Kisah Warga Miskin di Siak, Tempati Rumah Terpal dan Makan Malam dengan Ubi Rebus
Warga miskin di Siak tak memiliki tempat tinggal yang layak. Keluarga ini pun sering tak makan nasi.
Penulis: Mayonal Putra | Editor: ihsan
TRIBUNPEKANBARU.COM, SIAK - Gerimis tipis turun di Dusun Tanjung Agung, Kelurahan Sungai Mempura, Kecamatan Mempura, Siak, Kamis (2/1/2020).
Seorang pria paruh baya tampak membersihkan pekarangan rumah kecil berdinding terpal.
Pria itu bernama Amir Chandra. Istrinya yang rabun, Asmarani (37) duduk di dalam rumah itu bersama anak-anaknya.
Pasangan suami istri tersebut baru dua hari pindah ke gubuk yang berada di areal ladang karet itu.
"Mendingan di sini, dibanding pondok yang kami tumpangi dulu. Di sana itu banjir, di sini tanahnya agak tinggi," kata Amir saat Tribunpekanbaru.com tiba di rumah itu.
Amir dengan logat Melayu sangat ramah bercerita kepada Tribun. Ia pindah dari gubuk pinjaman ke gubuk yang dibangunnya sendiri. Di gubuk itu ia berbagi kehangatan bersama istri dan anak-anaknya.
"Beginilah keadaan kami, dinding hanya terpal. Kemarin ada dapat uang sedekah saya beli triplek untuk memperkuatnya," sambung Amir.
Jalan menuju rumah Amir hanya jalan setapak, jalan menuju ladang karet dan sawit warga. Di sana, ia membangun pondok kecil secara berangsur sejak 7 bulan belakangan. Di pondok itu ia tinggal dan mulai menyulam masa depan.
"Ada warga bernama Pak Suyitno kasihan melihat kami tinggal di pondok milik Pak Sotul. Jadi Pak Suyitno menghibahkan tanahnya 10 x 15 meter di sini pada 2016. Sejak habis lebaran tahun kemarin saya angsur-angsur membangun gubuk ini," kata dia.
Tiang-tiang pondok yang dibangun Amir hanya kayu-kayu bulat yang diambilnya dari dalam kebun karet.
Atapnya seng dibeli secara berangsur dari hasil kerja dan uluran tangan para dermawan. Namun, dindingnya hanya terdiri dari terpal dan pintu ditutupi dengan karpet bekas.
Lantainya bercor tipis. Sedangkan sumber air bersihnya adalah air hasil galian tanah yang bergambut. Di belakang rumah itu, Amir membangun jamban yang tidak memiliki sanitasi.
Jamban itu didinding dengan kain terpal dan kain bekas. Tempat pembuangannya hanyalah semak belukar.
Di rumah itu, Amir tinggal dengan empat anaknya. Ramadani (18) sudah putus sekolah dan jarang pulang ke rumah. Dia lebih sering tidur di rumah neneknya.
Muhammad Ibrahim (9) kelas 3 SDN 10 Merempen Hilir yang bercita-cita ingin jadi pemadam kebakaran. Cinta Permata Chandra (7) berencana masuk SD tanpa melalui TK.
Sedangkan anaknya yang paling kecil Arjuna Chandra (5). "Biaya tidak ada bagaimana mau nak dimasukkan ke TK," kata dia.
Di dalam rumah itu, tidak semua anaknya yang dapat tidur di atas kasur bekas yang ada di dalam satu-satunya kamar. Ibrahim dan Arjuna hanya tidur di lantai yang beralaskan tikar tipis.
Tapi mereka sekeluarga tampak tidak mengeluh dengan keadaan itu. Justru Asmarani saat ini sedang hami empat bulan.
"Kalau hujan tiba, tempiasnya masuk ke dalam. Ya sabar saja, ikhlas. Kami tetap mesra aja kok di sini," kata Amir lagi.
Amir tidak mempunyai pekerjaan tetap. Ia merasa beruntung bila ada warga mempekerjakannya. Ia mau saja melakukan pekerjaan berat seperti memangkas semak di dalam kebun, memanen sawit atau apa saja yang dapat menghasilkan.
