Sinyal Tak Ada dan Siswanya Susah Pakai HP, Pak Guru Ini Keliling Mengajar dari Desa ke Desa
Selain sinyal, Harum juga mendapatkan keluhan dari sejumlah siswa yang tidak bisa memahami materi pembelajaran ketika hanya dbagikan lewat ponsel.
TRIBUNPEKANBARU.COM - Pandemi Covid-19 memaksa kegiatan belajar dilakukan secara online atau daring (dalam jaringan).
Namun, tidak sepenuhnya pembelajaran secara daring ini bisa dilaksanakan di semua tempat seperti halnya di Ponorogo yang masih terdapat blank spot atau daerah yang belum terjangkau sinyal atau tak ada jaringan.
Melihat kondisi tersebut, guru SMA 1 Pulung, Harum Pramoko memilih untuk mendatangi siswanya dari satu desa ke desa lainnya.
"Pembelajaran daring ini banyak kendala terutama jaringan, seperti di Kecamatan Sooko, dan Kecamatan Pudak itu kesulitan sinyal HP," kata Harum, Selasa (25/8/2020).
• VIDEO: Viral Sejumlah Siswa Panjat Pohon Agar Dapat Sinyal HP untuk Ikuti Belajar Online
Selain sinyal, Harum juga mendapatkan keluhan dari sejumlah siswa yang tidak bisa memahami materi pembelajaran ketika hanya dbagikan lewat ponsel.
"Oleh karena itu saya memutuskan untuk datang ke desa desa ini," kata Harum.
Harum mengatakan dalam 1 pekan ia menggunakan 3 hari untuk keliling dari satu desa ke desa lainnya.
Dalam satu hari ia akan mengunjungi dua desa. Di setiap desa sudah ada kelompok belajar yang terdiri lebih kurang 10 siswa.
Tempat yang digunakan untuk kegiatan belajar pun bermacam-macam, mulai dari rumah siswa hingga di mushola.
"Jangkauan saya di 3 kecamatan, yaitu Pulung, Sooko dan Pudak yang mencakup 16 desa," lanjutnya.
Harum bersyukur karena terobosannya ini mendapatkan dukungan dari wali murid dan komite sekolah.
"Dengan datang langsung ke lokasi harapan saya anak-anak bisa lebih memahami materi. Selain itu wali murid juga mendukung karena bisa meminimalisir penyalahgunaan HP oleh anak-anak," ucapnya.
Berutang Beli Ponsel Agar Anak Bisa Belajar Online
Thomas Roma (44), warga asal Kampung Gurung, Desa Gunung, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, NTT, harus berutang untuk membeli ponsel agar dua anaknya bisa belajar.
Kedua anak Roma duduk di kelas III dan II SMA di SMAK Pancasila.
Seperti diketahui, pandemi Covid-19 yang terjadi hingga saat ini mengharuskan para murid untuk belajar dari rumat lewat sistem daring.
"Tuntutan sekolah belajar dari rumah sehingga saya sebagai orangtua beli handphone dengan berutang. Kalau tidak ada handphone android maka mereka tidak bisa belajar online serta mengerjakan soal yang diberikan guru-guru dari sekolah," ujar Roma kepada Kompas.com di rumahnya, Kamis (20/8/2020).
• Agar Dapat Sinyal HP untuk Belajar Online, Siswa Terpaksa Panjat Pohon hingga Jalan Kaki 2 Km
Roma merupakan seorang pekerja bangunan yang penghasilannya tidak tetap.
Jika dirata-ratakan penghasilannya berkisar Rp 500.000 perbulannya. Hal itu tentu saja tergantung dari jumlah proyek yang dikerjakan.
Sejak Maret 2020 ketika pandemi Covid-19, Roma tak lagi bekerja.
Namun, dia tetap berusaha agar keluarganya makan serta anak-anaknya tetap bisa mengenyam pendidikan.
• Sempat Ingin Jual Ayam Kesayangan untuk Beli HP Demi Belajar Online, Kini Keinginan Deni Terwujud
• Viral Jual Es untuk Bantu Orangtua dan Beli Kuota Belajar Online, Siswa SD Ini Alami Hal tak Terduga
• MENGHARUKAN, 5 Bulan Siswi SMP Pinjam Ponsel Paman untuk Belajar Online, Adiknya Pinjam ke Tetangga
• Biar Anak Bisa Belajar Online, Ayah Ini Nekat Curi Ponsel, Anak Saya 10 Hari Ketinggalan Pelajaran
"Saya sebagai orangtua bertanggung jawab untuk masa depan anak-anak. Walaupun berutang, yang terpenting masa depan anak-anak terpenuhi dengan bekal ilmu pengetahuan. Dengan penghasilan pas-pasan, saya sebagai kepala keluarga serta istri mengatur keuangan sebaik-baiknya," ucap Roma.
Roma menjelaskan, biaya sekolah dan asrama susteran anak-anaknya sebesar Rp 10 juta lebih per tahun.
Bersyukur biayanya bisa dicicil serta pihak sekolah dan asrama sangat memahami kondisi keluarga mereka yang serba terbatas.
"Jikalau terlambat bayar biaya uang sekolah dan asrama, saya bertemu kepala sekolah dan pihak pembina asrama. Mereka sangat mengerti dengan saya. Saya terus mencari uang untuk membiayai pendidikan anak-anak saya," jelasnya.
Susah sinyal
Roma menjelaskan, selain sulitnya ekonomi, tantangan lain adalah sulitnya sinyal.
Untuk itu, meski sudah memiliki ponsel, anak-anaknya harus mencari sinyal hingga ke perbukitan dengan jarak sekitar 4 km dengan mengendarai ojek.
Uang sewa ojek sebesar Rp 40.000 untuk pulang pergi.
Di padang rumput mereka biasa belajar. Setelah selesai mereka kembali pulang dan mengerjakan tugas yang diberikan.
• Tanpa Ponsel dan Listrik, Upaya Siswa Yatim untuk Belajar Daring Ini Bikin Kapolres Siak Terenyuh
• Siswa di Simalungun Sampai Harus Panjat Pohon Cari Sinyal untuk Belajar Daring, Viral di Medsos
Selain biaya-biaya tersebut, juga ada biaya pulsa internet. Beli pulsa juga harus ke Kota Waelengga dengan jarak tempuh 10 kilometer.
Roma menilai belajar di sekolah lebih baik daripada belajar di rumah. Ini karena banyak beban tambahan selama belajar secara daring.
"Selama lockdown dan belajar dari rumah, biaya Rp 40.000 sewa ojek tiap hari untuk belajar online di tempat yang ada sinyal. Beli pulsa di Kota Waelengga. Naik ojek dari Kampung Gurung ke Kota Waelengga dengan biaya Rp 25.000, pergi pulang Rp 50.000," ujar Roma.
"Untuk dua orang anak saya bayar ojek Rp 100.000; untuk beli pulsa internet, beti ulu (sakit kepala) memikirkan uang serta mengatur pengeluaran dengan pendapatan yang tak menentu. Kami sekeluarga juga dapat Program Keluarga Harapan (PKH), tapi tak cukup untuk biaya kami sekeluarga tujuh orang," kata Roma menambahkan.
• Ini Baru Pemimpin,Khofifah Pastikan Internet Gratis Seluruh Desa di Jatim untuk Siswa Belajar Daring
• Kasian Kakak Beradik Ini, Berbagi Ponsel Buat Belajar Daring, Lalu Memulung Buat Beli Paket Internet
• Lagi, Pelajar Tak Punya Ponsel Pintar untuk Belajar Daring, Novita Terpaksa Nebeng di Rumah Temannya
Belajar dengan pelita
Selain sinyal, di kampungnya juga belum dialiri listrik. Hal itu membuat anak-anak belajar dan mengerjakan tugas dengan pelita.
"Keadaan ini juga memacu anak-anak saya belajar dalam kondisi serba terbatas. Indonesia sudah usia 75 tahun, tetapi penerangan listrik belum masuk di Desa Gunung. Entah sampai kapan kondisi seperti ini," jelasnya.
Kepsek SMAK Pancasila Borong, Hermenegildus Sanusi mengatakan, salah satu anak dari Roma mendapatkan beasiswa.
Hal ini tentu saja dapat meringankan keluarga Roma.
"Hari ini saya datang bertemu orangtuanya di Kampung Gurung untuk melihat kondisi keluarga ini dan mendengarkan kisah perjuangan untuk menyekolahkan anak-anak di masa pandemi Covid-19 ini. Saya sudah mendengarkan kisah orangtuanya," ujar Hermenegildus.(*)
Artikel ini telah tayang di surya.co.id dengan judul Siswanya Kesulitan Sinyal, Guru di Ponorogo Pilih Mengajar dari Desa ke Desa, dan Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Sudah Berutang Beli Ponsel untuk Belajar Online, 2 Siswa Ini Juga Harus Cari Sinyal Sejauh 4 Km",
