Polisi Disebut Represif Dalam Amankan Aksi: Kenapa Tembakan Gas Air Mata Ditembakkan Membabi Buta
Sikap Polisi tersebut dinilai seolah-olah penguasa ingin UU Cipta kerja tetap berlaku dan tidak dibatalkan.
TRIBUNPEKANBARU.COM - Sikap Polisi dalam pengamanan demo penolakan UU Cipta Kerja menuai sorotan.
Sikap Polisi tersebut dinilai seolah-olah penguasa ingin UU Cipta kerja tetap berlaku dan tidak dibatalkan.
Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati mengatakan, gelombang aksi penolakan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja direspons dengan tindakan represif oleh aparat keamanan.
Menurut Susan, sejak Kamis (8/10/2020) sore, Polisi sudah menembakkan gas air mata ke arah massa aksi unjuk rasa.

Ia bersama koalisi masyarakat sipil lainnya berpatisipasi dalam aksi di DKI Jakarta.
"Tadi kami tidak mengerti kenapa tembakan gas air mata ditembakkan membabi buta. Mahasiswa, pelajar, lari tidak beraturan," kata Susan dalam konferensi pers daring, Kamis (8/10/2020) malam.
"Tidak bisa kami hitung berapa banyak orang yang terdampak sikap represif," tambahnya.
Susan menilai sikap represif aparat keamanan menunjukkan bahwa pemerintah ingin UU Cipta kerja tetap berlaku dan tidak dibatalkan.
"Ini kan menimbulkan pertanyaan, sebenarnya ada apa di balik omnibus law? Siapa yang memesan? Kenapa negara seperti melindungi sekali?" tutur dia.
Menurut Susan, masyarakat tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan UU Cipta Kerja.
Ketentuan yang menjadi sorotan Kiara, misalnya, peralihan kewenangan dari pemerintah daerah kepada pemerintah pusat untuk pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan.
"Dari pembahasannya saja sudah cacat. Tidak ada masyarakat pesisir yang dilibatkan. Kemudian ini disahkan ketika Indonesia sedang menghadapi pandemi Covid-19, jadi ini pesanan siapa? Menyampaikan aspirasi itu seharusnya dilindungi," tutur Susan.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) Jumisih menyesalkan sikap aparat yang justru terkesan memusuhi masyarakat yang tengah menyuarakan aspirasi.
Ia menegaskan bahwa menyampaikan aspirasi di muka publik merupakan hak konstitusi tiap warga negara.
Jumisih menuturkan, beberapa peserta aksi ada yang terluka.
"Kami ingin menyampaikan ke kepolisian untuk berhenti merepresi rakyat di saat rakyat sedang melakukan perlawanan. Ini bagian dari hak konstitusional masyarakat untuk menyuarakan dan mengkritik kebijakan publik. Itu adalah ruang demokrasi di negara kita dan itulah ruang demokrasi yang hidup," kata Jumisih.
Ibu di pasar menangis

Perjuangan mahasiswa agar UU Cipta Kerja dicabut pemerintah menuai simpati rakyat kecil.
Bahkan ada pula yang menangis melihat perjuangan mahasiswa menuntut keadilan untuk rakyat Indonesia.
Ibu di Kota Kupang ini misalnya. Ibu yang bernama Atopah ini menangis saat mendengar orasi dan aksi mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Forum untuk HAM dan Demokrasi NTT saat menggelar demo tolak UU Cipta Kerja, Kamis (8/10/2020) di depan Pasar Inpres Naikoten, Kota Kupang, NTT.
Atopah yang usai belanja kebutuhan dapur ini terpaku di pinggir jalan depan pasar menatap para mahasiswa berorasi.
Meski panas terik, tak menyurutkan Atopah untuk menyimak kata demi kata yang diucap oleh orator massa.
Ia nampak tidak ingin beranjak sebelum orator dan para mahasiswa benar-benar beranjak dari dari hadapannya.
Matanya menatap tajam seolah hatinya terbakar.
Sesekali ia berdecak kagum sambil mengeluarkan sapu tangan dari dalam saku celana lalu menyeka air matanya.
Ketika diwawancarai POS-KUPANG.COM, Ibu Atopah mengakui bahwa dirinya merasa kagum melihat perjuangan para mahasiswa.
Menurutnya, perjuangan para mahasiswa patur diapresiasi.
Pasalnya, para mahasiswa menyuarakan aspirasi tidak untuk diri mereka namun untuk kepentingan banyak orang.
"Saya salut mereka. Karena ini bukan untuk kepentingan mereka tetapi untuk kepentingan kami semua masyarakat," ujarnya lirih.
Atopah mengaku bangga terhadap para mahasiswa yang melakukan aksi demo tersebut.
Ibu rumah tangga ini berharap, pemerintah dan DPR bisa memberikan tanggapan terhadap aspirasi masyarakat.
Atopah turut prihatin terhadap produk undang-undang Omnibus Law yang tidak mengakomodir kepentingan rakyat khususnya para perempuan.
(*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul ""Kami Tidak Mengerti Kenapa Tembakan Gas Air Mata Membabi Buta"".