Jaksa Sebut Penetapan Tersangka Terhadap Yan Prana Sudah Sesuai Prosedur
Pihak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau, memastikan jika penetapan tersangka terhadap Yan Prana, sudah sesuai dengan prosedur.
Penulis: Rizky Armanda | Editor: Ariestia
TRIBUNPEKANBARU.COM, PEKANBARU - Pihak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau, memastikan jika penetapan tersangka terhadap Yan Prana, sudah sesuai dengan prosedur.
Dimana Sekretaris Daerah (Sekda) Riau non aktif ini, ditetapkan sebagai orang yang bertangggungjawab dalam perkara dugaan korupsi anggaran rutin di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Siak, tahun 2014-2017.
Saat itu, Yan Prana menjabat sebagai Kepala Bappeda di Kabupaten Siak.
Perkara yang menjerat Yan Prana itu, ditangani oleh jaksa penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejati Riau.
"Sesuai Keputusan Mahkamah Konstitusi, bahwa dalam hal penetapan tersangka, minimal harus ada 2 alat bukti permulaan yang cukup," kata Asisten Intelijen Kejati Riau, Raharjo Budi Kisnanto, Kamis (7/1/2021) petang.
"Dalam mekanisme Pasal 184 Ayat 1 KUHAP, disebutkan harus ada keterangan saksi, surat, keterangan tersangka, petunjuk, dan keterangan ahli," sambung dia.
Dikatakan Raharjo, dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka, tentu penyidik tidak melakukannya secara serta merta.
"Tidak semudah yang dibayangkan orang, tentu sudah memenuhi mekanisme yang diatur, yang terkait minimal alat bukti tadi. Kita menetapkan tersangka itu sudah dengan pertimbangan alat bukti yang cukup, bahkan lebih dari 2 alat bukti" tegasnya.
Raharjo pun memaparkan, pihaknya siap, seandainya ada gugatan pra peradilan yang dilayangkan pihak tersangka.
"Otomatis tim penyidik akan siap menghadapi gugatan praperadilan di PN setempat," tuturnya.
Disinggung bagaimana perkembangan penanganan perkara rasuah itu, Raharjo mengungkapkan, berhubung tersangka sudah ditahan, maka proses pemeriksaan saksi-saksi dimungkinkan sudah rampung.
"Kalau sudah ditahan (tersangka), saksi-saksi sudah selesai, tinggal pemberkasan saja," sebutnya.
Raharjo juga menjelaskan bagaimana mekanisme permohonan penangguhan penahanan tersangka, yang dalam hal ini bisa diajukan pihak Yan Prana.
Dia menerangkan, permohonan penangguhan penahanan tersangka Yan Prana, sudah diterima penyidik Kejati Riau beberapa waktu lalu.
Terkait permohonan penangguhan penahanan itu, mekamismenya diatur dalam Pasal 123 KUHAP.
Disebutkan, tersangka, keluarga atau penasehat hukum dapat mengajukan keberatan atas penahanan tersangka kepada penyidik yang melakukan penahanan.
"Terkait pengajuan itu, ada 2 kemungkinan, bisa dikabulkan, atau ditolak. Jika dikabulkan dengan pertimbangan, dialihkan atau ditangguhkan penahanan. Namun jika ditolak penahanannya tetap dilanjutkan," ulas Raharjo.
Selanjutnya, dalam poin yang lain dikatakan, apabila dalam waktu 3 hari permintaan permohonan penangguhan penahanan tersebut belum dikabulkan penyidik, tersangka, keluarga atau PH mengajukan hal itu kepada atasan penyidik.
"Didalam ayat 4 disebutkan, atasan penyidik dapat mengabulkan permintaan tersebut dengan mempertimbangkan perlu tidaknya tersangka itu tetap ditahan, atau tetap ada pada jenis tahanan tersebut. Apakah di Rutan, atau dialihkan tahanan kota atau tahanan rumah," urainya.
