Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

Ramadan 1439 H

Esensi Lampu Colok: Ikhtiar Menampung Cahaya (Mencoba Mencari Tafsir lain)

Pemasangan lampu colok pada malam ke-27, tentu dimulai lewat ritual yang panjang.

Editor: harismanto
Foto/Istimewa
Syaukani Al Karim, Seniman dan Budayawan Melayu Bengkalis 

Oleh: Syaukani Al Karim
Seniman dan Budayawan Melayu Bengkalis

SUDAH menjadi tradisi dalam masyarakat Melayu, terutama kawasan pesisir, dan lebih khusus lagi, kabupaten Bengkalis, memasang lampu colok (pelita) pada penghujung bulan ramadan. Tepatnya mulai malam ke-27 (tujuh likur), para pemuda dengan sukacita memasang lampu colok, dengan beragam disain, bermacam corak gambar, serta dengan beragam aksesoris.

Bagaimanapun kondisi ekonomi masyarakat, pembuatan colok, menjadi sesuatu yang terus dilestarikan dari zaman ke zaman. Pemasangan lampu colok pada malam ke-27, tentu dimulai lewat ritual yang panjang.

Sebelum ramadan tiba, para pemuda bergotong-royong mencari kayu di hutan. Memancangnya, membuat disain dengan tema yang beragam, dan lalu di sela sela bulan ramadan, mereka melakukan finishing dengan memilih dan memilah kaleng atau botol yang tepat, memasang sumbu, mencari minyak dan mengisinya, lalu menyusunnya secara cermat sesuai dengan disain yang telah dibuat.

Baca: Saksikan Indahnya Pawai Seribu Obor di Malam Takbiran di Kecamatan Rupat

Ketika semua persiapan selesai dilakukan, maka sejurus setelah berbuka puasa dan sholat maghrib, mereka menyalakannya secara serentak. Masyarakat, lelaki dan perempuan, berbondong-bondong menyaksikan. Anak-anak bermain bunga api, bermain mercun, serta bersenda gurau di tengah keindahan cahaya lampu colok.

Begitulah, sejak kecil saya menyaksikannya, dan terus berlangsung sampai hari ini, ahamdulillah. Ada apa dengan colok. Untuk apa colok dipasang dengan susah payah, Apa kegunaannya. Benarkah hanya untuk penerangan.

Dalam pandangan atau keterangan yang selalu didengar atau dibaca, colok selalu dihubungkan dengan nostalgia lampu penerangan. Bahwa pada masa lalu, nenek moyang kita, menggunakan colok sebagai penyuluh kegiatan malam di bulan ramadan. Benarkah?, Bisa jadi itu merupakan salah satu argumen yang dapat dibenarkan.

Namun, kalau memang colok hanya berfungsi sebagai media penerangan, mengapa hanya dipasang mulai malam ke-27. Mengapa bukan setiap malam bulan ramadan.

Baca: Tahun Ini Festival Lampu Colok Kembali Digelar, Ini Jadwal dan Lokasi Acaranya

Bukankah setiap malam orang bertarawih di masjid. Bahkan dulu, ketika listrik belum masuk di kampung-kampung, dan jalanan gelap, masyarakat tetap hanya memasangnya pada malam ke-27. Ada apa ini?.

Colok dipandang sebagai tradisi, dan tradisi dalam masyarakat Melayu, seperti mandi Safar, mandi Kumbo Taman, Mandi Berlimau di Petang megang, atau Tepung Tawar, selalu mempunyai makna simbolik. Tradisi melayu, selalu mempunyai teks pendorong di belakangnya, selalu ada sumber kearifannya, dan selalu ada kaji asalnya. Dan, tentu saja, ketika berbicara kearifan Melayu, pastilah peristiwa-peristiwa keislaman di masa lampau yang menjadi mata airnya.

Membaca literatur masa lalu, baik itu kisah-kisah sufistik, maupun sejarah kenabian, ataupun sejarah Islam secara umum, saya menduga dan mencoba untuk berijtihad, bahwa pemasangan lampu colok, berhubungan dengan riwayat penyambutan Malam Ketetapan, Malam Penentuan (ditentukan) atau Malam Turunnya Kasih Sayang, atau Malam Penganugerahan Pengampunan dan Keberkahan (lailat al-qadar).

Baca: Dewan Apresiasi Semangat Pemuda Melestarikan Festival Lampu Colok di Bengkalis

Sebuah malam yang membuat dunia sempit, karena malaikat berduyun-duyun turun ke bumi, menyampaikan “titipan” Tuhan kepada manusia yang saleh.

Dipilihnya malam ke-27 oleh para tetua, tokoh, para ulama kasyaf, dan cerdik pandai Melayu masa lalu, saya kira berhubungan dengan kisah datangnya Lailat al-Qadar kepada baginda Nabi pada malam 27 Ramadan. Dalam riwayat disebutkan, lailat al qadar, datang kepada beliau ketika sedang sujud dalam malam-malam iktikafnya bersama sahabat.

Disaksikan oleh Anas bin Malik, Nabi Muhammad SAW tidak bangun untuk waktu yang lama dari sujudnya, sampai tubuhnya basah tertimpa oleh hujan. Lalu hujan berhenti setelah Nabi menyelesaikan sholat.

Kepada Anas bin Malik, Nabi mengatakan, bahwa ketika sujud, datang cahaya meliputi wajahnya, dan Ia tidak ingin bangkit karena takut cahaya itu hilang. Setelah cahaya itu pergi, baru Nabi menyudahi sujudnya.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved