Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

Berita Riau

Jikalahari Sebut Hotspot Muncul di Lahan Milik Perusahaan

Jikalahari mengungkap adanya potensi kebakaran lahan yang masuk areal perusahaan. 111 titik di antaranya berpotensi menjadi titik api.

Penulis: Syaiful Misgio | Editor: Hendra Efivanias
IDON/Kompas.com
Kondisi karhutla di Desa Teluk Bano II, Kecamatan Pekaitan, Kabupaten Rohil, Riau, Jumat (5/7/2019) pekan lalu. 

TRIBUNPEKANBARU.COM, PEKANBARU - Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) mengungkap adanya potensi kebakaran lahan yang masuk areal perusahaan.

Tidak main-main, sejak Januari 2019 hingga Juli ini, pantauan satelit Terra-Aqua Modis menemukan ada 304 hotspot dalam areal konsesi korporasi.

Sebanyak 111 titik di antaranya berpotensi menjadi titik api.

Hotspot dengan confidence di atas 70 persen dan berpotensi merupakan titik api menurut data Jikalari banyak ditemukan di konsesi HTI milik PT RRL, PT SRL, PT AA, PT RB dan PT RAPP.

Kemudian di area PT MSK, PT SPA dan PT RPT. Untuk korporasi sawit, hotspot berada di areal PT RSUP dan PT SGST.

Koordinator Jikalahari Made Ali, Selasa (9/7/2019) mendesak Kapolri untuk membuka SP3 15 korporasi terlibat Karhutla di 2015.

Sebab pihaknya menemukan ada beberapa perusahaan yang sudah di SP3 tahun 2019 ini areanya masih ditemukan hotspot dan kembali terbakar.

“Jika tahun 2019 tidak ada korporasi menjadi tersangka Karhutla, itu menandakan pihak berwajib tidak punya keberanian memberantas kejahatan korporasi pembakar hutan dan lahan,” kata Made Ali.

Pihaknya menilai penegakan hukum terhadap koorporasi pembakar lahan di Riau tidak serius.

Sebab sejauh ini upaya serius untuk menindak perusahaan yang arealnya terbakar belum terlihat.

Ini dibuktikan dengan minimnya perusahaan yang ditetapkan sebagai tersangka pembakar lahan selama tahun 2019 ini.

"Penegakkan hukum terhadap korporasi pembakar hutan dan lahan, hanya basa-basi. Tidak sesuai fakta dan pencitraan semata. Sebab setiap Karhutla tiap tahun, omongan mereka itu-itu juga," ujarnya.

Made mengungkapkan, pada 13 Maret 2019 Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian meninjau lokasi bekas kebun karet warga terbakar di Pulau Rupat, Bengkalis.

Saat itu petinggi TNI dan Polri menegaskan bahwa penegakkan hukum tidak hanya sebatas kepada masyarakat, namun juga perusahaan yang diduga kuat melakukan pembakaran lahan.

Baik untuk keperluan perluasan lahan maupun lalai dalam menjaga lahan mereka.

“Tapi pertanyaan kita, kenapa tidak langsung mengecek areal korporasi yang terbakar di Rupat. Padahal jelas areal PT SRL, PT SGST dan PT MMJ terdapat hotspot yang tinggi,” kata Made.

Sejak 2015, Kapolri kerap memberikan pernyataan keras agar penegakan hukum dilakukan kepada korporasi yang terlibat Karhutla.

Jikalahari mencatat sejak 2013-2015 Polda Riau memang memiliki prestasi besar melakukan penegakkan hukum Karhutla terhadap korporasi.

Seperti PT Adei Plantation and Industry, PT National Sagoo Prima, PT Langgam Inti Hibrindo dan PT Palm Lestari Makmur.

Korporasi ini berhasil mereka proses dan limpahkan ke Kejaksaan hingga divonis bersalah oleh pengadilan.

Lalu, 2015 saat terjadi kebakaran melanda Riau, Polda Riau menetapkan 15 korporasi pembakar hutan dan lahan.

Namun, kasusnya dihentikan pada 2016.

"Sejak saat itu, Polda Riau belum menetapkan tersangka korporasi padahal 2017-2019 lahan korporasi kembali terbakar,” kata Made Ali.

Diberitakan sebelumnya, sebanyak 16 orang pelaku pembakar lahan saat ini sedang menjalani proses hukum.

Mereka ditangani oleh tujuh pihak kepolisian resort di masing-masing wilayah.

Menurut Kabid Humas Polda Riau, Kombes Pol Sunarto saat diwawancarai Tribun, Jumat (5/7/2019) lalu, 16 orang ini statusnya sudah ditetapkan sebagai tersangka.

Dirincikannya, Polres Dumai menangani jumlah tersangka pembakar lahan terbanyak, yaitu 5 tersangka.

Selanjutnya Polres Bengkalis dan Rokan Hilir masing-masing 3 tersangka serta Polres Meranti dengan 2 tersangka.

Lalu Polres Indragiri Hulu, Indragiri Hilir dan Polresta Pekanbaru turut menangani masing-masing 1 tersangka.

"Yang masih penyidikan 3 kasus. Sudah tahap satu 3 kasus. dan 10 kasus sudah tahap dua," katanya.

Dia menambahkan, luas areal yang dibakar para tersangka, jika ditotal mencapai 165 hektare.

Tebang pilih

Sementara itu, Ketua Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau, Riko Kurniawan mengapresiasi penegakkan hukum yang dilakukan jajaran kepolisian pada tersangka pembakar lahan.

Namun, dia meminta polisi tidak tebang pilih dalam menegakkan hukum pada kasus Karhutla.

"Perlu dipertanyakan, 16 tersangka itu siapa? Masyarakat kah, atau orang yang disuruh oleh pemilik lahan dan korporasi," ujar Riko.

Menurut dia, jika ternyata masyarakat yang ditersangkakan, perlu digali motifnya membakar lahan.

Karena, regulasi membolehkan masyarakat membuka lahan dengan cara dibakar karena masih menjadi adat kebiasaan.

"Selama yang ditanam adalah tanaman kearifan lokal, itu boleh membakar lahan. Karena mereka biasanya mengawasi lahan yang dibakar. Sehingga api tidak meluas dan merember ke lahan lain," kata Riko.

Namun, jika yang ditanam adalah kelapa sawit, perlu dipertanyakan motif mereka membakar lahan.

Karena, menanam kelapa sawit jelas motif ekonominya lebih besar dan tidak masuk dalam tanaman kearifan lokal.

Karena itu, polisi didorong berlaku adil dengan memperhatikan motif si tersangka.

Kalau memang tersangka adalah orang suruhan, maka polisi wajib mengejar siapa yang menyuruh.

Serta mengungkap adakah korporasi yang berperan dalam kasus tersebut.

"Dengan demikian, penegakkan hukum tidak berhenti pada masyarakat biasa atau orang suruhan saja. Tapi juga mengungkap siapa pemodal atau kemungkinan korporasi yang ada di belakang mereka," kata Riko.

Sementara itu, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Riau, Edwar Sanger mengapresiasi proses hukum yang sudah berlangsung.

Tim penegak hukum menurutnya telah bekerja maksimal dalam menangani kasus kebakaran hutan di Riau ini.

Meski tak bisa mengintervensi, Edwar berharap, hukuman yang dijatuhkan kelak pada 16 tersangka jika memang terbukti bersalah bisa menimbulkan efek jera.

Karena, kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Riau sudah menjadi masalah yang memprihatinkan.

"Hampir setiap tahun terjadi Karhutla. Padahal, seharusnya, masalah seperti ini tidak ada lagi," kata dia.

Dengan memberikan hukuman maksimal, Edwar berharap ada pembelajaran di masyarakat.

Khususnya orang-orang yang kerap membakar lahan dan hutan untuk kepentingan sendiri.

Kasus ini juga hendaknya jadi gambaran bahwa penegakkan hukum tetap tegas pada pelaku.

"Sehingga tidak ada lagi yang berbuat macam-macam dengan membakar hutan seenaknya. Capek kita kalau begini terus," kata Edwar. (Tribunpekanbaru.com/Syaiful Misgio/Rizky Armanda)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved