Banjir di Pelalawan
Ilegal Logging di Taman Nasional Tesso Nilo hingga Banjir di Desa Lubuk Kembang Bunga Pelalawan
Awalnya kami dengar mesin cinsaw, selama dua minggu. Ketika didengar, suara mesin seperti suara mengolah kayu. Ketika dipastikan ternyata suara nebang
Penulis: Nolpitos Hendri | Editor: Nolpitos Hendri
Ilegal Logging di Taman Nasional Tesso Nilo hingga Banjir di Desa Lubuk Kembang Bunga
TRIBUNPEKANBARU.COM, PEKANBARU - Ilegal logging terus terjadi di Taman Nasional Tesso Nilo menjadi satu di antara pemicu terjadinya banjir di Desa Lubuk Kembang Bunga, Kabupaten Pelalawan.
Pantauan Tribunpekanbaru.com beberapa waktu lalu ke lokasi dan keterangan langsung dari warga setempat dan penemuan langsung bekas ilegal logging, membuktikan pembabatan hutan kawasan Taman Nasional Tesso Nilo terus terjadi.
Selain itu, juga dibuktikan adanya perambah dan penebang kayu di kawasan yang dipergoki Masyarakat Mitra Polhut (MMP), di tepi Sungai Sawan di kawasan yang termasuk ke dalam Desa Lubuk Kembang Bunga.
Hal ini terungkap saat wartawan yang mengikuti Jurnalist Touring yang gelar Pundi Sumatera bersama Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo (YTNTN) yang disupport Tropical Forest Conservasi Action.
MMP bersama TNI dan pihak TNTN berhasil mengamankan tiga mesin cinsaw dan satu sepeda motor bebek. Perambah berhasil menebang hutan sekitar lima hektar. Seperempat dari lima hektar itu merupakan hutan primer yang masuk bagian TNTN.
Ketua Masyarakat Mitra Polhut, Hamencol kepada Tribunpekanbaru.com pada Jumat (22/12) menyebutkan, MPP beranggotakan enam orang. Ia bersama anggotanya dipercayakan untuk memantau perambahan hutan TNTN.

"Awalnya kami dengar mesin cinsaw, selama dua minggu. Ketika didengar, suara mesin seperti suara mengolah kayu. Ketika dipastikan ternyata suara nebang kayu buka lahan. Saya lapor ke pihak TNTN, kemudian turun tim dari balai, dua anggota TNI dan lima anggota MMP," ungkap Mencol.
Menurut Mencol, mereka mengintai perambah atau penebang hutan di kawasan TNTN selama satu malam, kemudian langsung digrebek. Dapat tiga mesin dan satu motor (motor dibakar).
"Motornya kami bakar karena tidak bawa dari hutan. Perambah ini diduga orang dari Bukit Kesuma, Pangkalan Kuras. Seperempat hektar sudah ditebang, diameter kayu 60-90 centimeter," jelas Hamencol.
Kepala Seksi Pengelolaan Wilayah I Kembang Bunga, Taufik Haryadi kepada Tribunpekanbaru.com menyebutkan, pihaknya sudah menerima laporan tersebut dan sedang ditindak lanjuti.
"Ekosistem TNTN ada 22 desa. Saat ini, kami terus berusaha menyelamatkan hutan yang tersisa. Kami melakukan patroli gabungan di perbatasan hutan yang ada. Kami ajak masyarakat mengembalikan fungsi hutan ini dengan pariwisata agar untuk dijaga. Selain itu, juga pengembangan ekowisata. Program sudah berjalan dan pembinaan masyarakat yang dilakukan YTNTN," ungkap Taufik.
Taufik menambahkan, Tesso Nilo ditetapkan sebagai taman nasional melalui perubahan fungsi dari Hutan Produksi Terbatas seluas 83.068 hektar oleh Kementerian Kehutanan. Tahap pertama berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor: SK.255/Menhut-II/2004 tanggal 19 Juli 2004 seluas 38.576 ha. Tahap berikutnya berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor: SK 663/Menhut-II/2009 tanggal 15 Oktober 2009 seluas + 44.492 hektar. Sebagian besar kawasan TNTN berada di Kabupaten Pelalawan dan sebagian kecil di Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau. Di sekitar TNTN saat ini masih terdapat perizinan HPH yang masih aktif yaitu HPH PT Siak Raya Timber seluas 38. 650 hektar, HPH PT Hutani Sola Lestari seluas 45.990 hektar, HPHTI PT RAPP (Riau Andalan Pulp And Paper), PT Rimba Lazuardi, PT Rimba Peranap Indah, PT Putri Lindung Bulan dan perkebunan kelapa sawit yaitu PT Inti Indosawit Subur, PT Peputra Supra Jaya, PT Mitra Unggul Perkasa dan beberapa perusahaan lainnya.
"Kawasan ini memiliki tingkat keragaman hayati sangat tinggi. Ada sekitar 360 jenis flora tergolong dalam 165 marga dan 57 suku untuk setiap hektarnya. Tesso Nilo juga dikenal sebagai habitat bagi beraneka ragam jenis satwa liar langka, seperti Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), berbagai jenis Primata, 114 jenis burung, 50 jenis ikan, 33 jenis herpetofauna dan 644 jenis kumbang," jelas Taufik.
Menurut hasil investigasi Balai TNTN dan WWF Riau, tambah Taufik, sekitar 2.279 Kepala Keluarga telah menetap dalam kawasan TNTN. Sebanyak 2.176 (95 persen) KK merupakan pendatang dari luar desa sekitar TNTN dan hanya 666 KK (5 persen) masyarakat sekitar kawasan TNTN. Rambahan bertambah marak, hingga tahun 2009 terdapat 14 lokus perambahan, menyebar di sepanjang jalan koridor dan pusat-pusat perkampungan. Luasnya mencapai 28.606,08, atau 34,5 perse dari luas TNTN. Empat lokus terluas adalah Koridor PT RAPP Ukui dan Gondai (8.242,34 ha), Kuala Renangan dan Toro Jaya (7.769,27 ha), Bagan Limau (3.852,21 ha), dan Toro Makmur (2.440 ha).
"Berdasarkan Citra Satelit Landsat 2002-April 2011 dan Citra Satelit SPOT 2009, luas perambahan mencapai 86.238,39 hektar dari total luas Kawasan Tesso Nilo 167.618,00 hektar atau sekitar 51,45 persen kawasan Tesso Nilo telah dirambah. Data terakhir saat ini areal yang tersisa mencapai 19 ribu hingga 20 ribu hektar saja. Sejak dua tahun terakhir ini cenderung stagnan dan cenderung terhenti, dan untuk mengatasi permasalahan tersebut saat ini dilakukan revitalisasi Tesso Nilo yang melibatkan semua pihak . Progres yang dilakukan sudah ada pendataan terhadap masyarakat yang ada di dalam dan di sekitar. Ada satu desa yang sudah didata dan hampir selesai. Dari 12 Desa yang berada di dalam dan sekitar kawasan pendataan sudah mencapai 40 persen dari luasan seluruh desa tersebut," papar Taufik.
Taufiq menyebutkan, saat ini Balai TNTN masih menunggu kelanjutan dari kebijakan yang dikeluarkan menteri dan presiden dalam upaya mengatasi perambahan yang terjadi.
"Pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan diyakini sebagai solusi yang mampu memperlambat laju perambahan," ujar Taufik.
Kepala Desa Lubuk Kembang Bunga, Rozi C Slamet kepada Tribunpekanbaru.com menyebutkan, Lubuk Kembang Bunga sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Pernah mendapat bantuan Sekokah Dasar Inpres. Luas desa 115 ribu hektar.
"Luas desa itu terdiri dari, konsesi PT RAPP 18 ribu hektar dan masuk ke dalam masuk TNTN seluas 3.900 hektar. Konsesi Arara Abadi, TNTN, kebun sawit Musi Mas, kebun sawit Indo Sawit, Kebun KKPA dan perusahaan sawit lainnya. Ekonomi masyarakat 20 persen menengah ke bawah," ungkap Rozi.
Menurut Rozi, dari awal TNTN didukung masyarakat, kalau tidak didukung tidak akan ada TNTN. Ini menunjukkan warga mendukung TNTN. Warga yakin bahwa hutan itu perlu bagi kehidupan, terutama oksigen dan ekosistem.
"Setahu saya, luas TNTN tahun 2004 atau awal berdirinya 38 ribu hektar dan tahun 2009 dilakukan perluasan menjadi 81 ribu hektar. Saat ini tersisa 20 ribu hektar lebih. Itu diharapkan tidak terbakar lagi. Masyarakat mendukung untuk pengamanan dengan dibentuknya patroli warga," jelas Rozi.
Mengenai ekowisata dan angrowisata, Rozi juga sangat mendukung. Begitu juga rencana relokasi warga dari Dusun Toro Jaya dan Kuala Renangan yang masuk kawasan TNTN sekitar 3.000 kepala keluarga atau sekitar 6.000 jiwa.
"Relokasi kami dukung. Masyarakat tidak tahu itu hutan lindung karena mereka membeli dari orang yang menipu mereka yang mengaku sebagai bathin. Kalau masyarakat dipenjarakan, saya tidak mau, tapi kalau memenjarakan orang yang menjual ke masyarakat saya mendukung. Walaupun begitu, saya apabila pemerintah mengakomodir permintaan masyarakat ," tutur Rozi.
Tapi, kata Rozi, rokasi rencana relokasi adalah bekas HPH Siak Raya Timber dan Hutan Sola Lestari, nqmun kini sudah menjadi kebun sawit sampai 70 persen. Tapi kalau pemerintah berbuat, semua pastinya bisa.
"Yang penting, masyarakat selamat, TNTN selamat. Kalau tidak selamat masyarakat, saya yang pertama menentang relokasi. Khusus Dusun Toro yang masuk TNTN, tanah itu diduga dijual orang yang mengaku bathin hitam sungai muda dari suku melayu. Orang itu sudah pernah dipenjarakan, setelah keluar penjara dilakukan lagi. Sampailah sekarang menjadi luas tanah yang dikuasai masyarakat sekitar 35 ribu hektar di Toro Jaya dan Kuala Renangan," papar Rozi.
Hanya saja, tambah Rozi, milik masyarakat paling banyak 5 hektar. Namun ada yang punya sampai 100 hektar namun tidak ditinggal disana. Warga sebanyak 2.000 kepala keluarga pada umumnya pekerja dan ada juga yang tidak punya lahan.
"Sampai sekarang tidak satupun bangunan pemerintah di dusun Toro Jaya karena masuk lahan TNTN," ujar Rozi.
Kepala Duus Toro Jaya, Suryadi kepada Tribunpekanbaru.com mengaku, ia meninggalkan kampungnya di medan dan menjual semuanya untuk pergi ke Toro.
"Saya tinggalkan kampung untuk beli lahan di Toro Jaya. Saya beli lahan sudah jadi dari orang bernama Edi. Saya tidak tahu itu lahan TNTN," ungkap Suryadi.
Baharudin RT 06 RW 01 Toro Jaya, Baharuddin menambahkan, ia sendiri awalnya berjualan ke Toro.
"Ketika ia bertemu dengan sworang yang mengaku bathin bernama Jaspun, ia membeli tanah dan kini sudah jadi kebun sawit dari Jaspun dan pindah ke Toro. Untuk anak-anak di Toro Jaya ada kelas jauh dari SD 03 Lubuk Kembang Bunga dengan siswanya 500 orang. Bangunan sekokah swadaya masyarakat," jelas Baharudin.
Direktur YTNTN, Yuliantony kepada Tribunpekambaru.com menyebutkan, YTNTN yang berkonsorsium dengan Pundi Sumatera sebagai Fasilitator Wilayah TFCA Regional Sumatera Bagian Tengah dan Selatan. Ada empat poin yang mampu menjawab permasalahan yang terjadi di Tesso Nilo.
"Melalui support dana dari TFCA kami melakukan pengamanan kawasan dengan melibatkan masyarakat, begitupun dengan perlindungan satwa. Kami juga melakukan kegiatan restorasi dan peningkatan ekonomi masyarakat yang melibatkan perempuan," ungkap Tony.
Tony menyebutkan, saat ini Desa Lubuk Kembang Bunga, satu di antara desa yang berada dalam kawasan telah melakukan pengamanan kawasan dengan dibentuknya MMP yang berhasil mengatasi upaya perambahan yang dilakukan oleh masyarakat luar.
"Peningkatan perekonomian masyarakat yang melibatkan kelompok perempuan batang Nilo, dalam mengemas ekowisata berbalur dengan kearifan lokal masyarakat juga telah berhasil memberikan penambahan terhadap perekonomian masyarakat di Desa Lubuk Kembang Bunga," jelas Tony.
Fasilitator Wilayah TFCA Sumatera Bagian Tengah dan Selatan, Damsir Chaniago kepada Tribunpekanbaru.com menyebutkan, model-model yang sudah dibangun YTNTN dalam upaya pengamanan kawasan dan pemberdayaan masyarakat perlu mendapatkan dukungan dari semua pihak.
"Sudah ada pemberdayaan perempuan dalam peningkatan perekonomian keluarga melalui anyaman dan ekowisata berbasis budaya dan kearifan lokal. Tapi ini kan belum mendapatkan dukungan dari pemerintah. Hasil produk kerajinan yang mereka hasilkan hanya dibawa-bawa saja untuk ke pameran-pameran. Harusnya bisa didukung Dekranasda membantu pemasaran dan ini tugas pemerintah," ungkap Damsir.
Minimnya dukungan pemerintah juga diakui Masni Daniati Sekretaris Kelompok Perempuan Batang Nilo (Perbani). Dia mengungkapkan kekecewaaannya atas kurangnya dukungan pemerintah.
"Kalau kami hanya produksi saja belum ada pemasaran yang jelas, juga tidak memberikan manfaat yang besar bagi ekonomi. Kami berharap pemerintah bisa membantu dalam hal pemasaran dan promosi paket ekowisata berbasis kearifan lokal yang baru saja disusun," ungkap Masni.
Ilegal Logging di Taman Nasional Tesso Nilo hingga Banjir Landa Desa Lubuk Kembang Bunga - Tribunpekanbaru.com / Nolpitos Hendri.