Kasus Suap Pemko Pekanbaru
Sampaikan Pledoi, Mantan Sekda Pekanbaru Indra Pomi Nasution: Saya Bukan Serakah Tapi Khilaf
Mantan Sekda Pekanbaru, Indra Pomi Nasution, menyampaikan pembelaan atau pledoi di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor.
Penulis: Rizky Armanda | Editor: M Iqbal
TRIBUNPEKANBARU.COM, PEKANBARU - Dalam sidang lanjutan kasus korupsi APBD, mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Pekanbaru, Indra Pomi Nasution, menyampaikan pembelaan atau pledoi di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Pekanbaru, Selasa (26/8/2025).
Indra Pomi Nasution mengawali pembelaannya dengan menceritakan asal-usulnya dari keluarga sederhana yang menjunjung tinggi kejujuran dan kesederhanaan.
Ia menegaskan bahwa sepanjang kariernya, ia tidak pernah memiliki niat untuk mengambil keuntungan pribadi.
Indra Pomi Nasution memohon pertimbangan Majelis Hakim atas beberapa faktor yang dapat menjadi keringanan.
Ia menyebut dirinya sebagai tulang punggung keluarga, tidak hanya bagi keluarga inti, tetapi juga bagi keluarga besar dari pihak ayah dan ibu. Kondisi ini membuat beban yang ia pikul menjadi lebih berat.
Ia juga mengungkapkan bahwa putri yang sangat ia cintai sedang menantikan hari wisuda. Ini menjadi salah satu alasan kuat baginya untuk berharap dapat kembali ke tengah-tengah keluarga dan mendampingi putrinya di momen penting tersebut.
Indra Pomi Nasution menyatakan penyesalan yang sangat dalam atas perbuatan yang telah mencoreng nama baiknya sebagai seorang Aparatur Sipil Negara (ASN).
"Saya sangat menyesali atas terjadinya peristiwa ini. Saya berjanji tidak akan mengulangi lagi," ucapnya.
Ia mengakui bahwa perbuatannya merupakan suatu kekhilafan yang terjadi karena pengaruh internal dan eksternal.
Untuk menebus kesalahannya, ia bertekad untuk menjadi penyuluh swadaya anti-korupsi setelah menjalani hukuman.
Di akhir pledoinya, Indra Pomi Nasution berdoa agar Majelis Hakim diberi kelapangan hati dan bisa melihat dirinya bukan sebagai sosok yang serakah.
“Doa saya agar Yang Mulia diberi kelapangan hati bahwa saya bukanlah seorang yang serakah, namun seorang manusia yang khilaf," pungkasnya.
Sementara itu, terdakwa lainnya, eks Plt Kabag Umum Sekretariat Daerah (Setda) Pekanbaru, Novin Karmila dalam pledoi menyatakan, pemotongan anggaran di Bagian Umum melanjutkan kebiasaan lama yang telah terjadi disana.
Pemotongan itu telah terjadi sejak 2022, bahkan saat sebelum ia menjabat Plt Kabag Umum.
Novin menyebutkan, pemotongan pencairan anggaran, sesuai keterangan saksi-saksi, yaitu dilakukan pejabat lain. Ia hanya menyampaikan permintaan Risnandar, baik secara langsung ataupun melalui ajudannya dan juga atas permintaan Kepala BPKAD Yulianis.
Bila majelis Hakim menyatakan ia bersalah sesuai tuntutan JPU, Novin meminta keringanan hukuman. Ia beralasan, seorang orang tua tunggal, ia merupakan tulang punggung keluarga satu-satunya.
''Saya juga menjadi tulang punggung bagi orang tua saya yang sudah lansia, juga saudara saya yang berkebutuhan khusus di rumah,'' ungkap Novin.
Sementara itu, mantan Penjabat (Pj) Wali Kota Pekanbaru, Risnandar Mahiwa, juga membacakan nota pembelaan atau pledoi di hadapan majelis hakim.
Ia diberi kesempatan pertama, sebelum Indra Pomi dan Novin Karmila.
Dalam pledoinya, Risnandar menyampaikan penyesalan mendalam atas perbuatannya dan berharap kasusnya dapat menjadi pelajaran berharga untuk perbaikan sistem pemerintahan di Indonesia.
Risnandar, lulusan Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) tahun 2006, mengakui bahwa dalam perjalanan kariernya, ia terjerumus dalam tindak pidana korupsi.
"Kami ditugaskan oleh negara dan jika negara mengoreksi serta menghukum kami, pada prinsipnya kami siap dan ikhlas menjalaninya karena itu bentuk dari pengabdian juga pada bangsa dan negara," ujarnya dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Pekanbaru.
Ia mengungkapkan, melalui proses peradilan yang sedang berjalan, ia percaya bahwa negara, melalui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lembaga peradilan, sedang melakukan koreksi demi perbaikan sistem penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik.
Dalam pledoinya, Risnandar juga menyinggung tentang kesendirian yang ia rasakan setelah kasus yang menjeratnya ini.
"Berbeda saat saya menjabat, hampir semua ada. Pada saat ada masalah, semua meninggalkan saya," sebut Risnandar.
Menjelang akhir pembacaan pledoi, ayah dari tiga orang anak ini menyampaikan permohonan maaf dari lubuk hati yang paling dalam.
Ia meminta maaf kepada Presiden dan Wakil Presiden, Menteri Dalam Negeri, serta seluruh anggota DPR RI.
Permintaan maaf juga disampaikan kepada seluruh masyarakat Kota Pekanbaru, tokoh agama, tokoh adat, tokoh pemuda, dan pemangku kepentingan lainnya.
Tak lupa, ia juga memohon maaf kepada Pemerintah Provinsi Riau, Pemerintah Kota Pekanbaru, dan jajaran Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda).
Risnandar berharap kasus yang menimpanya dapat menjadi contoh nyata bagi pejabat negara, pejabat politik, dan birokrasi agar tidak ada lagi yang mengulang kesalahan yang sama.
"Sehingga arah kebijakan menuju Indonesia Emas 2045 bisa tercapai," pungkasnya.
Jalan persidangan
Dari pantauan tribunpekanbaru.com di ruang sidang, tampak Risnandar yang mengenakan kemeja putih, duduk di bangku pesakitan tepat di hadapan majelis hakim yang mengadili perkara ini.
Sesekali, nada suara Risnandar terdengar bergetar. Khususnya saat menyampaikan permohonan maaf, dan membahas soal keluarga.
Selain Risnandar, ada 2 eks bawahannya yang juga berstatus terdakwa, yang akan menyampaikan pledoi.
Keduanya yakni eks Sekretaris Daerah (Sekda) Indra Pomi Nasution dan eks Plt Kepala Bagian (Kabag) Umum Sekretariat Daerah (Setda) Novin Karmila.
Sebelumnya, ketiga terdakwa telah dituntut pidana oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam sidang, Selasa (12/8/2025).
Diketahui, ketiganya dituntut dengan pidana berbeda.
Risnandar dituntut hukuman pidana penjara 6 tahun. Tak hanya itu, JPU KPK juga meminta agar Risnandar dihukum pidana denda sebesar Rp300 juta dengan subsidair 4 bulan kurungan.
JPU KPK turut menuntut Risnandar Mahiwa agar membayar uang pengganti kerugian keuangan negara sebesar Rp3,8 miliar, selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Jika terdakwa tidak membayar uang pengganti tersebut dalam kurun waktu yang ditentukan, maka harta benda terdakwa akan disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
Kemudian jika terdakwa tidak memiliki harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka dapat dipidana penjara selama 1 tahun.
Sementara terdakwa Novin Karmila, dituntut 5,5 tahun penjara. Selain pidana penjara, Novin juga dituntut pidana denda Rp 300 juta subsider 4 bulan kurungan, ditambah harus membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 2 miliar.
Berikutnya, Indra Pomi, dituntut 6,5 tahun penjara. Hukuman untuk Indra Pomi terbilang lebih berat dibanding terdakwa lainnya.
Indra Pomi dinyatakan bersalah melakukan korupsi pemotongan Ganti Uang (GU) persediaan dan Tambahan Uang (TU) Persedian, serta penerimaan gratifikasi dari sejumlah pejabat Pemerintah Kota Pekanbaru.
JPU juga menuntut Indra Pomi dengan denda sebesar Rp300 juta. Jika denda ini tidak dibayar, akan diganti dengan hukuman kurungan selama 4 bulan.
Selain itu, Indra Pomi juga diwajibkan membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp3,1 miliar.
Batas waktu pembayarannya adalah satu bulan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Jika tidak dibayar, hartanya akan disita dan dilelang. Jika ia tak memiliki harta lagi, maka hukuman penjara Indra Pomi akan bertambah 2 tahun.
Risnandar Mahiwa, menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat Kota Pekanbaru dan seluruh masyarakat Provinsi Riau.
Permintaan maaf ini disampaikan usai dirinya menjalani sidang tuntutan.
Risnandar mengakui kesalahannya dan menyatakan akan mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pribadi.
"Yang pertama saya tentu bersalah ya, saya mohon maaf kepada masyarakat Kota Pekanbaru dan masyarakat seluruhnya, khususnya di Provinsi Riau. Saya selaku penyelenggara (negara) sebagai Wali Kota, apa yang saya lakukan nanti saya pertanggungjawabkan secara pribadi,” ungkap Risnandar.
Risnandar turut menyampaikan, bahwa ia menghargai tugas yang diemban oleh JPU KPK, dalam mewakili kepentingan publik.
"Pada prinsipnya jaksa melakukan tugas negara dan kita harus apresiasi tugas-tugas negara yang diberikan kepada teman-teman KPK, mewakili kepentingan publik, dan saya selalu apresiasi itu," tambahnya.
Risnandar bilang, ia akan menggunakan hak dan kesempatannya untuk melakukan pembelaan atau pledoi.
Ia berencana untuk menyampaikan beberapa hal kepada majelis hakim sebagai pertimbangan, baik dari sisi hukum prosedural maupun substansial.
"Tetapi ada beberapa nanti yang saya perlu sampaikan, yang untuk menjadi pertimbangan-pertimbangan majelis hakim yang mulia untuk melihat daripada hukum yang secara prosedural maupun hukum yang secara substansial," jelasnya.
Ia menambahkan, situasi Kota Pekanbaru saat dirinya menjabat sedang dalam masa transisi, yang menurutnya perlu menjadi salah satu pertimbangan.
Dakwaan JPU
Sebelumnya, JPU KPK, Meyer Volmar Simanjuntak saat membacakan dakwaan menjelaskan, Risnandar Mahiwa melakukan perbuatan korupsi dengan melakukan pemotongan dan menerima uang secara tidak sah dari pencairan Ganti Uang Persediaan (GU) dan Tambahan Uang Persediaan (TU) yang bersumber dari APBD/APBD Perubahan (APBD-P) Kota Pekanbaru Tahun Anggaran 2024.
“Total uang yang diduga dipotong dan diterima mencapai Rp8.959.095.000,” ungkap Meyer.
Lanjut dia, dari Rp8,9 miliar lebih itu, RisnandarMahiwa menerima uang Rp2,9 miliar lebih.
Sementara terdakwa Indra Pomi Nasution menerima uang Rp2,4 miliar lebih.
Lalu Novin Karmila, menerima uang sejumlah Rp2 miliar lebih.
Satu lagi, Nugroho Dwi Putranto alias Untung yang merupakan ajudan Risnandar, ternyata diketahui juga menerima aliran rasuah senilai Rp1,6 miliar.
JPU KPK menjelaskan modus operandi yang diduga dilakukan oleh para terdakwa.
“Korupsi terjadi rentang waktu Mei hingga Desember 2024, saat Bagian Umum Sekretariat Daerah Kota Pekanbaru mencairkan GU sebesar Rp26.548.731.080,00 dan TU sebesar Rp11.244.940.854,00, dengan total keseluruhan mencapai Rp37.793.671.934,00,” jelas JPU KPK.
Setiap kali akan dilakukan pencairan GU maupun TU, Novin Karmila melaporkannya kepada Risnandar Mahiwa.
Selanjutnya, Risnandar meminta Indra Pomi Nasution untuk menandatangani Surat Perintah Membayar (SPM) dan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D).
Bahkan, Risnandar Mahiwa dan Indra Pomi Nasution disebut meminta Harianto selaku Kepala Bidang Perbendaharaan BPKAD Kota Pekanbaru untuk memprioritaskan pencairan dana Sekretariat Daerah.
Hal ini dilakukan karena mereka telah mengetahui bahwa sebagian dana yang cair akan mereka terima.
Setelah pencairan dana, Novin Karmila mengarahkan Darmanto selaku bendahara pengeluaran pembantu untuk melakukan pemotongan dan menyerahkan uang tersebut kepadanya.
Kemudian, Novin Karmila mendistribusikan uang hasil pemotongan tersebut kepada RisnandarMahiwa, Indra Pomi Nasution, Nugroho Adi Triputranto serta sebagian untuk dirinya sendiri.
Uang yang dikorupsi para tersangka, dilakukan dalam beberapa waktu dan tempat.
Uang diterima oleh masing-masing terdakwa dalam beberapa kali transaksi, baik secara tunai maupun transfer.
Salah satu contohnya, Risnandar Mahiwa menerima uang tunai di Rumah Dinas Walikota Pekanbaru dalam beberapa kesempatan, serta menerima transfer dana untuk pembayaran jahit baju istrinya sebesar Rp158.495.000,00 yang juga bersumber dari dana GU dan TU.
Dalam dakwaan yang dibacakan JPU KPK, terungkap pula rincian penerimaan uang haram oleh para terdakwa.
Terdakwa Risnandar Mahiwa selaku PJ Wali Kota Pekanbaru tercatat menerima total Rp2,9 miliar lebih, sejak Mei hingga November 2024.
Penerimaan tersebut meliputi beberapa kali penyerahan tunai di Rumah Dinas Wali Kota Pekanbaru dari Novin Karmila, antara lain sebesar Rp53.900.000,00 pada Juni 2024, Rp500.000.000,00 pada Juli 2024, Rp250.000.000,00 pada Agustus 2024, dan total Rp650.000.000,00 dalam dua kali penyerahan pada September 2024.
Berikutnya Pada Oktober 2024, RisnandarMahiwa kembali menerima Rp300.000.000,00, dan pada November 2024 menerima total Rp1.000.000.000,00 dalam dua kali transaksi terkait pencairan TU.
Selain penerimaan tunai, Risnandar Mahiwa juga menerima transfer sebesar Rp158.495.000,00 untuk pembayaran jahit baju istrinya yang bersumber dari dana GU dan TU.
Sementara itu, Indra Pomi Nasution selaku Sekretaris Daerah Kota Pekanbaru diduga menerima total Rp2,4 miliar lebih, dalam periode yang sama.
Penerimaan tunai dari Novin Karmila di kantor Sekretariat Daerah terjadi beberapa kali, dengan rincian Rp590.000.000,00 dalam lima kali transaksi pada Juni 2024, Rp400.000.000,00 pada Juli 2024, Rp20.000.000,00 pada Agustus 2024, dan total Rp250.000.000,00 dalam dua kali transaksi pada September 2024.
Pada Oktober 2024, ia menerima Rp150.000.000,00, dan pada November 2024 menerima Rp1.000.000.000,00 di Rumah Dinas Wali Kota.
Selanjutnya, Novin Karmila sendiri tercatat menerima total Rp2 miliar lebih.
Di antaranya, penerimaan tunai di kantor Sekretariat Daerah meliputi Rp200.000.000,00 pada Juni 2024, Rp50.000.000,00 pada Juli 2024, total Rp104.000.000,00 dalam dua kali transaksi pada Agustus 2024, total Rp232.700.000,00 dalam tiga kali transaksi pada September 2024, Rp200.000.000,00 pada Oktober 2024, dan total Rp1.250.000.000,00 dalam tiga kali transaksi pada November 2024 yang bersumber dari TU.
Sedangkan Nugroho Adi Triputranto Alias Untung selaku Ajudan Risnandar Mahiwa diduga menerima total Rp1,6 miliar lebih.
Antara lain, penerimaan tunai dari Novin Karmilaterjadi di Rumah Dinas Wali Kota Pekanbaru, dengan rincian Rp50.000.000,00 pada Juli 2024, total Rp200.000.000,00 dalam dua kali transaksi pada September 2024, Rp200.000.000,00 pada Oktober 2024, dan total Rp1.150.000.000,00 dalam tiga kali transaksi pada 29 November 2024 yang berasal dari dana TU.
