Ibadah Haji 2015
Berebut Bermunajat di Raudah
Salah satu tempat yang paling diburu jamaah calon haji (Calhaj) asal Riau dalam kawasan Masjid Nabawi, Madinah Almunawwarah, ialah Raudah.
Citizen Reporter: Ridar Hendri
Salah satu tempat yang paling diburu jamaah calon haji (Calhaj) asal Riau dalam kawasan Masjid Nabawi, Madinah Almunawwarah, ialah Raudah. Ruangan ini, dalam Islam, diyakini sebagai tempat paling mustajab (dikabulkan) dalam bermunajat (berdoa) kepada Allah SWT. Sebab, di tempat kecil itulah dulunya Rasululllah SAW sering berdoa untuk umatnya.
UKURAN Raudah hanya 12x12 meter. Sangat kecil dibanding dengan luas Masjid Nabawi yang mencapai 98 ribu meter persegi. Maka tak ayal, ruangan ini menjadi tempat paling diincar oleh 167 ribu jamaah Calhaj dari berbagai penjuru dunia, yang sedang menunaikan salat Arbain (40 waktu) di masjid Rasulullah SAW itu.
Ruangan ini terletak di bagian pojok kiri depan, bersisian dengan makam Nabi Muhammad SAW. Sebagai penanda, selain arsitektur Raudah yang khas dibanding arsitektur Masjid Nabawi secara keseluruhan, ialah karpetnya yang berwarna hijau. Kontras dengan warna karpet masjid yang didominasi warna merah.
Tempat ini diincar karena sebelum waktu salat fardhu tiba, ruangan ini diberi pembatas oleh petugas keamanan. Jamaah tidak boleh masuk. Petugas baru membukanya sesaat salat lima waktu secara berjamaah, akan dimulai. Sehingga ruangan Raudah menyatu dengan ruangan masjid yang lain.
Begitu dibuka, ratusan jamaah yang berada dekat dengan Raudah, segera bergerak masuk menerobos. Tentu tidak semua berhasil lolos serentak ke Raudah karena tempatnya yang sempit. Mereka yang lolos duluan, dapat menunaikan salat sunat dan fardhu bersama dengan jamaah lainnya. Usai salat, mereka lanjutkan dengan berdoa kepada Allah SWT, tentang apa saja niat yang terkandung dalam hati.
Tapi ini tidak lama, hanya sepuluh 15 menit. Lalu jamaah di Raudah diminta keluar lewat dua pintu khusus, untuk memberikan kesempatan pada jamaah lainnya, menunaikan keinginan serupa.
Benar. Begitu jamaah tersebut keluar, ribuan jamaah lain yang berbondong-bondong dalam deretan antrean di belakang, beringsut-ingsut menuju kawasan Raudah. Tidak mudah, karena di sela-sela pergerakan ke depan, mereka dibatasi oleh jamaah lain yang sudah duluan menunaikan salat sunat dan bersujud. Bahkan, sering kali, ruang gerak salat seorang jamaah di Raudah menjadi sangat sempit karena padat dan terus didesak arus jamaah dari belakang.
Jamaah Calhaj Indonesia, termasuk dari Riau, seringkali kewalahan menahan dorongan jamaah dari negara lain. Terutama dari Afrika, Arab dan Eropa, yang ukuran fisik tubuhnya, jauh lebih besar. Tenaga mereka jauh lebih kuat. Saya menyaksikan, bagaimana para jamaah kita Indonesia, yang mudah dikenali dari seragam tas sandangnya, menjadi terbawa 'arus' oleh pergerakan gelombang lautan jamaah Calhaj manca negara.
Namun, banyak juga jamaah Calhaj asal Riau yang tidak kehabisan akal atau menyerah dengan keadaan. Jurus yang umum digunakan ialah dengan datang lebih awal ke Masjid Nabawi. Petugas keamanan masjid memberi kesempatan pada jamaah laki-laki untuk sholat dan bermunajat di Raudah, ialah setiap usai Salat Zuhur, Ashar, Isya dan usai Salat Subuh. Sedangkan untuk jamaah perempuan, seusai jamaah laki-laki.
Nah, jika duluan sampai di masjid, dan mendekat ke Raudah, dipastikan dapat dengan mudah menunaikan salat dan bermunajat di tempat itu. Namun, jika tidak, terpaksa ikut antre berdesak-desakan. Untuk menyiasati ukuran fisik dan tenaga yang kecil, jamaah Indonesia, termasuk Riau, biasanya pergi berombongan minimal empat orang. Tujuannya, agar saat yang dua melakukan salat, maka dua temannya melakukan pembentengan fisik. Ini dilakukan secara bergantian.
Walau demikian, usai salat dan berdoa, mereka tidak bisa langsung keluar dengan lancar. Harus menunggu sambil berjalan perlahan. Sebab di depan pintu sudah berjajar pula antrean jamaah lain yang bergerak menuju makam Nabi Muhammad SAW serta sahabatnya Adubakar Siddik dan Umar bin Chattab. Kalau lancar, untuk keluar, bisa makan waktu hampir setengah jam. Ini saya alami pada saat di Raudah yang pertama kali, Sabtu (29/8), usai Salat Zuhur.
Karena merasa berdoa di hari pertama belum sempurna, maka sehari kemudian, saya kembali lagi ke Raudah jelang waktu Salat Zuhur. Saya dan tiga teman se-Kloter, datang lebih awal. Alhamdulillah, kami bisa bisa sholat persis di samping Raudah. Karena itu, begitu sholat Zuhur usai, kami dengan mudah menggapai Raudah. Kami salat bergantian agar bisa saling membentengi fisik teman dari dorongan jamaah bertubuh kuat, tinggi dan besar. Kali ini hasilnya terasa jauh lebih baik. Karena bisa salat dengan sempurna dan berdoa lebih lama.
Persoalan muncul saat akan keluar Raudah. Tiba-tiba saya dan salah satu teman bernama Asril Abdul Rahman Yunus, terperangkap dalam arus gelombang jamaah dari Afrika yang bertubuh besar-besar. Ada sekitar setengah jam, sebelum saya akhirnya terpisah dari Asril. Saat Asril tak nampak lagi, saya masih berada dalam pusaran, jamaah Afrika tersebut.
Karena rasanya tak mungkin bisa lolos ke pintu keluar, maka walau sudah berdoa, saya manfaatkan saja waktu selama terjebak itu untuk menambah dan menyempurnakan doa. Ini berlangsung selama satu setengah jam, sebelum akhirnya bisa bergabung ke antrean jamaah lainnya untuk berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW, Abubakar Siddik dan Umar bin Chattab. Ketiga makam itu terletak berderet di sebelah kiri menjelang pintu keluar Masjid Nabawi.
Kerena lama terpisah, begitu tiba di hotel ketiga teman tadi bertanya, "Kok lama sekali"?
"Saya terperangkap di Raudah lebih dari satu setengah jam. Namun saya manfaatkan untuk berdoa lebih lama dan sempurna," jawab saya.
"Ooo. Itu namanya terperangkap di tempat yang benar," celetuk Sugeng Riyadi, teman saya yang satu lagi. (*)