Menyusuri Bentangan Rel Kereta Api di Riau

Editor:
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sebuah Lokomotif terletak di kebun karet masyarakat, di desa Kampar Kiri, Kampar. Lokomotif ini sebagian besinya sudah dicopot dan diduga dijual kiloan oleh masyarakat.

Laporan: Mayonal Putra

TRIBUNPEKANBARU.COM, PEKANBARU-
Tidak banyak yang tahu, bahwa transportasi kereta api yang digunakan membawa hasil tambang batu bara zaman penjajahan Jepang juga membentang sepanjang lebih 300 Km di Riau. Bentangan rel kereta api itu dibangun pada tahun 1942-1944, dengan kerja paksa dari pemerintahan Jepang.

 Namun, tak ada lagi rel kereta api yang dapat ditemui saat ini secara utuh. Kecuali bukti besi tua yang diduga rel yang muncul kepermukaan tanah sepanjang 1 meter yang terletak di tengah rimba kawasan Suaka Marga Satwa di Rimbang Baling. Sebagai bukti sejarah, WWF Riau pun ingin melindungi benda ini.

Pada tahun 1975 masyarakat sudah membongkar rel yang membentang dari Pintu Batu sampai Pekanbaru,  lalu menjualnya kepada cukong besi secara kiloan. Sedangkan dua dari sembilan unit lokomotif  masih tersisa sebagai bukti otentik sejarah.   

Satu unit dijadikan monumen yang diletakkan di makam pahlawan, jalan Kaharuddin Nasution, Kota Pekanbaru. Monumen ini diresmikan pemerintah tahun 1956. Sedangkan satu unit lagi berada di dalam kawasan kebun karet masyarakat, di jalan poros ganda, Kampar Kiri.

Dari penjelasan peta sederhana yang tertulis di monumen lokomotif, jalan Kaharuddin nasution, Pekanbaru, diduga perlintasan rel kereta api membentang dari Padang, Padang Panjang, Solok , Muaro Kalaban, Muaro Sijunjung melintas ke Logas kecamatan Singingi, Kabupaten Kuantan Singingi hingga ke sungai pagar, Kampar dan Pekanbaru.

Ahli Spesies WWF Indonesia, Sunarto yang turut menyusuri jejak bentangan rel kereta api mencoba menjelaskan dari berbagai referensi yang dia dapat.

"ternyata ada ribuan masyarakat yang mati akibat romusha untuk membangun rel zaman pendudukan Jepang. Sedangkan relnya sekarang sudah dipotong dan dijual orang," ujarnya kepada Tribun, Sabtu (8/6) di monumen lokomotif di Pekanbaru sebelum menyusuri jejak bentangan lainnya di kampar kiri dan kawasan Suaka Margasatwa bukit Rimbang Baling, Kuantan Singingi.

Ia menyebut, rekam jejak sejarah seperti tak ada perhatian dari pemerintahan.
Diceritakan Sunarto, pada zaman penjajahan Belanda, tepatnya awal tahun 1920an telah merencanakan hasil tambang batu bara dari Sawah Lunto Sumatra Barat diangkut tidak melalui Samudra Hindia. Rancana ini mengingat, karena banyak rintangan perang yang akan dihadapi bila Belanda tetap melalui Samudra Hindia.

"Waktu itu motivasinya dari Samudra Hindia mencoba mengalirkan ke Selat Malaka melalui Riau daratan," katanya.

Tahun 1942 Belanda menyerah kepada Jepang sedangkan rencananya belum dilaksanakan. Melihat potensi rencana itu,Jepang langsung mengerjakan  dengan Romusha serta tawanan perangnya. Apalagi mengingat ada potensi batu bara yang telah di garap Belanda di Lagos, Kuantan Singingi. Namun, kereta api milik Belanda yang dimanfaatkan Jepang beroperasi hanya sampai tahun 1945 di Riau. Setelah Indonesia Meredeka dan Jepang menyerah kepada sekutu, sama sekali tak ada lagi pemanfaatan rel kereta api di Riau. Kecuali, di Sumatra Barat tetap dimanfaat sebagai pengangkut hasil tambang batu bara Sawah Lunto Sijunjung. Kini, hal itu telah menjadi wisata 'Mak Itam' sebutan bagi lokomotif kuno itu di Sumatra Barat.

Tidak lama berbincang di monumen lokomotif jalan Kaharuddin Nasution, rombongan WWF Riau serta beberapa orang wartawan termasuk Tribun yang hendak menyusuri jejak sejarah rel kereta api yang membentang di Riau ini langsung melaju ke Kampar Kiri. Setelah melewati sungai Subayang, rombongan berbelok ke kiri melalui jalan poros ganda. Pasalnya, jalan tidak beraspal itu merupakan jalan poros menuju PT. Ganda Buanindo, sebuah perusahan kelapa sawit di sana.

