Megap-megap Diserbu Produk Impor, Buruh Tekstil Jabar Khawatir di PHK Usai Lebaran
Industri tekstil di Jawa Barat kini kepayahan diserbu produk impor. Bahkan sejumlah pabrik sudah mulai merumahkan karyawan.
Penulis: rinaldi | Editor: rinaldi
tribunpekanbaru.com - Industri tekstil di Jawa Barat (Jabar) banyak yang lampu kuning, karena usahanya terus merosot di tengah serbuan produk impor. Buruh tekstil di Jabar pun mulai banyak yang khawatir akan mendapat pemutusan hubungan kerja (PHK).
Wakil Ketua Bidang Organisasi SPSI Kabupaten Bandung yang juga Anggota Dewan Pengupahan, Mulyana, kondisi usaha tekstil di Jabar saat ini mengalami persoalan serius karena terus menurunnya produksi.
"Setelah hari raya, kami semua khawatir dengan keberlangsungan usaha ini bagaimana. Nanti, akan ada pengurangan produksi lagi sampai merumahkan nggak," ujar Mulyana di Bandung, Kamis (30/5).
Menurut Mulyana, terpuruknya kondisi tekstil di Jabar terjadi karena beberapa hal. Pertama, karena kegiatan pabrik sempat dihentikan dengan adanya program Citarum Harum karena ada limbah. "Tapi kalau program Citarum itu, dampaknya nggak lama. Tekstil bisa pulih lagi," katanya.
Saat ini, kata dia, yang paling berat harus dihadapi pengusaha tekstil adalah produk tekstil impor yang membanjiri Indonesia. Banyaknya produk impor, membuat pengusaha tekstil mengurangi produksi. "Hampir semua perusahaan tekstil di Kabupaten Bandung penurunan. Beberapa perusahaan malah sudah merumahkan karyawan seperti Naga Sakti, Alena Tex, Rama Tex, dan lainnya."
Mulyana berharap pemerintah segera melakukan upaya untuk mengendalikan impor, agar produksi lokal bisa bertahan. "Persaingan dengan produk impor itu sangat sulit, pasar lokal nggak keserap. Pengusaha dan karyawan khawatir karena sudah banyak teman-teman yang dirumahkan," katanya.
Ketua Konfederasi SPN dan Anggota Komite Pengawas Ketenagakerjaan RI, Ristadi mengatakan, industri tekstil sudah lampu kuning. Di Jabar khususnya Bandung Raya, industri tekstilnya terbesar di Indonesia dengan jumlah lebih dari 800. Namun dengan adanya produk impor, semua perusahaan terpukul.
"Ini yang paling terpukul produk impor. Pusat tekstil di Bandung raya sekarang batuk-batuk. Banyak yang rasionalisasi karyawan, banyak yang sudah tutup pabriknya. Ini lama-lama kan tekstil tinggal cerita," paparnya.
Menurut Ristadi, saat ini banyak pengusaha tekstil yang sudah beralih ke bisnis perhotelan. Misalnya Danar Mas yang mengalihkan usahanya ke perhotelan di kawasan Dago. "Banyak yang pindah karena tekstil semakin berat. Harga bahan baku tinggi. Insentif pemerintah masih setengah hati untuk menyuntik padat karya," katanya.
Berdasarkan laporan anggotanya, kata dia, per Januari lalu karyawan tekstil yang dirumahkan sudah ada 265 ribu se-Indonesia. Sementara yang rasionalisasi ada 21 ribu orang. "Itu yang lapor ke kami se-Indonesia. Tapi dari 265 ribu itu paling banyak tetap 90 persennya ada di Jabar," katanya.
Ristadi berharap pemerintah tak membiarkan kondisi tersebut dan melakukan berbagai upaya. Salah satunya membatasi barang impor masuk ke Indonesia, dan menaikkan tarif bea masuk supaya harganya sama dengan produk lokal. "Kalau kualitas sama, harga impor lebih murah, mati lah kita," katanya. (rin/rol)
