Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

Sidang Suap Gulat Manurung

Riau Madani: Katanya untuk Rakyat Miskin, Nyatanya Jatah Perusahaan

Rakyat mendapatkan 1 hektar saja sudah ditangkap. Tapi kelompok dan korporasi tertentu, ribuan hektar santai-santai saja.

Editor:

Laporan: Raya Desmawanto

TRIBUNPEKANBARU.COM, PEKANBARU - Sidang lanjutan kasus suap alih fungsi kawasan hutan dengan terdakwa Gulat Medali Emas Manurung, Senin (12/1/2015) kemarin membuka tabir adanya mafia hutan yang hendak membagi-bagi lahan di Riau. Dari fakta persidangan terungkap, pesanan untuk mengubah status kawasan hutan begitu sistematis, terstruktur dan massif.  

Direktur Yayasan Riau Madani, Surya Darma yang hadir untuk mengamati persidangan di  Pengadilan Tipikor Jakarta mengungkapkan, proses pengusulan alih fungsi hutan oleh Gubernur Riau kepada Menteri Kehutanan begitu cepat. Dari keterangan saksi, kata Surya, hanya empat hari setelah SK rencana tata ruang wilayah (RTRW) disahkan Menteri Zulkifli Hasan, Gubernur Riau bersama sejumlah pejabat langsung mengajukan revisi. Revisi tersebut ingin meminta 300 ribu hektar hutan lain dialihfungsikan. Padahal, dalam RTRW tersebut, hampir 1,7 juta hektar hutan sudah dikonversi.

"Saya hadir langsung, kaget mendengar penuturan saksi. Baik dari Dishut Riau (Cecep) maupun dari saksi pihak Kemenhut. Kesan adanya mafia hutan memang sulit dibantahkan," kata Surya Darma kepada tribunpekanbaru.com melalui sambungan telepon, Selasa (13/1/2015).

Menurut Surya, dari keterangan saksi, pada tanggal 12 Agustus atau 4 hari setelah SK Menhut diterima pada 8 Agustus 2014, Gubernur Riau bersama sejumlah pejabat datang menemui Menhut, Zulkifli Hasan. Annas ingin mengajukan revisi tambahan alih fungsi lahan seluas 300 ribu hektar. Namun, usulan tersebut tak dipenuhi oleh Zulkifli Hasan. Mantan Menhut yang kini menjadi Ketua MPR tersebut, hanya memenuhi permintaan tambahan revisi seluas 30 ribu hektar.

Anehnya, kata Surya permintaan tambahan alih fungsi hutan seluas 30 ribu hektar tersebut langsung diproses. Seluas18 ribu hektar di antaranya merupakan jatah PT Duta Palma, yang kini tengah dibidik KPK sebagai penyandang dana suap. Sisanya merupakan lahan milik Gulat, Edison Siahaan dan sejumlah pihak lainnya.

"Lebih aneh, mereka datang menemui Menteri justru alasannya, tambahan revisi hutan itu untuk kebun rakyat miskin. Nyatanya, yang mendapat jatah hutan itu adalah kelompok perorangan dan korporasi. Awalnya disebutkan Gulat hanya 150 hektar, faktanya di pengadilan justru 30 ribu hektar," tegas Surya.

Fakta persidangan tersebut menurut Surya hendaknya dijadikan dasar bagi pemerintahan Joko Widodo untuk melakukan status quo dan penghentian sementara implementasi RTRW Riau yang diteken oleh mantan Menhut Zulkifli Hasan. Moratorium pemberlakukan RTRW tersebut penting, agar reformasi agraria yang digembar-gemborkan pemerintah bisa menyasar lapisan masyarakat yang benar-benar membutuhkannya.

"Rakyat mendapatkan 1 hektar saja sudah ditangkap. Tapi kelompok dan korporasi tertentu, ribuan hektar santai-santai saja," kata Surya yang kerap menggugat secara legal standing sejumlah perusahaan perkebunan dan kehutanan di Riau.

"Kemungkinan adanya keterlibatan korporasi dan kelompok lain yang berkepentingan dalam RTRW ini masih terbuka. KPK perlu mengembangkan kasus suap tersebut. Dan status quo RTRW Riau amat mendesak agar hutan Riau tidak dikapling oleh kelompok dan perusahaan tertentu," beber Surya. (*)

Baca selengkapnya di Harian Tribun Pekanbaru edisi BESOK. Simak lanjutannya di www.tribunpekanbaru.com.

FOLLOW Twitter @tribunpekanbaru dan LIKE Halaman Facebook: Tribun Pekanbaru

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved