PERSPEKTIF
Judi Online: Ancaman Sunyi Perusak Struktur Sosial
Judi online bekerja layaknya perangkap digital yang menjanjikan kemenangan cepat, tetapi menyembunyikan kehancuran yang jauh lebih besar
Penulis: Erwin Ardian1 | Editor: FebriHendra
Judi Online: Ancaman Sunyi Perusak Struktur Sosial
Oleh: Erwin Ardian
Pemimpin Redaksi Tribun Pekanbaru
FENOMENA judi online semakin menampakkan wajah kelamnya di tengah masyarakat Riau.
Kasus seorang pegawai swasta di Kulim, Pekanbaru, yang hilang setelah menjual rumah dan mobil keluarganya, kembali menjadi alarm keras betapa praktik ini telah berubah menjadi ancaman sosial yang merusak hingga ke akar.
Dalam hitungan bulan, seorang kepala keluarga yang dikenal ramah mendadak terjerembap ke jurang kecanduan, meninggalkan istri dan dua anaknya tanpa tempat tinggal dan masa depan yang pasti.
Judi online bekerja layaknya perangkap digital yang menjanjikan kemenangan cepat, tetapi menyembunyikan kehancuran yang jauh lebih besar.
Baca juga: Sudah Habis Puluhan Juta Gara-gara Judol, Warga di Bengkalis Ini Harus Cicil Utang Setiap Hari
Baca juga: Kecanduan Judi Online, 2 Warga di Pekanbaru Jual Rumah dan Mobil Lalu Menghilang
Ketika sang pegawai itu menang pada percobaan-percobaan awal, ia terjerat euforia semu yang membuatnya ingin mengulang keberhasilan itu.
Namun pada akhirnya, kekalahan demi kekalahan menumpuk, utang menjerat dari berbagai tempat, hingga ia memilih menghilang.
Kasus ini bukan tunggal. Banyak keluarga di Pekanbaru—bahkan seorang akademisi terkemuka di Riau turut mengakui keluarganya menjadi korban— mengalami nasib serupa: anggota keluarga yang “hilang” secara fisik maupun psikologis akibat jerat permainan daring.
Dampak judol tidak hanya menyentuh ranah ekonomi. Relasi sosial yang semula harmonis berubah menjadi retak.
Rasa saling percaya di keluarga terkoyak, hubungan dengan lingkungan menjadi renggang, dan tekanan mental yang berat sering berujung pada depresi dan perilaku destruktif lainnya.
Beberapa kasus bahkan telah berkembang menuju tindakan kriminal, mencuri atau menggadaikan aset demi berburu “kemenangan” yang sejatinya hanyalah ilusi.
Dalam banyak kisah, judol bukan hanya mencuri uang, tetapi juga mencuri akal sehat.
Plt Gubernur Riau, SF Hariyanto, telah mengeluarkan imbauan tegas kepada seluruh ASN Pemprov Riau agar menjauhi praktik judi online.
Peringatan ini penting karena data OJK menunjukkan adanya ASN yang terdeteksi melakukan transaksi terkait judol.
Sebagai abdi negara, ASN bukan hanya pemegang tanggung jawab administratif, tetapi juga teladan moral.
Keterlibatan mereka dalam judi online bukan hanya mencederai etika, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap institusi pemerintahan.
Kenyataannya, keterlibatan ASN dalam judi online bukan semata persoalan moral personal. Ia adalah tanda bahwa problem ini telah menembus batas rumah tangga, ruang kerja, hingga institusi negara. Pemerintah perlu lebih dari sekadar imbauan.
Diperlukan pengawasan internal yang ketat, penegakan aturan disiplin, serta program konseling bagi pegawai yang berpotensi menjadi korban kecanduan.
Judi online bukan sekadar pelanggaran administratif; ia adalah penyakit sosial yang memerlukan penanganan sistemik.
Secara sosiologis, para ahli mengingatkan bahwa maraknya judi online tidak lahir di ruang kosong.
Ada tiga faktor yang saling mengikat: tradisi budaya judi yang sejak lama hadir di masyarakat, tekanan ekonomi akibat minimnya akses terhadap sumber pendapatan, dan ekspansi teknologi digital yang menjadikan permainan ini tersedia hanya satu ketukan jari.
Ketika ketiga unsur ini bertemu, muncullah badai sosial yang menggerus daya tahan masyarakat, terutama kelompok rentan ekonomi.
Gambaran ini memperlihatkan bahwa judol bukan persoalan “orang yang suka berjudi” semata.
Ini adalah pertemuan antara struktur sosial yang tidak adil, ekonomi yang stagnan, dan platform digital yang agresif.
Banyak masyarakat pedesaan dan kelas pekerja kehilangan sumber pendapatan—lahan dan hutan berkurang, pekerjaan menyempit, sementara tekanan hidup meningkat.
Dalam situasi putus asa, judol tampil sebagai janji palsu yang mudah dipercaya. Karena itu, solusi tidak cukup jika hanya berhenti pada level penindakan.
Pemerintah dan lembaga penegak hukum perlu menutup akses platform ilegal secara lebih efektif, memperkuat literasi digital dan literasi finansial, serta menciptakan ruang ekonomi yang lebih adil bagi masyarakat.
Ketika orang memiliki pekerjaan stabil dan akses ekonomi yang sehat, mereka tidak mudah terperangkap dalam permainan yang menghancurkan.
Dari sisi keluarga dan masyarakat, pola deteksi dini harus dibangun. Setiap anggota keluarga perlu memahami tanda-tanda kecanduan digital: perubahan perilaku ekstrem, kebutuhan uang yang tidak wajar, pengasingan diri, dan pola komunikasi yang tertutup.
Komunitas lokal juga perlu terlibat dalam gerakan bersama, memberikan dukungan moral, bukan sekadar stigma. Rehabilitasi harus didekati sebagai jalan pemulihan, bukan hukuman sosial.
Pada akhirnya, judi online adalah musuh bersama yang harus dihadapi dengan langkah kolektif: regulasi yang kuat, pendidikan yang berkelanjutan, dukungan keluarga, dan literasi digital masyarakat.
Jika tidak, cerita-cerita kelam seperti keluarga di Kulim dan banyak korban lain akan terus berulang.
Negara, masyarakat, dan keluarga harus berdiri pada barisan yang sama: melindungi generasi hari ini dari jebakan judi online yang makin canggih dan destruktif. (*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/pekanbaru/foto/bank/originals/Pemred-Tribun-Pekanbaru-Erwin-Ardian.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.