Sekitar 2 km dari jalan raya desa Kampar Kiri, terlihat sebuah lokomotif sepanjang 25 meter ditumbuhi semak dan rumput liar di kebun karet masyarakat. Keberadaan lokomotif ini tidak terlihat sebagai benda sejarah yang diperhatikan. Lokomotif berbahan bakar batu bara ini sudah tidak lengkap lagi, sejumlah besi dindingnya bolong, diduga dicuri orang tak bertanggungjawab. Begitupun dengan tumpukan besi lainnya, termasuk mesin penggerak lokomotif yang sempat beroperasi tahun 1943 ini tidak lagi ditemui.

Lokomotif yang ditumbuhi semak ini berada di atas  landasan tembok. Namun, tidak dapat dideteksi, kapan tembok penyangga besi tua ini dibangun dan siapa yang membuat.

Namun, di dinding belakang lokomotif ini  tertulis "jaga/lestarikan peninggalan sejarah. Pt.Ganda Buanindo. Apakah perusahaan sawit ini yang memagar keberadaan lokomotif ini dengan tembok tersebut, tidak ada masyarakat tempatan yang ditemui bisa memberikan jawaban pasti.

"Ini lokomotof sejak zaman Jepang dulu, saya gak tahu juga," ujar Ahud, warga sekitar yang ditanya Tribun.

+Rel dan lokomotif Dijual tahun 1975

Dua orang saksi mata yang ikut bertugas membongkar rel kereta api di sekitar desa Petai Kuantan Singingi, Badurrahmin dan Muhammad Yulis mengaku ada perintah dari pusat provinsi Riau. Namun, dia tidak tahu perintah membongkar dan menjual lokomotif apakah perintah negara atau hanya oknum pemerintah. Yang jelas setiap kepala desa dijadikan mandor pembongkaran rel tersebut.

"Waktu itu kami berlima sekelompok. Kelompok saya, selain pak yulis ada Abdul Aziz(almarhum), Baharuddin (almarhum) dan Arifin (almarhum). Kami bekerja hanya tukar beras sama rokok saja," ujar Badurrahmin.

Diceritakannya, memang sejak pendudukan Jepang masyarakat disuruh kerja paksa, untuk membangun rel kereta api ini. Sehingga, satu hari itu ditembak sebanyak 60 orang warga pribumi. Sedangkan pekerjaan yang dilakukan tanpa ampun, tanpa istirahat apalagi upah. Sehingga dalam waktu depat, rel membentang dan bisa dilalui kereta api. Adapun tujuan jepang membangun rel kereta api, untuk mengangkut hasil tambang batu bara Lagos ke sawah lunto. Sejak Jepang memerintah, tambang Batubara Lagos itu termasuk besar, namun tetap berpusat ke Sawah Lunto.

"Tahun 1975, saya ikut mengangkat rel, per meter diupah 300 rupiah. Ini diambil bersama-sama, dibayar oleh Arifin, kepala desa Sungai Bawang waktu itu. Kemudian rel kereta api sudah tamat riwayatnya, karena rel sudah dijual semuanya," katanya.

Di Riau, sebenarnya ada sembilan Lokomotif yang sempat beroperasi. Yang tersisa sebagai bukti hanya dua unit, pertama di Pekanbaru kedua di kebun karet Kampar Kiri. Sedangkan, 7 unit di Sungai Pencong, 1 unit di koto baru sudah habis dijual perkilo.

"Kami sebagai masyarakat kecil mendapat perintah, supaya mendapat beras dan rokok kamipun ikut. Tidak tahu kalau hal itu penting saat ini," ujarnya.

Diterangkannya, perintah membongkar rel datang dari Pekanbaru yang langsung di oleh Wan Ghalib. Sedangkan Wan Ghalib mengaku sebagai perintah dari wakil gubernur Riau Wan Abdurragman.

"Kita tak tahu, apa alasannya, kami hanya mengangkat rel saja. Setiap desa yang dilewati rel masyarakatnya yang laki-laki ikut membongkar," tambahnya.

Rel sepanjang 300 KM lebih itu yang mulai membentang sejak dari Pintu Batu perbatasan Sumbar Riau-Hingga ke Pekanbaru selesai dalam setahun. Begitu juga dengan lokomotif, habis terjual dalam waktu setahun. Namun, dia tak tahu siapa yang menjadi penadah penjualan besi tua tersebut.

Setelah bercerita, Badurrahmi mengajak rombongan menelusuri keberadaan rel di desanya. Sebelah kanan jalan raya kuantan singingi menuju Pekanbaru, memang terlihat ada tanah seukuran landasan rel kereta api agak meninggi. Namun, besi tua rel tidak ada lagi temu.(*)

Berita Terkini