Berita Nasional

Tak Menyangka, Ternyata Ini yang Diperbuat Setya Novanto di Lapas hingga Dapat Bebas Bersyarat

Tak menyangka, ternyata ini kebaikan Setya Novanto yang bikin ia diberikan pembebasan bersyarat

Editor: Budi Rahmat
Kompas.com/Robertus Belarminus)
BEBAS BERSYARAT - Setya Novanto bebas bersyarat 

TRIBUNPEKANBARU.COM - Publik dibikin geger dengan kebebasan Setya Novanto terpidana kasus korupsi e-KTP yang merugikan negara sebesar Rp 2,3 triliun.

Ia mendapatkan pembebasan bersyarat bertepatan dengan momen HUT ke 80 RI. Dan tentu saja banyak yang bertanya, apa yang menyebabkan Setya Novanto bisa bebas.

Lalu bagaimana dnegan para napi lain dengan kasus yang tidak begitu besar?

Baca juga: Remaja 18 Tahun di Banyumas Bawa Mobil Xpander, Hilang Kendali, Tabrak Pemotor, 2 Meninggal Dunia

Nah, ternyata inilah sederat alasan mengapa Setya Novanto bisa diberikan bebas bersyarat. Dan tidak banyak yang tahu jika ada hal yang dilakukan Setya Novanto

Penjelasan Pihak Lapas

Terpidana kasus korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) Setya Novanto mendapat pembebasan bersyarat dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat (Jabar).

Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal (Ditjen) Pemasyarakatan Jabar Kusnali mengatakan, Setya Novanto resmi bebas bersyarat pada Sabtu (16/8/2025).

Eks Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tersebut menghirup udara bebas usai peninjauan kembali (PK) yang diajukan ke Mahkamah Agung (MA) dikabulkan dari 15 tahun menjadi 12 tahun enam bulan tahun.

Kusnali menjelaskan, pembebasan bersyarat yang didapat Setya Novanto sudah sesuai dengan aturan, yaitu narapidana menjalani dua per tiga masa pidana dari total pidana penjara selama 12,5 tahun.

“Dihitung dua per tiganya itu mendapat pembebasan bersyarat pada 16 Agustus 2025,” jelas Kusnali dikutip dari Antara, Minggu (17/8/2025).

Lalu, apa alasan Setya Novanto mendapat pembebasan bersyarat atas kasus korupsi e-KTP yang merugikan negara sebesar Rp 2,3 triliun?

Alasan Setya Novanto dapat pembebasan bersyarat

Setya Novanto mendapat pembebasan bersyarat karena berkelakuan baik selama menjalani hukuman di Lapas Sukamiskin, salah satunya dengan menginisiasi program klinik hukum.

Menurut Kepala Subdirektorat Kerja Sama Pemasyarakat Ditjen Pemasyarakatan Rika Aprianto, program tersebut sudah mendapat persetujuan dari pihak lapas.

“Seperti peer educator-lah (pendidik sebaya). Warga binaan support (mendukung) warga binaan,” kata Rika dikutip dari Antara, Minggu (17/8/2025).

Rika menambahkan, eks Ketua Umum Partai Golkar tersebut juga aktif dalam program ketahanan pangan di lapas.

Baca juga: Jadi Heboh, Gara-gara Gambar dan Warna di Baju para Transgender yang Ikut HUT ke 80 RI di Sultra

Selain itu, Setya Novanto mengikuti program kemandirian dan pembinaan spiritual secara baik.

Setelah bebas bersyarat, status Setya Novanto sebagai narapidana berubah menjadi klien pemasyarakatan pada Balai Pemasyarakatan Bandung. Ia juga wajib lapor setidaknya satu kali dalam sebulan.

“Semua warga binaan yang diberikan program kebebasan bersyarat. Itu juga dicek pertimbangan-pertimbangannya. Jadi bukan hanya Setnov, ya, yang lain-lainnya juga sama,” jelas Rika.

Hak politik Setya Novanto dicabut selama 2,5 tahun

Rika menambahkan, hak politik Setya Novanto dicabut selama 2,5 tahun walau mendapat pembebasan bersyarat.

Pencabutan hak politik terhitung sejak ia bebas murni pada 2029 mendatang.

Rika menyampaikan bahwa pihaknya hanya menjalankan putusan pengadilan terkait vonis MA atas permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan Setya Novanto.

“Kalau kami, kan, melaksanakan putusan pengadilan, ya, bahwa diputus dicabut hak politiknya 2,5 tahun itu setelah berakhir masa bimbingan. Artinya, setelah bebas, kan, bebas murninya itu setelah berakhir masa bimbingan,: jelas Rika dikutip dari Antara, Minggu (17/8/2025).

“Secara aturannya seperti itu, berdasarkan putusan pengadilan. Sekali lagi, bukan aturan dari kami, tapi berdasarkan putusan pengadilan seperti itu,” pungkasnya.

Adapun, Setya Novanto sebelumnya divonis 15 tahun penjara dengan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan.

Ia juga diwajibkan membayar uang pengganti senilai 7,3 juta dollar AS karena terbukti melakukan korupsi dalam kasus e-KTP tahun anggaran 2011-2013.

Namun, MA menyunat hukuman Setya Novanto menjadi 12 tahun enam bulan penjara dan mengubah pidana denda menjadi Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan,

MA juga mewajibkan narapidana mengganti uang sebesar 7,3 dollar AS yang dikompensasi sebesar Rp 5 miliar yang telah dititipkan kepada penyidik KPK dan disetorkan.

Dengan dasar itulah, kewajiban membayar uang pengganti tersisa Rp 49 miliar subsider dua tahun penjara.

Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!

Belum Bebas dari Korupsi

Rektor Universitas Harkat Negeri Tegal, Sudirman Said, menyebut  bangsa ini masih belum bebas dari belenggu korupsi, meskipun Indonesia sudah 80 tahun merdeka. 

"Kita memang berhak merayakan hari merdeka, tetapi kita belum merdeka dari penjajahan kaum koruptor dan pengkhianat bangsa,” kata Sudirman Said dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Minggu (17/8/2025).

Sudirman Said juga turut menyoroti bebas bersyaratnya terpidana korupsi e-KTP, Setya Novanto, dari Penjara Sukamiskin di momentum jelang HUT ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia.

“Kita memang berhak merayakan hari merdeka. Tapi sebenar-benarnya, negeri kita belum merdeka dari cengkeraman para koruptor dan perusak tata hidup bernegara,” kata Sudirman.

Menurut Sudirman, Indonesia memiliki semua syarat untuk jadi negara hebat.

Satu hal yang kurang: penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.

Sudirman menyebut, hukum yang berlumuran korupsi membuat rasa tidak adil mendominasi suasana batin rakyat banyak.

Akibatnya, yang bisa “beli” hukum mendapat kenikmatan berlipat-lipat.

Kemudian, yang bersalah bisa dibebaskan, yang seharusnya dihukum berat bisa diringankan, dan yang seharusnya dipenjara bisa dibebaskan.

Sudirman menyebut bahwa masyarakat dipertontonkan dengan pertunjukan telanjang betapa hukum Indonesia tak menenangkan suasana batin rakyat kebanyakan.

“Setya Novanto, terpidana korupsi yang selama dihukum pun terus menerus membuat ulah, hukuman kurungannya disunat. Dan sanksi larangan tidak boleh menjadi pejabat publik diperpendek, yang semula 5 tahun, dipotong hanya 2,5 tahun saja,” ujar Sudirman.

Jika korupsi diberantas dan hukum ditegakkan, maka rasa adil akan terwujud nyata di Indonesia.

Sebelumnya diberitakan Kompas.com, Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan, Agus Andrianto, mengatakan terpidana kasus korupsi e-KTP, Setya Novanto (Setnov), telah bebas bersyarat dari Lapas Sukamiskin, Jawa Barat.

Agus menyebut, berdasarkan hasil pemeriksaan peninjauan kembali (PK), batas hukuman Setnov sudah melampaui waktu.

Dia bahkan menyebut Setnov seharusnya sudah bebas pada 25 Juli 2025 lalu.

"Iya. Karena sudah melalui proses asesmen, dan yang bersangkutan berdasarkan hasil pemeriksaan PK itu sudah melampaui waktunya. Harusnya tanggal 25 yang lalu," ujar Agus di Istana, Jakarta, Minggu (17/8/2025).

Agus menekankan, Setnov tidak wajib lapor setelah bebas.

Sebab, kata dia, Setnov sudah membayar denda subsidier. "Enggak ada. Karena kan denda subsidier sudah dibayar," ucapnya.

Sementara itu, Agus menekankan Setnov bebas bersyarat karena PK-nya dikabulkan, sehingga masa hukumannya disunat.

"Putusan PK kan kalau enggak salah. Putusan peninjauan kembali kepada yang bersangkutan dikurangi masa hukumannya," imbuh Agus.

Mantan Ketua DPR Setya Novanto dapat bebas lebih cepat setelah hukuman penjaranya disunat dari 15 tahun penjara menjadi 12 tahun dan 6 bulan penjara.

Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Setya Novanto ihwal vonis hukumannya dalam kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP.

"Kabul. Terbukti Pasal 3 jo Pasal 18 UU PTPK jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Pidana penjara selama 12 tahun dan 6 (enam) bulan," demikian keterangan dari putusan nomor 32 PK/Pid.Sus/2020 yang dikutip dari laman resmi MA, Rabu (2/7/2025).

Sebagai informasi, Setya Novanto dinyatakan terbukti bersalah melakukan korupsi proyek e-KTP tahun anggaran 2011-2013, pada 24 April 2018.

Ia divonis 15 tahun penjara dan diwajibkan membayar denda Rp 500 juta subsidier tiga bulan kurungan.

Majelis hakim juga mencabut hak politik Novanto selama lima tahun setelah selesai menjalani masa pidana.

Setya Novanto sebelum terseret kasus korupsi e-KTP merupakan sosok yang sudah malang-melintang di kancah perpolitikan Indonesia.

Karier politiknya dimulai sebagai kader Kosgoro pada 1974 dan menjadi anggota DPR Fraksi Partai Golkar untuk pertama kalinya pada 1998.

Sejak saat itu, ia enam periode berturut-turut selalu mengamankan kursi di parlemen hingga 16 Desember 2015.

Setya Novanto juga merupakan sosok yang pernah menduduki kursi Ketua Umum Partai Golkar (17 Mei 2016 – 13 Desember 2017) dan Ketua DPR (30 November 2016 – 11 Desember 2017).

Nama Setya Novanto menjadi tersangka kasus mega proyek e-KTP oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 17 Juli 2017.

Kasus korupsi e-KTP sendiri bermula saat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada 2009 merencanakan pengajuan anggaran untuk penyelesaian Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAP).

Salah satu komponen program penyelesaian SIAP tersebut adalah Nomor Induk Kependudukan (NIK).

Pemerintah pun menargetkan pembuatan e-KTP dapat selesai pada 2013.

Proyek e-KTP merupakan program nasional dalam rangka memperbaiki sistem data kependudukan di Indonesia.

Dilansir dari Kompas.com, Jumat (4/2/2022), lelang e-KTP dimulai sejak 2011, tetapi banyak bermasalah karena terindikasi banyak penggelembungan dana.

Kasus korupsi e-KTP pun terendus akibat kicauan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin.

KPK kemudian mengungkap adanya kongkalikong secara sistemik yang dilakukan oleh birokrat, wakil rakyat, pejabat BUMN, hingga pengusaha dalam proyek pengadaan e-KTP sepanjang 2011-2012.

Akibat korupsi mega proyek secara berjemaah ini, negara mengalami kerugian mencapai Rp 2,3 triliun.

Keterlibatan Setya Novanto semakin kuat setelah namanya disebut dalam sidang perdana kasus tersebut dengan dua mantan pejabat Kemendagri, yakni Sugiharto dan Irman sebagai terdakwa.

Dalam dakwaan yang dibacakan jaksa di Pengadilan Tipikor, Kamis (9/3/2017), Novanto disebut memiliki peran dalam mengatur besaran anggaran e-KTP yang mencapai Rp 5,9 triliun.

Setelah melalui serangkaian proses hukum, majelis hakim memberikan vonis kepada para pelaku atas keterlibatan dalam tindak pidana korupsi proyek pengadaan e-KTP.

Delapan pelaku telah divonis bersalah oleh pengadilan dan mendapat hukuman berbeda tergantung sejauh mana keterlibatan mereka.

Adapun Setya Novanto divonis 15 tahun penjara pada 24 April 2018.(*)

Sumber : Kompas

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved