Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

PP Tunas, Katalisator Andal Komdigi dalam Menata Ruang Digital yang Ramah Anak

elain Roblox, TikTok juga akhirnya tunduk pada permintaan Komdigi terkait data lonjakan trafik dan aktivitas monetisasi TikTok Live

|
Dok Komdigi
Komdigi secara resmi meluncurkan IGRS dalam gelaran IGDX di Bali, Sabtu (11/10/2025). IGRS merupakan sistem klasifikasi usia untuk game, yang dikembangkan secara mandiri di Indonesia. 

Artinya, perusahaan sebenarnya melepaskan diri dari tanggung jawab untuk mengawasi dan memastikan perilaku yang etis terhadap konten yang melibatkan anak.

igrs
Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, pemerintah meluncurkan Indonesia Game Rating System (IGRS) sebagai panduan bagi masyarakat dan orang tua untuk memilih gim yang aman sesuai usia anak.

Mendorong Ketegasan Pemerintah

Penerapan PP Tunas diharapkan juga mampu memberikan sentuhan regulatif kepada dua raksasa digital seperti Meta dan Google. Salah satunya fitur Facebook Pro yang cukup meresahkan belakangan ini.

Saat ini sangat mudah dijumpai akun-akun Facebook yang berlomba menjadi konten kreator tanpa bekal keterampilan memadai dalam menghasilkan konten berkualitas. 

Umumnya, mereka hanya menayangkan potongan aktivitas keseharian secara serampangan, dengan harapan mendapat perhatian pengikut demi mengejar keuntungan dari skema monetisasi yang ditawarkan Facebook.

Bahkan konten-konten yang melibatkan anak juga tak luput dari praktik komodifikasi yang dilakukan akun tersebut.

Evita menjadi salah satu contoh bagaimana balitanya yang masih berusia 3 tahun nyaris dieksploitasi secara digital dari tantenya sendiri. 

Ibu rumah tangga itu mengaku kerap diminta sang tante untuk mengirimkan rekaman aktivitas sehari-hari putranya, mulai dari bernyanyi, bermain sepeda dan aktivitas lainnya.

“Awalnya saya mengunggah video anak saya sedang berjoget ke story Facebook. Ternyata tante saya meminta rekaman itu. Karena saya kira menurutnya lucu, saya kirim lewat WhatsApp. Eh tak taunya, video itu kemudian diunggah ke feed Facebook miliknya.” kata dia kepada tribunpekanbaru.com, Minggu (5/10/2025).

Menyadari jangkauan unggahan tersebut cukup tinggi, sang tante pun berulang kali meminta rekaman serupa kepada Evi.

Namun, setelah mendapat penjelasan dari suaminya tentang risiko membagikan konten anak di ruang digital, Evi mengabaikan permintaan itu.

“Saya pernah menanyakan sudah berapa total pendapatan dari FB Pro yang didapatkan tante saya itu. Ternyata, setelah hampir setahun rutin membagikan konten semacam itu, hasilnya yang ia dapatkan baru sekitar 10 dolar AS,” ujarnya.

FB Pro barangkali dapat diyakini sebagai strategi Meta untuk mempertahankan eksistensinya. Dengan menawarkan iming-iming monetisasi instan tetapi tidak disertai tanggung jawab berupa pelatihan maupun regulasi yang jelas, pengguna kini justru dibiarkan larut dalam jebakan tawaran tersebut.

Vincent Mosco, seorang pakar komunikasi dalam bukunya The Digital Sublime: Myth, Power, and Cyberspace (2004) telah mengingatkan bahaya dari digitalisasi.

Ia menyatakan bahwa kemajuan digital kerap dianggap sebagai sesuatu yang agung, indah dan penuh janji. Teknologi sering diyakini mampu menjawab berbagai persoalan hingga meningkatkan kesejahteraan. 

Halaman 3 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved