Tokoh Sastrawan Sumbar: 'Yang Dibacakan Sukmawati Bukan Karya Puisi'
Seorang penulis puisi atau penyair, kata dia, harusnya melewati proses kreatif yang tidak singkat.
Laporan: Riki Suardi
TRIBUNPADANG.COM, PADANG - Tokoh sastarawan Sumatera Barat Nasrul Azwar menilai bahwa puisi berjudul "Ibu Indonesia" yang dibacakan Sukmawati Soekarno Putri pada acara 29 tahun Anne Avantie Berkarya di Indonesia Fashion Week 2018 bukan puisi, tapi karya tulisan biasa yang mengandung statement personal.
"Puisi yang telah menuai kontroversi dan mengundang reaksi keras dari masyarakat Indonesia, terutama Muslim, bukan puisi. Tapi karya tulisan biasa yang mengandung statement personal," kata Nasrul Azwar kepada tribunpadang.com saat dihubungi via handphone, Rabu (4/4/2018).
Menurut Nasrul, apa yang dibacakan putri Proklamator RI itu dianggap telah menistakan agama Islam dan menyakiti hati seluruh Umat Muslim Indonesia.
Seorang penulis puisi atau penyair, kata dia, harusnya melewati proses kreatif yang tidak singkat.
Baca: Bintara Remaja Polki Polres Rohul Jalani Tradisi Pembaretan
Penyair kata Nasrul adalah sebutan bagi seorang pengarang syair atau sajak yang proses pembuatannya membutuhkan proses kreatif yang panjang.
Walau terlihat simple, namun pembuatan karya puisi itu membutuhkan imajinasi yang tinggi.
"Seorang penyair menggunakan bahasa kiasan untuk menambah kualitas syair yang dilahirkan. Memang banyak karya puisi yang berkonotasi keras, tapi tujuan untuk mengkritik dan itu adalah karya seni,"ujar Nasrul.
Sedangkan Sukmawati, disebutkan Nasrul, bukan penyair, tapi penari.
Bahkan cenderung dikenal sebagai politisi. Selama bekecimpung di dunia penyair, Nasrul mengaku tidak pernah melihat atau menemukan karya puisi Sukmawati.
"Jadi penyair itu butuh proses yang panjang. Kadi saya tugaskan, apa yang dibacakan Sukmawati bukan karya puisi, karena dibuat dalam waktu yang singkat tanpa melalui proses kreatif yang panjang," bebernya.
Baca: Bukan dari Honor, Ini 8 Pabrik Duit Milik Inul Daratista yang Buat Tajir Melintir
Pria yang dikenal dengan karya puisi fenomenal berjudul "Balada Singa Ompong di Tepi Jurang" yang dilahirkan pada tahun 1994 dengan tujuan untuk mengkritik Pemerintahan Orba itu berharap agar masyarakat, terutama awak media, ke depannya mampu membedakan mana yang karya puisi dan mana yang tidak.
"Kemudian, masyarakat juga harus mendapatkan edukasi lebih tentang produk puisi maupun karya seniman lainnya," harapnya pria yang sudah berkecimpung di dunia puisi sejak 1985 tersebut.
Ditanya soal proses hukum, Nasrul menyebut bahwa Indonesia merupakan negara Demokrasi yang juga menjadikan Hukum sebagai panglima tertinggi.
"Jadi biarkan proses hukum berjalan. Kita lihat saja nanti endingnya seperti apa,"pungkas Nasrul (*)