"Kadang saya dapat upah Rp 60 ribu atau Rp 70 ribu satu hari. Hasil ini cukuplah untuk membeli beras," kata dia.
Untuk membantu kebutuhan rumah tangga, kadang Asmarani pergi mencari kaleng bekas. Cinta, anak perempuannya menuntun Asmarani dan kadang-kadang ikut memanggul karung yang berisi botol minuman bekas.
"Saat hamil ini jarang keluar rumah. Kalau tidak terlalu capek kadang pergi mungut sampah karah-karah itu," ujar Asmarani.
Asmarani berkisah, ia sudah 12 tahun menjalani hidup tinggal dari pondok ke pondok. Hidup di bawah kemiskinan itu tidak asing lagi baginya. Ketiadaan telah menjadi pengisi hari-harinya.
"Sering sekali kami merebus pisang muda untuk makan bersama anak-anak. Kami sering tak punya beras," kata Asmarani sambil menangis.
Kadang, kata dia, hanya ada sepotong ubi kayu dikasih orang. Ubi kayu itulah yang direbusnya untuk mengisi perut anak-anaknya.
"Kami makan malam bersama dengan ubi rebus. Kami tetap bersyukur karena masih diberi ubi oleh Tuhan," kata dia.
Anak-anaknya juga tidak mengeluh masalah kebutuhan makan. Jika ada beras, kadang lauk yang tak punya. Akhirnya anak-anaknya makan nasi dicampur kecap saja. "Nasi dicampur garam juga pernah. Itu sudah biasa bagi kami," kata dia.
Selain berjuang hidup dengan keras, keluarga ini juga ditopang uluran tangan warga kampung. Sedangkan bantuan resmi pemerintah belum hadir ke keluarga ini.
Upayakan Bantuan Zakat
Menurut Mukhlis Lubis, ketua RT setempat, ia juga sedih melihat penderitaan keluarga Amir. Ia
sudah pernah memberi bantuan seadanya.
"Sedangkan untuk bantuan Rumah Layak Huni (RLH) dan kesehatan belum bisa diusulkan karena tersangkut oleh permasalahan legalitas keluarga Amir. Sebab Amir belum punya kelengkapan administrasi perceraian dengan istri lamanya," kata dia.
Mukhlis mengakui pasangan suami istri kurang mampu itu benar warganya. Namun, Amir belum mengurus akta cerai dari istri pertama.
Akibatnya Amir tidak dapat mengurus KK, padahal KK merupakan syarat untuk diusulkan agar mendapat RLH.
"Sekarang kami mendorong Amir mengurus legalitas perceraiannya dengan istri pertama. Agar mereka bisa dibantu untuk pengurusan KK," kata dia.
Sementara itu Camat Mempura Desi juga sedih melihat keluarga Amir. Hanya saja bantuan resmi pemerintah seperti RLH mempunyai proses yang panjang dan berbelit.
"Kalau RLH kita harus usulkan terlebih dahulu, tapi itu prosesnya sangat lama," kata dia.
Untuk memangkas proses itu, kata dia, ada alternatif lain untuk membantu keluarga Amir. Alternatif itu adalah mengusulkan bantuan dana zakat ke Baznas Siak.
"Saya sendiri yang akan segera berbicara dengan ketua Baznas. Saya yakin keluarga itu dapat bantuan atau dapat dicatat sebagai penerima zakat (mustahik)," kata dia.
Selain itu, Desi juga sudah mulai membantu pengurusan legalitas kependudukan Amir dan keluarganya secara resmi.
Bahkan mendorong para dermawan untuk memberi bantuan langsung berupa sembako, perkakas rumah tangga atau pakaian layak pakai untuk keluarga itu.
"Bagaimanapun harus kita bantu. Tapi prosedur pemerintahan tentu by proses. Ini yang harus kita maklumi dan kita cari jalan keluarnya," kata dia. (Tribunpekanbaru.com/Mayonal Putra)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/pekanbaru/foto/bank/originals/keluarga-miskin-di-siak.jpg)