JPU KPK menyimpulkan bahwa perbuatan para terdakwa telah melanggar hukum, seolah-olah Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara lain atau kas umum memiliki utang kepada mereka, padahal hal tersebut tidak benar.
Atas perbuatannya, Risnandar Mahiwa dan dua lainnya didakwa melanggar Pasal 12 huruf f juncto Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Gratifikasi
Tak hanya melakukan korupsi berupa pemotongan anggaran, ketiga terdakwa juga melakukan gratifikasi.
Di mana Risnandar Mahiwa, menerima gratifikasi baik dalam bentuk uang maupun barang total Rp906 juta. Sementara Indra Pomi, total Rp1,2 miliar dan Novin Karmila sebesar Rp300 juta.
Terdakwa Risnandar Mahiwa, menerima sejumlah uang dan barang dari 8 pejabat ASN di lingkungan Pemko Pekanbaru dalam berbagai kesempatan.
Penerimaan tersebut dilakukan baik secara langsung maupun melalui perantara ajudan terdakwa.
Adapun rinciannya, pada Mei 2024, RisnandarRp5 juta dari Wendi Yuliasdi selaku Kepala Bidang Pengelolaan Persampahan dan Kebersihan Dinas LHK melalui Tengku Ahmad Reza Pahlevi selaku Sekretaris Dinas LHK.
Berlanjut pada Juni 2024, Risnandar Rp50 juta dari Mardiansyah selaku Kepala Dinas Perumahan dan Permukiman melalui Mochammad Rifaldy Mathar selaku Ajudan PJ Wali Kota.
Kemudian Juni - November 2024, terdakwa Risnandar menerima total Rp70 juta dan sebuah tas merek Bally senilai Rp8,5 dari Zulhelmi Arifin selaku Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan melalui Nugroho Adi Putranto alias Untung selaku Ajudan PJ Wali Kota.
Berikutnya Juli - November 2024, terdakwa Risnandar menerima total Rp200 juta dari Yulianis selaku Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah melalui Nugroho Adi Putranto alias Untung selaku Ajudan PJ Wali Kota.
Lalu, Juli - November 2024, terdakwa Risnandarkembali menerima total Rp80 juta dan dua kemeja senilai Rp2,5 juta dari Alek Kurniawan Kepala Badan Pendapatan Daerah melalui Nugroho Adi Putranto selaku Ajudan PJ Wali Kota.
Kemudian, Agustus - November 2024, Risnandarmenerima total Rp350 juta dari Indra Pomi Nasution selaku Sekretaris Daerah Kota Pekanbaru melalui Mochammad Rifaldy selaku Ajudan PJ Wali Kota.
Berlanjut pada, Juni - September 2024, Risnandar menerima lagi total Rp40 juta dari Yuliarso selaku Kepala Dinas Perhubungan, sebagian melalui Nugroho Adi Putranto alias Untung.
Terakhir, pada November 2024, Risnandarmenerima Rp100 juta dari Edward Riansyah selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang.
Kemudian, Indra Pomi yang menjabat sebagai Sekda Pekanbaru, didakwa telah menerima sejumlah uang dari berbagai Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Pekanbaru selama periode Mei 2024 hingga November 2024.
Total uang yang diterima, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui ajudannya, Indra Putra Siregar, berjumlah Rp1,2 miliar lebih.
Penerimaan pertama tercatat dari Hariyadi Wiradinata, Kepala Bagian (Kabag) Umum Pemkot Pekanbaru, yang diserahkan melalui Indra Putra Siregar, dengan rincian Rp50.000.000,00 pada bulan Februari 2024, Rp50.000.000,00 pada bulan Maret 2024, dan Rp200.000.000,00 pada bulan April 2024, semuanya bertempat di Toko Baju Martin.
Selanjutnya, pada bulan Mei 2024, terdakwa menerima Rp100.000.000,00 secara tunai di Kantor DPRD Kota Pekanbaru, diikuti dengan penerimaan sebesar Rp200.000.000,00 pada bulan Juni 2024, Rp200.000.000,00 pada bulan Juli 2024, dan Rp200.000.000,00 pada bulan Agustus 2024, yang semuanya terjadi di Toko Baju Martin Sudirman, kecuali penerimaan bulan Agustus yang kembali bertempat di Toko Baju Martin.
Selain itu, pada bulan Maret 2024, Terdakwa juga menerima uang tunai sejumlah Rp5.000.000,00 dari Zulhelmi Arifin, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Kadis Perindag) Pemkot Pekanbaru, di Ruang Sekda Kota Pekanbaru.
Penerimaan lainnya berasal dari Yulianis, Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Pemkot Pekanbaru, berupa uang tunai Rp50.000.000,00 pada bulan Juni 2024 di Ruang Kerja Sekda Kota Pekanbaru, serta melalui Indra Putra Siregar sejumlah Rp20.000.000,00 pada bulan September 2024, Rp30.000.000,00 pada bulan Oktober 2024, dan Rp20.000.000,00 pada bulan November 2024, yang semuanya terjadi di Ruang Kerja Sekda Kota Pekanbaru.
Martin Manoluk, Kepala Bidang (Kabid) Dinas Perumahan dan Permukiman (Perkim), juga memberikan uang tunai kepada terdakwa sebesar Rp10.000.000,00 pada bulan Maret 2024, Rp10.000.000,00 pada bulan Juli 2024, dan Rp5.000.000,00 pada bulan Oktober 2024, yang semuanya bertempat di Kantor Sekda Kota Pekanbaru.
Sekitar tahun 2024, Alek Kurniawan, Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Pemkot Pekanbaru, memberikan uang tunai sejumlah Rp10.000.000,00 di Kantor Sekda Kota Pekanbaru.
Pada bulan Agustus 2024, Zulfahmi Adrian, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Kasatpol PP), menyerahkan uang tunai Rp5.000.000,00 di Ruang Sekda Kota Pekanbaru.
Terakhir, pada tanggal 18 November 2024, Yuliarso, Kepala Dinas Perhubungan (Kadishub) Pemkot Pekanbaru, melalui Indra Putra Siregar, memberikan uang tunai sejumlah Rp50.000.000,00 di Kantor Sekda Kota Pekanbaru.
“Seluruh uang yang berjumlah Rp1.215.000.000,00 tersebut diterima oleh terdakwa tanpa pernah dilaporkan kepada KPK dalam waktu yang ditentukan, sehingga penerimaan ini dianggap sebagai gratifikasi yang tidak sah,” kata JPU KPK, Meyer Volmar Simanjuntak.
Perbuatan terdakwa ini dianggap sebagai suap terkait jabatannya dan melanggar berbagai peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan korupsi dan penyelenggaraan negara yang bersih.
Berikutnya Novin Karmila, juga menerima gratifikasi. Nilainya yakni Rp300 juta.
Penerimaan gratifikasi terjadi pada tanggal 2 Desember 2024, bertempat di sebuah agen BRI Link yang berlokasi di Jalan Hangtuah, dekat SPBU Harapan Jaya, Kota Pekanbaru.
Dalam dakwaan JPU KPK disebutkan bahwa Novin Karmila menerima uang tunai sejumlah Rp300 juta dari dua individu bernama Rafli Subma dan Ridho Subma.
Dana tersebut kemudian ditransfer ke rekening Bank BRI dengan nomor 017001003950568 atas nama Nadya Rovin Putri, yang merupakan anak dari Novin Karmila.
Penerimaan uang sebesar Rp300 juta ini pun tidak pernah dilaporkan oleh Novin Karmila kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari kerja setelah diterima.
(tribunpekanbaru.com/Rizky Armanda)
Pledoi Risnandar Mahiwa, Akui Terima Uang, Tapi Tak Punya Niat Jahat, Sudah Terjadi Sebelum Menjabat |
![]() |
---|
Sampaikan Pledoi di sidang Korupsi, Risnandar Mahiwa: Kasus Ini Bisa Jadi Contoh Agar Tidak Terulang |
![]() |
---|
Breaking News: Eks PJ Wali Kota Pekanbaru Risnandar Mahiwa Bacakan Pledoi di Sidang Korupsi |
![]() |
---|
Eks PJ Wali Kota Pekanbaru Risnandar Mahiwa Cs Terdakwa Kasus Korupsi Sampaikan Pledoi Besok |
![]() |
---|
Eks Pj Wako Pekanbaru Risnandar dan 2 Bawahannya Kompak Ajukan Pledoi Usai Dituntut Pidana JPU KPK |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.