Tenas Effendy Tutup Usia
Tenas Effendy Selalu Curahkan Perhatian Pada Kebudayaan Melayu
Salah satu petuah Melayu yang selalu diingat orang adalah buku Tunjuk Ajar Melayu
TRIBUNPEKANBARU.COM - Meninggalnya Tengku Nasaruddin Said Effendy atau yang lebih dikenal dengan Tenas Effendy memberikan luka yang mendalam bagi Provinsi Riau. Selama hidupnya, Tenas mencurahkan perhatiannya untuk mendalami dan mengampanyekan kebudayaan Melayu kepada banyak orang. Salah satu petuah Melayu yang selalu diingat orang adalah buku Tunjuk Ajar Melayu.
Sabtu (28/2/2015), putra terbaik Riau menghembuskan nafas terakhirnya di RSUD Arifin Ahmad Pekanbaru.
Dikutip dari melayuonline, Tenas Effendy dilahirkan pada 9 November 1936 di Dusun Tanjung Malim, Desa Kuala Panduk, Pelalawan. Tengku Nasaruddin Said Effendy adalah nama pemberian sang ayah, Tengku Said Umar Muhammad. Sementara ibunya, Tengku Sarifah Azamah juga memberi Tenas dengan nama Tengku Nasrun Said Effendy.
Ayahnya adalah sekretaris pribadi Sultan Said Hasyim, Sultan Pelalawan ke-8 waktu itu. Tengku Said Umar Muhammad selalu menulis mengenai semua silsilah Kerajaan Pelalawan, adat-istiadat, dan peristiwa penting lainnya dalam sebuah buku yang dinamakan Buku Gajah.
Setelah Sultan Said Hasyim mangkat pada tahun 1930, T. Said Umar Muhammad dan keluarga pindah dari Pelalawan ke Kuala Panduk dan menjalani aktivitas seperti masyarakat lainnya. Di Kuala Panduk T. Said Umar Muhammad diangkat sebagai Penghulu sekaligus sebagai guru agama yang pertama dan guru sekolah desa.
Masa kecil T. Nasaruddin Effendy dihabiskan dengan mengikuti ayahnya berladang padi, hingga T. Nasaruddin Effendy sejak kecil paham betul kegiatan berladang.
Selain itu, beragam peristiwa dan aktivitas kebudayaan yang dilakukan oleh masyarakat di sekitarnya dapat disaksikan langsung oleh Tenas, seperti upacara penabalan Sultan Said Harun, upacara menuba ikan yaitu sebuah ritual yang juga sarat dengan adat, upacara mengambil madu yang sarat dengan magis dan kental dengan ritual kebudayaan asli, dan berbagai aktivitas budaya lainnya.
Kebiasaan dalam mendengar, melihat dan mengamati berbagai khasanah budaya ini secara berangsur-angsur membuat Tenas mampu menyerap berbagai unsur budaya tersebut dan terpatri sangat mendalam dalam kehidupannya. Kendati belum memahami benar, namun kebiasaan masyarakat dengan beragam aktivitas kebudayaannya itu telah membentuk pandangan Tenas mengenai kebudayaan Melayu yang Islami.
Setelah berumur 6 tahun, Tenas mulai masuk Sekolah Agama dan Sekolah Rakyat yang ada di kampungnya. Di Sekolah Agama Tenas mendapat pendidikan dari ayahnya sebagai guru agama, sedangkan di Sekolah Rakyat Tenas mendapat pelajaran dari gurunya (Alm) T. Said Hamzah. Jika sekolah agama dilakukannya di masjid bersama teman-temannya, sekolah umum dilakukannya di sekolah yang sangat sederhana, dengan duduk beralaskan tikar.
Alat tulis yang digunakan pun hanya dari batu yang disebut dengan papan batu. Kegiatan belajar tidak hanya dilakukan di sekolah maupun di masjid, tetapi di ladang, di pokok-pokok getah dan di tepi sungai.
Tahun 1950, Tenas menamatkan sekolah di Sekolah Rakyat di Pelalawan. Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Guru B (SG B) di Bengkalis. Tidak banyak kegiatan yang dilakukannya selama menuntut ilmu di Bengkalis.
Hanya sekali-sekali Tenas mencoba menulis kemudian dikirim ke berbagai surat kabar di Medan. Selain itu Tenas giat mengikuti latihan pandu Hisbulwathan yang dipimpin oleh Dt. Adham.
Setelah tiga tahun menempuh pendidikan di Bengkalis, Tenas melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Guru A di Padang.
Selama mengikuti pendidikan di Padang, banyak sekali kegiatan yang dilakukan oleh Tenas. Dasar menulis yang diperolehnya selama pendidikan di Bengkalis diteruskannya selama di Padang.
Dengan kemampuan yang dimilikinya Tenas sering mengikuti berbagai acara kesenian berupa pembacaan puisi dan sering mengisi acara karya budaya yang disiarkan oleh RRI Padang.
Pada tahun 1968, Tenas memulai aktivitas penelitiannya dengan berbagai macam objek penelitian. Objek pertama yang diteliti adalah masyarakat suku asli (Petalangan).
Selain itu, Tenas juga mulai melakukan berbagai kajian tentang beragam kebudayaan lain. Ia menghabiskan waktunya dalam melakukan kajian di hampir seluruh pelosok Riau dan Kepulauan Riau, masuk kampung yang satu ke kampung yang lain.
Bertemu dengan banyak masyarakat asli dan tempat-tempat bersejarah yang sudah punah. Tenas menghimpun pantun, ungkapan, peribahasa, perumpamaan, gurindam, bidal, ibarat, nyayian panjang sampai kepada seni bina arsitektur bangunan-bangunan tradisional.
Penyingkatan nama dari Tengku Nasaruddin Effendy menjadi Tenas Effendy pada tahun 1957, membawa manfaat baginya dalam perjalanannya melakukan penelitian ke daerah-daerah pada berbagai kalangan masyarakat tradisional.
Hal ini disebabkan jika masyarakat mengetahui bahwa peneliti itu adalah seorang Tengku, maka akan ada semacam jarak. Hasil-hasil penelitian ini terutama yang berkenaan dengan sastra lisan direkamnya dalam bentuk kaset yang terkumpul lebih kurang 1.500 rekaman.
Dari perjalanan panjangnya berkecimpung dengan kajian kebudayaan dan aktivitasnya dalam menulis, Tenas berhasil mengumpulkan lebih kurang 20.000 ungkapan, 10.000 pantun dan tulisan-tulisan lain mengenai kebudayaan Melayu.
Kepiawaiannya dalam menulis dan pengetahuannya yang mendalam tentang kebudayaan menarik minat banyak institusi untuk berbagi pemikiran dalam berbagai seminar, simposium, dan lokakarya, mulai dari Malaysia, Singapura, Brunei sampai ke Belanda. (*)