Trans Celebes Bicycle Touring
Desa Suku Bajo Rasa Maldives, Asyiknya Surfing di Internet di Rumah Panggung Atas Laut
Perkampungan Suku Bajo tidak kalah dengan Maldives. Masyarakat hidup di atas lautan, di rumah panggung tradisional yang juga ada jaringan internetnya.
Penduduk di Torosiaje sangatlah ramah dengan segala keaneka ragaman budaya. Anak anaknya sedikit agak pemalu,mereka susah diajak berfoto bersama. Tapi mereka bisa berbaur satu sama lain.
Pekerjaan penduduk Torosiaje mayoritas adalah nelayan kalaupun ada yang petani itu hanya sekedar sampingan saja. Karena menurut mereka menjadi nelayan adalah pekerjaan utama yang selalu mendapatkan ikan setiap saat.
Bahkan ditiap pekarangan rumah pasti ada keramba ikan. Mereka memelihara berbagai jenis ikan. Hasil tangkapan ikan yang mereka peroleh sebagian untuk diperjual belikan dan sebagian untuk makanan mereka sehari-hari.
Ikan hasil tangkapan tidak pernah mereka simpan karena berapapun hasil tangkapan ikannya akan dengan segera mungkin mereka habiskan saat itu juga.
Kami mampir dan duduk di sebuah kafe Thorsee namanya. Kafenya didekorasi gaya punk. Disitu ada karaoke. Kami pesan kopi disitu dan pelayannya seorang pria muda bertato dan saya coba cari informasi dari dia kemudian saya jalan kepojok lain tidak jauh dari kafe ada masjid dan madrasah. Bangunan ini sepertinya berdiri di darat dan muncul kepermukaan.
Saya coba masuk kesebuah rumah warga yang buka warung dan es campur. Rumahnya bersih dan tentu tidak ada debu sama sekali. Saya pesan es campur,harga Rp5000 per mangkok dari ibu Ani yang ternyata orang Gorontalo dan tinggal di komplek tersebut.
Umumnya rumah-rumah disitu tertata dengan rapi dan sangat bersih. Memang beberapa kali saya masuk ke rumah Suku Bajo tersebut keadaannya selalu rapi dan bersih. Lantai yang saya pijak pun tidak berdebu ataupun terasa kotor. Dari penduduk saya dapat info disitu juga ada penginapan dengan tarif Rp. 100.000 per malam.
Penginapan itu disediakan oleh pemerintah jikalau ada pengunjung yang berdatangan. Kamar disana yang tersedia hanya ada 6 kamar tidur dan 2 kamar mandi. Kalau pengunjung tidak kebagian penginapan saya rasa tidak perlu khawatir karena mereka bisa menginap di rumah warga dengan harga yang dapat mereka tentukan sendiri. Atau bisa menumpang tidur di masjid seperti gaya kami. Nyari gratis terus, he he.
Jam 12 siang, dengan berat hati kampung Suku Bajo atau surganya di Teluk Tomini ini harus kami tinggalkan. Di siang hari dengan matahari yang makin menyengat kulit kami kembali ke jalan Trans Sulawesi. Sepeda kami dayung lagi untuk meneruskan perjalanan ke arah Marisa yang masih berjarak 70 km lagi. Sore jam 18 kamu sampai di kota Marisa dan menginap di Masjid Jamik. (BERSAMBUNG)