Fadli Zon melalui keterangan tertulis, Senin (16/6/2025).
"Apa yang saya sampaikan tidak menegasikan berbagai kerugian atau pun menihilkan penderitaan korban yang terjadi dalam konteks huru hara 13-14 Mei 1998," ujarnya menambahkan.
Menurut Fadli, kerusuhan pada masa itu memang menyimpan banyak bentuk kejahatan, tetapi labelisasi “massal” terhadap kekerasan seksual harus digunakan dengan sangat hati-hati.
"Penting untuk senantiasa berpegang pada bukti yang teruji secara hukum dan akademik, sebagaimana lazim dalam praktik historiografi. Apalagi menyangkut angka dan istilah yang masih problematik," ungkapnya.
Dia menyebut laporan investigatif dari media maupun dokumen resmi saat itu tidak menyajikan data yang cukup kuat.
"Berbagai tindak kejahatan terjadi di tengah kerusuhan 13-14 Mei 1998, termasuk kekerasan seksual. Namun terkait ‘perkosaan massal’ perlu kehati-hatian karena data peristiwa itu tak pernah konklusif," ucapnya.
Menanggapi kritik soal penghilangan narasi perempuan dalam buku Sejarah Indonesia, Fadlimenyatakan bahwa justru semangat utamanya adalah untuk memperkuat kontribusi perempuan.
"Justru sebaliknya, salah satu semangat utama penulisan buku ini adalah memperkuat dan menegaskan pengakuan terhadap peran dan kontribusi perempuan dalam sejarah perjuangan bangsa," tuturnya.
Dia juga menyampaikan bahwa isu-isu perempuan telah diakomodasi dalam penyusunan buku hingga Mei 2025, termasuk sejarah gerakan perempuan, kekerasan berbasis gender, dan kesetaraan dalam pembangunan.
Terakhir, Fadli mengajak publik untuk terlibat dalam dialog terbuka dan konstruktif mengenai penyusunan narasi sejarah.
“Prinsip keterbukaan, partisipasi publik, profesionalisme dan akuntabilitas tentu tetap menjadi dasar penyusunan sejarah. Kami akan melakukan diskusi publik yang terbuka untuk menerima masukan dari berbagai kalangan, termasuk para tokoh dan komunitas perempuan, akademisi, dan masyarakat sipil,” ungkapnya.
“Sejarah bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang tanggung jawab kita di masa kini dan masa depan. Karena itu, mari kita menjadikannya ruang bersama untuk membangun pembelajaran, empati, dan kekuatan pemersatu,” tambahnya.
Viral Bocah Perintis, INILAH Sosok Ryu Kintaro: Klaim Punya Omzet Rp 1 miliar dari Bisnis Jamu |
![]() |
---|
GEMPA di Rusia Terkuat di Dunia setelah Jepang, Picu Tsunami 4 Meter hingga Sangat Merusak |
![]() |
---|
Jika Penjaga Kos Langsung Buka Kamar, Arya Daru Pangayunan Masih bisa Diselamatkan |
![]() |
---|
TERKUAT Sejak 1952, Beginilah Kondisi Rusia usai Gempa 8,8 Magnitudo dan Tsunami, Bangunan Rusak |
![]() |
---|
GAWAT, Rp 2,1 Triliun Uang Bansos Mengendap di 10 Juta Rekening, Bisa Disalahgunakan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.