Riau Region
Pengamat Politik Riau Sebut Politik Dinasti Tidak Mencerminkan Demokrasi
Pengamat Politik Universitas Riau, Saiman Pakpahan menilai Politik Dinasti sebagai bentuk gagalnya demokrasi.
Penulis: Syaiful Misgio | Editor: CandraDani
Laporan wartawan Tribun Pekanbaru, Syaiful Misgiono
TRIBUNPEKANBARU.COM, PEKANBARU - Mencuatnya sejumlah nama bakal calon legislatif yang berasal dari lingkungan keluarga inti dalam kontes Pileg dinilai Pengamat Politik Universitas Riau, Saiman Pakpahan sebagai bentuk gagalnya demokrasi.
Saiman mengatakan, dalam kontek demokrasi seharusnya yang muncul dalam partisipasi politik itu adalah kesadaran pribadi. Sehingga bisa memutuskan keputusan politik secara sadar. Jika ini bisa dilakukan, maka akan menghasilkan sebuah keputusan demokrasi yang baik.
"Dalam konteks dinasti politik, ini akan kelihatan, orang-orang yang sudah pernah berkuasa, itu cenderung memaksakan dan meminta keluarga intinya, terutama anak, istri untuk terjun ke dunia politik," katanya.
Baca: Politik Dinasti Dominasi Pileg 2019, Suami, Istri, Anak, Hingga Ponakan Maju Bersama di Parlemen
Saiman menilai, munculnya fenomena ini menandakan bahwa kultur dan setting politik kita belum demokrasi. Kenapa fenomena politik demokrasi ini muncul, karena masyarakat pemilih kita gampang dimobilisasi. Dengan variabel ketokohan.
"Sehingga tingkat keterpilihan keluarga itu bukan didasarkan atas keputusan sadar sebagai masyarakat pemilih, tapi karena ada pengaruh mobilisasi tokoh disitu," ujarnya.
Tokoh itu bisa dari ayah, ibu, suami, istri yang sudah lebih duluan terjun ke politik. Atau sudah lebih duluan dikenal atau sudah lebih duluan menduduki jabatan tertentu. Bicara soal kualitas demokrasi, maka politik dinasti tidak mencerminkan demokrasi yang baik.
Baca: Ayah, Ibu dan Anak Kompak Maju Pileg 2019, Ardo Anak Mantan Bupati Jefry Noer Ungkap Alasannya
Fenomena politik dinasti tidak hanya terjadi di daerah, tapi juga terjadi di tingkat nasional. Tidak hanya di kalangan elite parpol tapi juga terjadi ditubuh pemerintahan.
"Ini terjadi karena struktur kerja yang masih sangat paroksial. Artinya, tokoh itu menjadi panutan, sehingga apa yang diinginkan tokoh ya sudah tidak ada masalah. Ini lah yang disebut dengan struktur patron klien. Ketika dia sudah berpatron, maka apapun yang dikehendaki patron, klien harus mengikuti," bebernya. (*)
