Siak
Kisah Angki 67 Tahun Pendayung Sampan Terakhir di Sungai Siak yang Tak Minta Upah
Di tengah malam sekalipun, jika ada yang menggedor pintu tempat tinggalnya di tepian itu, Angki siap sedia menyeberangkan penumpang.
Penulis: Mayonal Putra | Editor: Sesri
Dia juga lebih senang dipanggil Aki atau pun Angki.
Ia memilih hidup sendiri sampai pada usia senja ini. Tanpa pernah menikah.
Entah pernah mencoba jatuh cinta atau tidak, Angki malas membahas itu. Bahkan, ia tidak pernah naik mobil.
Ia merasa hidupnya berada di atas permukaan sungai, di antara 2 tepian. Padahal wajah Angki waktu masih muda, katanya lumayan ganteng.
"Saya tak punya anak, bujang sampai sekarang," katanya sambil tertawa.
Selama lebih setengah abad bekerja mendayung sampan, kini ia disebut sebagai pendayung terakhir sungai Siak di Siak.
Juga disebut pendayung legendaris hidup sungai Siak.
Menekuni hidup di antara 2 tepian, pria itu telah banyak mengecap asam garam kehidupan penyeberangan.
Sebelum jembatan megah Tengku Agung Sultanah Latifah (TASL) dibangun, Angki juga punya pesaing dalam merebut hati penumpang.

Sejak jembatan TASL dapat dilewati pada 2007 silam, pesaingnya bertumbangan. Mencari peruntungan dengan ojek sampan tak lagi menjanjikan.
"Tinggallah saya sendiri, sampai sekarang," kata Angki.
Ia seakan tidak mau menekuni pekerjaan lain, sebagaimana kebanyakan warga Tionghoa lainnya yang sukses pada perniagaannya.
Bagi Angki, rezeki sudah ditentukan oleh Yang Di Atas.
Meski pun akses Siak-Mempura sudah terhubung oleh jembatan yang sangat ikonik di Siak, tapi sampannya masih saja ada yang menumpangi.
Selama ia mendayung sampan, tak pernah ada tarif upah. Kerap pula penumpang mengasih upah dengan angka sangat kecil, dan tak jarang pula yang gratis.