Tak Seperti yang Digambarkan Pemerintahnya, Mahasiswa China yang Kuliah di Australia Aman-aman Saja
Zheng (28) seorang mahasiswa S2 asal China yang sedang kuliah di University of Adelaide. Dirinya mengaku aman-aman saja selama 4 tahun di Australia
TRIBUNPEKANBARU.COM- Jelang dimulainya kembali masa perkuliahan di Australia pada Juli, perdebatan mengenai keamanan mahasiswa asing semakin menguat. Kalangan mahasiswa China khususnya, memiliki pandangan beragam.
Mayoritas mahasiswa China yang kuliah di luar negeri memilih Australia sebagai tempat menuntut ilmu. Sebanyak 73 persen dari mereka disalurkan oleh para agen pendidikan.
Menurut data Departemen Pendidikan Tinggi, sekitar 60 persen mahasiswa asing di delapan universitas ternama Australia atau Group of Eight adalah mahasiswa asal China.
Kedelapan perguruan tinggi tersebut meliputi University of Adelaide, Australian National University (ANU), University of Melbourne, Monash University, University of New South Wales (UNSW), University of Queensland, University of Sydney, dan University of Western Australia.
• BRUTAL! Wabah Covid-19 di Australia, Pelajar China Dipukuli & Diusir: Keluar Kau dari Negara Kami!
Perinciannya, sekitar 69 persen mahasiswa asing di University of Sydney berasal dari China, 66 persen di UNSW, 56 persen di University of Melbourne dan 57 persen di Monash University.
Selain itu, di perguruan tinggi bidang teknologi seperti RMIT di Melbourne, 37 persen mahasiswa asing berasal dari China, serta 53 persen di University of Technology Sydney (UTS).
Data pendaftaran mahasiswa asing di 10 perguruan tinggi tersebut pada 2018 menunjukkan, ada sekitar 110.000 mahasiswa asing asal China dengan kontribusi SPP sekitar 3,1 miliar dollar Australia atau sekitar Rp 31 triliun.
Total kontribusi SPP dari keseluruhan mahasiswa asing di 10 universitas ini saja mencapai 5,4 miliar dollar Australia (Rp 52,3 triliun) di tahun 2018.
Kemudian jika digabungkan dengan di universitas lain, data Departemen Pendidikan Tinggi menunjukkan sekitar 229.000 mahasiswa asal China tercatat menempuh pendidikan di Australia.
Jumlah tersebut mencakup hampir 30 persen dari seluruh mahasiswa asing di Australia pada 2019.
Di awal penyebaran virus corona di Australia, media di Negeri "Kanguru" termasuk ABC Indonesia banyak memberitakan kejadian serangan rasialis yang dialami warga keturunan China dan negara Asia lainnya.
Selama periode Januari hingga April misalnya, terjadi 241 kasus diskriminasi yang dilaporkan di negara bagian New South Wales.
• China Akhirnya Boikot Produk Australia, Buntut Seruan Penyelidikan Asal Covid-19 dari Negri Kanguru
Bahkan menurut laporan The Guardian, ada 178 kejadian rasialis selama dua minggu pertama April 2020.
Harian berbahasa Inggris Global Times yang merupakan corong pemerintah China mengutip kejadian-kejadian tersebut untuk menggambarkan "peningkatan rasialisme terhadap warga keturunan Asia di Australia".
Kejadian-kejadian itu pula yang menjadi dasar keluarnya peringatan Biro Pendidikan China agar warganya mempertimbangkan kembali memilih Australia sebagai tempat kuliah.
Harian Sydney Morning Herald melaporkan, sejumlah agen pendidikan kini melirik negara lain, seperti Inggris untuk menyalurkan mahasiswa asal China, jika situasi di Australia "tidak membaik".
Salah satunya adalah Amy Mo yang sudah 15 tahun menjalankan bisnis sebagai agen pendidikan.
Menurutnya, Australia akan alami kerugian ekonomi yang besar jika tidak mengubah sikapnya terhadap China.
"Jika sebuah negara suka uang dari China tapi tidak suka orang China, tentu saja China tak mau berurusan dengan negara itu," katanya.
• Australia Melemah Usai China Stop Impor Produk Dagingnya, Kini Minta Perundingan Ulang dengan China
Australia lebih menarik
Namun sejumlah mahasiswa China yang kini sedang kuliah di Australia mengakui bahwa Australia justru aman-aman saja.
Selain itu, sebuah survei terhadap 400 agen pendidikan di 63 negara yang diadakan oleh penyedia jasa pendidikan Nativas, menyimpulkan bahwa keberhasilan Australia mengatasi penyebaran Covid-19 menjadikannya lebih menarik sebagai tempat kuliah.
Sebaliknya, negara-negara yang kondisinya terpuruk akibat virus corona seperti Amerika Serikat (AS) dan Inggris, daya tariknya berkurang bagi calon-calon mahasiswa internasional.
ABC News mewawancarai Zheng (28) seorang mahasiswa S2 asal China yang sedang kuliah di University of Adelaide. Dirinya mengaku aman-aman saja selama empat tahun berada di Australia.
Ia menilai peringatan dari Biro Pendidikan China tersebut lebih merupakan bagian dari pertikaian Canberra dan Beijing, daripada kekhawatiran atas keamanan mahasiswa.
Zheng mengaku tetap merekomendasikan Australia sebagai tempat yang bagus untuk menempuh pendidikan bagi kalangan mahasiswa asal China.
Stephanie Tang, seorang agen pendidikan di Beijing yang dihubungi ABC menjelaskan, keberhasilan Australia mengatasi Covid-19 turut membantu meningkatnya minat mahasiswa China untuk kuliah di sana dibandingkan di AS atau Inggris.
Agen pendidikan lainnya, Kirk Yan, mengaku menerima pertanyaan dari sejumlah orang tua mahasiswa mengenai keamanan anak-anaknya di Australia.
• Belum Usai, Australia Ngotot Usulkan Penyelidikan Asal Usul Covid-19 Terhadap China
Namun ia menjelaskan bahwa sejauh ini belum melihat adanya mahasiswa yang membatalkan kuliah karena pertimbangan keamanan.
Sementara itu, Menteri Kependudukan dan Infrastruktur Australia Alan Tudge menyatakan, meski sejumlah serangan rasialis terhadap warga keturunan Asia ramai diberitakan, namun negara ini dijamin aman bagi mahasiswa internasional.
"Banyak kejadian rasis terhadap warga keturunan Asia. Namun kejadian-kejadian itu merupakan perbuatan dari segelintir orang bodoh yang pengecut," katanya kepada media setempat.
"Mayoritas masyarakat Australia tidak akan menerima tindakan seperti itu dan mengecamnya," tambah Menteri Tudge.(*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Australia Tidak Aman untuk Mahasiswa China dan Asia, Benarkah?",