Wan Syamsinar, Mengangkat Marwah Negeri Lewat Tenun Songket Riau
Kerajinan tenun Putri Tujuh merupakan salah satu sentra kerajinan tenun di Dumai. Sejak belia, Syamsinar sudah belajar menenun.
TRIBUNPEKANBARU.COM - Wan Syamsinar, 64 tahun, ibarat penjaga nyala obor warisan seni dan budaya Melayu. Semangatnya tak pernah surut dalam menekuni kerajinan songket Melayu di tengah perkembangan budaya pop seperti sekarang.
Secara teguh, Syamsinar memegang prinsip bahwa tenun songket Melayu harus terus dikembangkan hingga akhir zaman.
Syamsinar merintis usaha kerajinan tenun songket Melayu “Wan Syamsinar” sejak tahun 2004. Bersama almarhum suaminya, ia memulai usaha tersebut dengan enam pengrajin dan enam Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Lokasinya di sekitaran Kelurahan Bagan Keladi dan Kelurahan Purnama, Kecamatan Dumai Barat, Kota Dumai.
"Sejak masih muda, saya sudah menjadi guru tenun. Bahkan, di kerajinan tenun Putri Tujuh, saya dulu juga menjadi gurunya,’’ ujar Syamsinar.
Kerajinan tenun Putri Tujuh merupakan salah satu sentra kerajinan tenun di Dumai.
Sejak belia, Syamsinar sudah belajar menenun. Ibunya seorang penenun di Bengkalis.
“Dengan keterampilan yang saya miliki, saya dan almarhum suami kemudian berkeinginan untuk membuka kerajinan tenun sendiri. Waktu itu, kakak saya ikut membantu modal awal usaha tersebut," kenangnya.
Sebagai putri asli kelahiran tanah Melayu, Syamsinar ingin membangkitkan dan menjaga warisan seni dan budaya zaman Kesultanan Siak tersebut. Dia ingin turut menjaga kelestarian kerajinan tenun songket Melayu.
“Saya ingin berbagi keterampilan dengan masyarakat sekitar sekaligus membantu peningkatan taraf ekonomi mereka.”
Kelompok Tenun Songket Wan Syamsinar yang dibinanya kini memiliki 10 pengajin dan 10 ATBM. Lokasi usahanya beralamatkan di Jalan Raja Ali Haji, Purnama, Kota Dumai.
Para pengrajin di kelompok tersebut berlatar belakang ibu rumah tangga dan mahasiswi. Setiap bulan, mereka memproduksi rata-rata 30 - 40 helai kain tenun dengan pendapatan sekitar Rp 16 juta.
Harga tenun songket Wan Syamsinar bervariasi, mulai dari Rp 350 ribu hingga Rp 600 ribu per lembar. Untuk songket yang sepasang, harga dibanderol mulai Rp 900 ribu hingga Rp 1,6 juta. Sementara untuk pesanan khusus, misalnya pengantin, harga dipatok Rp 2 juta hingga Rp 4 juta.
"Pelanggan yang memesan tidak hanya orang Dumai, tapi juga dari Pekanbaru, Jakarta dan Kalimantan. Promosi kami dibantu oleh PT. Chevron Pacific Indonesia (PT CPI, Red.),’’ papar Syamsinar, nenek dari empat cucu tersebut.
Dia mengatakan, merintis sebuah usaha tidaklah mudah. Jatuh bangun dalam menjalankan usaha kerajinan ini sudah pernah dilaluinya. Terkadang, dia kehabisan bahan dan modal sehingga tidak mampu memenuhi pesanan yang masuk.
Pada April 2015 lalu, Syamsinar memutuskan untuk bergabung dalam Program PRISMA, kependekan dari Promoting Sustainable Integrated Farming, Small Medium Enterprise Cluster and Microfinance Access. Program tersebut merupakan salah satu program investasi sosial PT CPI di bidang pengembangan ekonomi lokal di sekitar wilayah operasi perusahaan.