"Kalau belum puas, silahkan mengajukan mekanisme pra peradilan, diajukan ke pengadilan dalam wilayah hukum keberadaan penyidik, karena di Kejati Riau, otomatis menjadi kewenangan PN Pekanbaru," bebernya.
Nanti jika gugatan masuk kata Raharjo, maka ada hakim tunggal yang ditunjuk untuk memeriksa perkara. Sidang digelar terus menerus secara maraton selama 7 hari.
Sementara itu, Yan Prana selaku tersangka, diperiksa penyidik di Rutan Klas I Pekanbaru, Rabu (6/1/2021) kemarin.
Pemeriksaan kali ini, merupakan penjadwalan ulang yang dilakukan tim penyidik lantaran Yan Prana batal diperiksa pada Senin (28/12/2020) lalu.
Adapun penyebab batalnya Sekda Riau diperiksa saat itu, dikarenakan ada miskomunikasi berkaitan pemberitahuan jadwal pemeriksaan oleh pihak Rutan Klas I Pekanbaru, tempat Yan Prana ditahan, kepada tersangka.
Pemeriksaan ini merupakan yang pertama bagi Yan Prana pasca menyandang status tersangka.
Sebelumnya, ia sudah beberapa kali diperiksa dalam kapasitasnya sebagai saksi saat perkara masih tahap penyidikan umum.
Penyidik kini sedang berupaya merampungkan proses penyidikan dan berkas perkara yang bersangkutan.
Untuk diketahui, Yan Prana ditetapkan tersangka dalam perkara dugaan rasuah anggaran rutin di Bappeda Kabupaten Siak, tahun 2014-2017.
Dugaan rasuah disinyalir terjadi saat Syamsuar, Gubernur Riau sekarang, masih menjabat sebagai Bupati.
Saat itu, Yan Prana menjabat sebagai Kepala Bappeda Siak. Ia juga bertindak sebagai Pengguna Anggaran (PA).
Akibat perbuatan yang dilakukan Yan Prana, negara terindikasi mengalami kerugian sekitar Rp1,8 miliar.
Yan Prana ditetapkan sebagai tersangka pada Selasa (22/12/2020) lalu. Dia juga langsung ditahan oleh jaksa dan dititipkan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Klas I Pekanbaru.
Adapun alasan penahanan terhadap Yan Prana sendiri, sifatnya subjektif.
"Kalau ada 3 (alasan), pertama melarikan diri, tidak mungkin, dia sendiri ASN. Kedua kalau mengulangi tindak pidana, kejadian di Siak, juga tidak," sebut Hilman Azazi, Aspidsus Kejati Riau.
"Tetapi alasan menghilangkan barang bukti. Itu yang jadi alasan kita, laporan penyidik ke kita ada indikasi seperti itu. Termasuk indikasi mencurigai melakukan penggalangan-penggalangan saksi. Jadi itu yang membuat penyidik bahwa dia (Yan Prana) ditahan," sambung dia.
Diungkapkan Hilman, dari hasil penghitungan sementara, nilai kerugian keuangan negara akibat perbuatan Yan Prana sekitar Rp1,8 miliar.
"Total nilai anggaran berapa lupa. Modus operandi dia sebagai Pengguna Anggaran (PA). Melakukan pemotongan atau pemungutan setiap pencarian yang sudah dipatok, sekitar 10 persen. Yang dipotong baru hitungan Rp1,2 miliar gitu atau Rp1,3 miliar," terang Aspidsus Kejati Riau.
Ditanyai soal kemungkinan tersangka lain, Hilman menjawab sementara belum ada arah ke sana.
Atas perbuatannya, Yan Prana dijerat dengan pasal berlapis sebagaimana tertuang dalam Undang-undang (UU) Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Yakni, Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 10 huruf (b), Pasal 12 huruf (e), Pasal 12 huruf (f), UU Tipikor, Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (Tribunpekanbaru.com/Rizky Armanda)