Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

SOSOK Penembak Misterius Pentolan GAM, Mantan Anggota Gerakan Aceh Merdeka yang Jadi Legislator

Satu orang di antara mantan anggota GAM itu adalah Nasrizal yang merupakan seorang Penembak Misterius GAM

Penulis: pitos punjadi | Editor: Nolpitos Hendri
Istimewa
SOSOK Penembak Misterius Pentolan GAM, Mantan Anggota Gerakan Aceh Merdeka yang Jadi Legislator 

Selain sebagai seorang rektor, Prof Safwan juga dikenal sebagai sosok atau tokoh Aceh yang cukup berpengaruh kala itu.

Namanya masyhur se-antero nusantara.

Ia merupakan seorang tokoh intelektual yang juga dikenal alim dengan berbagai ilmu agama yang dia pelajari.

Meski menyelesaikan studi hingga ke Amerika Serikat, Prof Safwan Indris adalah seorang guru besar yang juga pernah mengenyam pendidikan dayah tradisonal.

Hermandar Puteh, Mantan Ketua Divisi Ekonomi (1994-1999) Lingkaran Studi Kreatif Minority, Universitas Indonesia dalam tulisan resensi buku 'Kearifan yang Terganjal; Shafwan Idris Ulama dan Intelektual Aceh' yang dimuat Majalah Gatra mengungkapkan kehilangan guru besar pendidikan yang sekaligus Rektor IAIN Ar-Raniry, Safwan Idris, adalah sesuatu yang sangat mahal dan pahit dirasakan rakyat Aceh.

Hermandar menulis bagi masyarakat Aceh, nama Safwan sangat populer.

Safwan Idris lahir pada 5 September 1949 di Desa Siem, Kecamatan Darussalam, Kabupaten Aceh Besar.

Kakek dari jalur ibunya, Tgk Ali Lampisang adalah guru pertama ulama besar Aceh Tgk Mudawali Al-Khalidi.

Demikian juga dari jalur ayahnya.

Dalam diri Safwan Idris mengalir semangat pendidikan Islam yang diwarisi dari kakek sepupunya Tgk Hasan Krueng Kale, seorang ulama besar Aceh dan tokoh pejuang tegaknya negara kesatuan RI.

Demikian pula ayahnya Tgk Idris Mahmud, adalah teungku yang menguasai ilmu agama dan seorang pejuang yang bergabung dengan kelompok DI/TII Daud Bereueh yang ikut berjuang dalam rangka menegakkan syariat Islam di Tanah Rencong.

Di awal jabatannya sebagai Rektor IAIN Ar-Raniry (sekarang UIN Ar Raniry), Safwan meluncurkan konsep bagaimana mengembangkan kampus ke depan, dengan pola kepemimpinan yang berukhuwah dan bersilaturahmi.

"Dia berangkat dari Masjid Fathun Qarib, yang terletak di tengah-tengah kampus IAIN Ar-Raniry, sebagai sentral pembinaan moral dan intelektual akademika," tulisnya.

Para dosen dan staf IAIN diajak dengan keras oleh Safwan untuk melakukan salat dhuhur berjamaah dalam rangka mengasah jiwa membangun silaturahmi serta interaksi antara dosen, mahasiswa, dan segenap karyawannya.

Kegiatan akademik di ruang kuliah pada tengah hari dialihkan ke masjid dengan kegiatan ekstrakulikuler.

Secara bergilir dosen-dosen senior diminta mengisi ceramah bebas usai salat dengan bobot ilmiah.

Bahkan sering dilanjutkan dengan diskusi antarsesama jamaah.

Demikian upaya gigihnya dalam mewujudkan IAIN Ar-Raniry sebagai the centre of excellent.

Dalam hal mempersiapkan sumber daya insani, selama masa kepemimpinannya (1996-2000), Safwan mengirim lebih dari 100 tenaga pengajar/dosen untuk menyelesaikan program magister dan program doktor pada berbagai perguruan tinggi terbaik di dalam serta luar negeri (Amerika Serikat, Kanada, Australia, Belanda, Mesir, dan Malaysia).

Safwan juga menambah beberapa program studi baru dan kurikulum yang lebih seimbang antara ilmu agama dan pengetahuan umum.

Seorang Penggagas

Ada banyak sekali jasa yang dilakukan oleh Prof Safwan.

Sebagai sosok intelektual, banyak pemikiran briliannya yang sampai kini masih abadi.

Salah satunya menggagas dan mengembangkan sistem pengelolaan zakat, yang kini dikenal nama Baitul Mal.

Pada tahun 1995, Safwan memunculkan ide baru tentang zakat.

Ketika itu, ia menjadi Ketua Umum Amil Zakat di tahun 1995

Seperti Baitul Zakat dan Buleun (bulan) Sadar Zakat.

Gagasan lainnya Safwan mengusulkan dibentuknya pesantren mahasiswa dan museum.

Hingga saat ini kedua gagasan itu telah terwujud meski Safwan Idris sudah tiada.

Hingga tahun lalu sebelum pandemi Covid-19 mewabah di Indonesia, seluruh mahasiswa baru UIN Ar-Raniry wajib mengikuti program pesantren mahasiswa dan tinggal di asrama.

Pada sekitar tahun 2003, Pihak UIN Ar Raniry mendirikan sebuah gedung museum yang megah diberi nama

Gedung Museum Prof Dr Safwan Idris MA beberapa tahun setelah ia tiada.

Saat bencana gempa dan tsunami 2004, gedung ini tak luput dari kehancuran. Banyak sisi bangunan yang rusak.

Mantan aktivis Aceh, M Muhammad Alkaf dalam tulisannya ' Untuk Dia yang Tidak Pernah Mati: Safwan Idris ' menulis sosok Safwan Idris tumbuh dalam dekapan dua tradisi kuat di Aceh, dayah dan Darussalam.

"Pak Safwan menjadi pengobat kehausan orang Aceh tentang makna pemimpin sebenarnya yang telah lama hilang; ahli agama sekaligus admistrator ulung.

Hal yang pernah melekat pada dua tokoh besar Aceh sebelumnya, Daud Beureuh dan Ali Hasjmy," tulis peneliti di Aceh Institut ini.

Menurut Alkaf kapasitas intelektual yang dimiliki Safwan Idris adalah hasil tempaan langsung oleh ayahnya, Abu Idris, salah satu ulama yang kharismatik, sekaligus pengikut setia Daud Beureuh.

Alkaf juga menyebutkan Safwan Idris belajar hingga ke Amerika Serikat.

Padahal zaman itu, Kuala Lumpur-pun masih terasa jauh.

Mahasiswa UIN Pertama di AS

Safwan adalah alumni IAIN AR-raniry pertama yang mendapat kesempatan untuk belajar di Amerika Serikat.

Sebuah prestasi yang membanggakan khususnya bagi civitas akedemika IAIN AR-raniry saat itu.

Safwan saat itu mendapat beasiswa dari Mobil Oil Indonesia untuk belajar di University of Wiconsin Medison, Amerika Serikat pada tahun 1977.

Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Kiprah Prof Safwan Idris, Tokoh Ulama dan Intelektual Aceh yang Syahid ditembak Pria Misterius.

(Tribunpekanbaru.com / Pitos Punjadi)

Sumber: Tribunnews
Halaman 4/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved