CITIZEN JOURNALISM
Ditulis oleh: Lina Agustina Pujiwati, SST, M.Ec.Dev
Alumni Sekolah Tinggi Ilmu Statistik
Bekerja di Badan Pusat Statistik Kota Pekanbaru
Beberapa waktu lalu, tepatnya tanggal 25 November, dunia internasional memperingati hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Di Spanyol, aktivis menggalang aksi di lebih dari 40 kota. Puluhan ribu orang bergabung dalam aksi di ibukota Spanyol, Madrid. Sedang di Indonesia, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan menggelar kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang setiap tahunnya diperingati mulai 25 November-10 Desember.
Di saat yang sama, Indonesia, dihadapkan pada berbagai pemberitaan bernuasa kekerasan gender, mulai kasus pelecehan seksual Baiq Nuril oleh atasannya, pelecehan seksual mahasiswi UGM saat KKN, dan yang terbaru kasus perempuan difabel yang disekap dan diperkosa selama 1 bulan. Kejadian tersebut kembali membuka mata kita bahwa kekerasan terhadap perempuan masih menghantui negeri ini. Bagaikan gunung es, kejadian kekerasan terhadap perempuan diyakini sangatlah banyak, namun tersembunyi. Lantas, apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana menghapus kekerasan terhadap perempuan?
Sejak beberapa dekade lalu, kekerasan terhadap perempuan sudah menjadi persoalan serius yang menyita perhatian dunia. “Each and every state has an obligation to develop or improve the relevant laws, policies and plans, bring perpetrators to justice and provide remedies to women who have been subjected to violence”. Demikian disampaikan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Ban Ki Moon, dalam pidatonya Tahun 2012. Saat itu, PBB menyerukan kepada negara-negara di dunia untuk menyediakan berbagai kebijakan dan perangkat hukum guna pemulihan perempuan korban kekerasan dan mengadili para pelaku kekerasan.
Persoalan kekerasan terhadap perempuan juga menjadi target Sustainable Development Goals (SDGs), tepatnya target ke-5, yaitu menjamin kesetaraan gender serta memberdayakan seluruh perempuan. Sejak 25 September 2015, negara-negara anggota PBB termasuk Indonesia, telah secara resmi berkomitmen untuk melaksanakan Agenda 2030 tersebut untuk pembangunan berkelanjutan.
Data Lapangan
Sangat mencengangkan. Hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2016 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menyatakan satu dari tiga perempuan usia produktif atau sekitar 28 juta orang pernah mengalami kekerasan fisik atau kekerasan seksual oleh pasangan dan selain pasangannya. Lebih lanjut, 24,3% diantaranya pernah mengalami kekerasan seksual.
Catatan Tahunan (Catahu) Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengungkapkan, tahun 2017 terdapat 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan masyarakat. Kasus tersebut meningkat 74% dari tahun 2016. Sebuah lonjakan yang sangat drastis. Dari jumlah tersebut, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)/Ranah Personal (RP) menjadi jenis kekerasan yang paling menonjol, yaitu sebanyak 71% (9.609), disusul kekerasan di ranah komunitas/publik sebanyak 26% (3.528) dan kekerasan di ranah negara sebanyak 1.8% (217). Pada ranah KDRT/RP, kekerasan fisik terhadap perempuan sangat mendominasi dengan jumlah 3.982 kasus (41%). Peringkat kedua berupa kekerasan seksual sebanyak 2.979 kasus (31%), kemudian psikis 1.404 kasus (15%) dan ekonomi 1.244 kasus (13%).
Mengurai Sebab
Banyak pihak menganalisis apa sebenarnya yang menjadi akar masalah terjadinya kasus kekesaran terhadap perempuan. Salah satunya berpendapat bahwa kekerasan berbasis jender (gender based violence) disebabkan oleh relasi kuasa yang tidak seimbang dan hal tersebut terjadi dalam ranah keluarga, masyarakat, dan negara. Dalam berbagai pembahasan disebutkan, kekuasaan yang tidak seimbang menjadi ladang subur terjadinya kekerasan. Pihak yang mempunyai kekuasaan lebih tinggi berpotensi sewenang-wenang, sedangkan mereka yang kuasanya lebih rendah atau direndahkan rentan menjadi korban kekerasan.
Kekerasan terhadap perempuan juga dibumbui dengan budaya yang beredar di masyarakat. Budaya cenderung menyalahkan korban (blaming the victim), menempatkan korban perempuan sebagai penyebab utama terjadinya kekerasan. Budaya yang beredar di masyarakat juga sering menjadi penghalang korban untuk melaporkan dan menindaklanjuti kasus kekerasan. Ditambah lagi, ketidakpercayaan korban terhadap sistem hukum yang ada sangatlah rendah, sehingga membuat kasus kekerasan terhadap perempuan semakin keruh.
Selain budaya, di masyarakat juga beredar mitos bahwa kekerasan pada perempuan lumrah terjadi pada mereka yang berpendidikan rendah dan kelas ekonomi menengah bawah. Hal tersebut memperkuat pandangan bahwa kekerasan hanya isu kelompok tertentu. Padahal, fakta lapangan berbicara lain. Kasus pembunuhan dokter Lety di Jakarta yang ditembak suaminya ketika masih dalam proses perceraian memperkuat argumen bahwa kekerasan terhadap perempuan bersifat lintaskelas, tidak pandang status sosial ekonomi, pendidikan, etnis, maupun agama.