Impor Pakaian Bekas di Riau
Pedagang dan Pemasok di Pekanbaru Keluhkan Wacana Pemerintah Berantas Impor Pakaian Bekas
Pedagang dan pemasok pakaian bekas di Pekanbaru mengeluhkan rencana Menkeu Purbaya memberantas impor pakaian bekas.
TRIBUNPEKANBARU.COM, PEKANBARU -- Rencana Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Purbaya Yudhi Sadewa, yang akan memberantas impor pakaian bekas mendapat beragam tanggapan dari kalangan pedagang maupun pemasok di Pekanbaru.
Mereka menilai kebijakan itu akan berdampak besar terhadap keberlangsungan usaha dan mata pencaharian banyak orang yang menggantungkan hidup dari bisnis pakaian bekas impor tersebut.
Bagi pemasok, bisnis pakaian bekas ini sudah dijalankan sejak lama dan menjadi sumber ekonomi bagi banyak keluarga. Salah seorang pemasok di Pekanbaru mengaku selama ini ia mendatangkan barang dari pergudangan besar di Bandung, Jawa Barat.
"Biasanya kami ambil dari salah satu pergudangan besar di Bandung, yakni di Gedebage. Barang dikirim pakai ekspedisi, saya tidak tahu lewat jalur mana, tapi kemungkinan lewat darat dan menyeberang di Merak-Bakauheni," kata Eri, saat ditemui Tribun, Minggi (26/10/2025).
Menurutnya, sistem pembelian dilakukan secara kolektif bersama beberapa rekan. Dalam sekali kirim, bisa mencapai 50 hingga 100 bal pakaian bekas, namun tidak semuanya milik satu orang.
"Saya sendiri paling punya 15 sampai 25 bal. Lainnya milik kawan-kawan juga. Kami tidak berani ambil banyak karena modalnya lumayan besar," imbuhnya.
Ia menjelaskan, harga satu bal pakaian bekas bervariasi mulai dari Rp4 juta hingga Rp13 juta, tergantung jenis dan mereknya. Barang yang paling mahal disebut dengan istilah "Dress Sultan" yakni pakaian bekas mewah seperti gaun pesta atau gamis branded dari luar negeri.
"Dress Sultan kami namai, itu mahal karena modelnya bagus dan masih seperti baru. Banyak yang datang dari Jepang, Korea, China, dan Australia. Sekarang barang dari Singapura sudah sulit masuk karena aturan makin ketat sejak 2018," ujarnya.
Meski disebut barang bekas, ia menegaskan tidak semuanya benar-benar second hand. Beberapa di antaranya merupakan barang toko luar negeri yang tidak laku terjual, lalu dicampur dengan pakaian bekas sebelum dijual kembali ke Indonesia.
"Kadang ada juga yang baru tapi tidak habis di toko, lalu itu kemudian digabungkan dengan pakaian second lainnya dalam satu bal. Kualitasnya tetap bagus, dan justru itu yang banyak dicari," tambahnya.
Keuntungan yang diperoleh dari satu bal berkisar Rp1 juta hingga Rp2 juta, tergantung isi dan kualitas barang. "Kalau dapat bal yang isinya bagus, cepat habis dan untungnya lumayan. Tapi kalau bal-nya kurang bagus, kadang malah rugi," jelasnya.
Pedagang berharap, pemerintah tidak serta-merta menutup mata terhadap realitas ekonomi di lapangan. "Kami bukan penyelundup besar, hanya pedagang kecil yang cari nafkah. Kalau mau diberantas, semestinya mulai dari jalur masuknya, bukan langsung ke kami," ujarnya.
Sementara itu, pedagang pakaian bekas di sejumlah lapak dan toko thrift Pekanbaru juga menyampaikan hal senada. Mereka menilai rencana pemberantasan impor pakaian bekas akan mematikan usaha kecil mereka.
"Saya sudah lama juga. Saya biasanya ambil langsung dari Bandung. Harga per bal sekitar Rp5 juta sampai Rp15 juta, tergantung jenisnya," ujar seorang pedagang di kawasan Sukajadi.
Ia menyebut jenis pakaian yang dijual beragam, mulai dari kaus, celana jeans, kemeja, jaket, dress, hingga baju anak-anak. "Kalau dapat bal bagus, omset bisa dua kali lipat dari modal. Misalnya modal Rp7 juta, bisa jadi Rp14 juta," katanya.
Momen terbaik untuk berdagang, katanya, adalah menjelang Ramadan dan Lebaran. "Itu masa panen kami, karena banyak orang berburu baju bagus tapi murah," tambahnya.
Para pedagang berharap pemerintah bisa mempertimbangkan kembali kebijakan pelarangan tersebut. Mereka menilai, bisnis pakaian bekas tidak hanya menguntungkan pedagang, tetapi juga membantu masyarakat menengah ke bawah.
"Banyak masyarakat merasa terbantu karena bisa beli pakaian bagus dengan harga murah. Bahkan ada yang bisa pakai baju branded luar negeri yang kalau beli baru harganya jutaan," ujar Ujang, seorang pedagang lainnya.
Menurutnya, larangan impor pakaian bekas seharusnya dibarengi dengan peningkatan kualitas produk lokal agar bisa bersaing. "Masalahnya, baju lokal yang murah sering tidak nyaman dipakai, bahannya panas, dan cepat rusak," katanya.
Seorang pembeli di salah satu toko thrift kawasan Panam juga mengaku keberatan dengan rencana pemerintah itu. Ia menilai pakaian bekas impor justru menjadi solusi bagi masyarakat yang ingin tampil rapi tanpa harus mengeluarkan banyak uang.
"Baju bekas impor kualitasnya bagus. Saya bisa beli kaus merek luar seharga Rp50 ribu, padahal kalau baru bisa sampai Rp500 ribu. Kami bukan cari gaya, tapi cari yang nyaman dan terjangkau,” ujarnya.
Masyarakat menilai, keberadaan pakaian bekas impor membantu memenuhi kebutuhan sandang bagi keluarga besar dengan biaya yang efisien. "Kalau punya anak tiga, beli baju di mall bisa habis jutaan. Di thrift cukup beberapa ratus ribu sudah lengkap," tuturnya. (Tribunpekanbaru.com/Alexander)
| Rapor Merah BPR Pekanbaru, Fraksi PDI-P DPRD Pekanbaru Tolak Suntikan Modal Rp 10 Miliar |
|
|---|
| Residivis Narkoba di Rohul Ditangkap Bersama Rekannya, Pemasok Jadi DPO |
|
|---|
| Suami PPPK Sebut Istrinya Pemicu Perceraian, Melda Safitri: Saya Kurang Mengurus Diri |
|
|---|
| Pengakuan Pria yang Habisi Nyawa Taksi Online, Kalimat Ini yang Bikin Pelaku Emosi |
|
|---|
| Prakiraan Cuaca Riau 26 Oktober 2025, Waspada Hujan, Petir dan Angin Kencang di 4 Kabupaten Ini |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.