Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

Militer Myanmar Makin Edan, Serang Warga Sipil Pakai Pesawat Tempur Hingga Tewas

Militer Myanmar melakukan serangan udara ke desa di Karen, Sabtu dinihari, Sky News melaporkan tiga warga desa tewas dengan delapan lainnya terluka.

Editor: CandraDani
Net/reuters
Pesawat tempur militer Myanmar yang unjuk kekuatan saat parade militer Sabtu (27/3/2021) di Ibukota Myanmar. 

TRIBUNPEKANBARU.COM - Militer Myanmar menjadi sorotan lantara menggelar serangan udara ke desa, dan memaksa penduduknya mengungsi di hutan.

Suara tembakan terus terdengar saat pemakaman satu dari 114 korban tewas dalam demonstrasi pada Sabtu (27/3/2021).

Hari itu akan dikenang sebagai hari paling berdarah sejak junta militer melakukan kudeta pada 1 Februari.

Foto yang dirilis organisasi kemanusiaan Free Burma Rangers menunjukkan warga desa Karen mengungsi ke hutan karena serangan udara di area Deh Bu Noh, Distrik Papun, pada 28 Maret 2021.
Foto yang dirilis organisasi kemanusiaan Free Burma Rangers menunjukkan warga desa Karen mengungsi ke hutan karena serangan udara di area Deh Bu Noh, Distrik Papun, pada 28 Maret 2021. (Free Burma Rangers via AP)

Sebabnya, aparat Myanmar menembaki warga sipil yang di dalamnya termasuk bocah berusia lima dan 13 tahun.

Media setempat memberitakan, sekitar 3.000 orang dari Negara Bagian Karen menyeberang ke Thailand untuk mengungsi.

David Eubank, pendiri organisasi kemanusiaan Free Burma Rangers menerangkan, junta militer melakukan serangan udara ke desa di Karen.

Dilansir Sky News Minggu (28/3/2021), Eubank mengungkapkan tiga warga desa tewas dengan delapan lainnya terluka.

Eubank menceritakan, serangan dari jet tempur itu terjadi Sabtu pukul 20.30 waktu setempat, berlanjut hingga pukul 02.00 keesokan harinya.

"Terdapat sejumlah serangan udara. Tapi yang membuat kami mengernyit adalah tidak ada serangan di sana selama 20 tahun terakhir," ujar dia.

Dia mengatakan, kemampuan militer Burma, nama lama Myanmar, terus meningkat karena disokong China dan Rusia.

"Orang-orang kini berlindung di Lembah Day Pu No, dengan total 8.000 orang bersembunyi karena kekerasan terus meningkat sejak 1 Februari," keluhnya.

Eubank melanjutkan, Tatmadaw, sebutan junta militer, tidak hanya membunuh pria, perempuan, dan anak-anak di kota.

Tatmadaw kini juga menggempur berbagai kelompok etnis di kawasan gunung, salah satunya di Negara Bagian Karen.

"Apa yang saya lihat saat ini adalah situasi semakin buruk," jelas Eubank mengomentari kengerian di negara bagian kawasan tenggara Myanmar tersebut.

Serangan udara itu terjadi setelah faksi Uni Nasional Karen mengumumkan merebut pos militer dekat Thailand, dan membunuh 10 orang.

Koresponden Sky News di Asia Tenggara, Siobhan Robbins, menuturkan apa pun yang diserukan dunia, junta tidak akan menggubrisnya.

Robbins mengemukakan, setiap hari rakyat Myanmar terus hidup di bawah kekerasan, di mana ada kabar warga dipukuli hingga ditembak.

Dewan Keamanan PBB sudah mengecam kekerasan tersebut, namun tidak bermanuver lebih lanjut, seperti melarang penjualan senjata.

Sebab, di dalam dewan itu ada Rusia dan China yang tak hanya penyokong senjata, namun juga bersimpati terhadap politik Myanmar.

Kemudian dengan status mereka sebagai anggota tetap DK PBB, resolusi apa pun yang dikeluarkan bakal diveto.

Robbins mengungkapkan, China, Rusia, maupun Thailand mengirim pejabatnya untuk hadir dalam parade militer Tatmadaw.

Adapun korban tewas sejak demonstrasi menentang kudeta Tatmadaw pada 1 Februari ditaksir lebih dari 440 orang.

Namun, jumlah itu diyakini bisa lebih besar lagi karena kelompok pemantau hanya menyertakan jumlah yang terverifikasi.

Amerika Serikat Sampai Ngeri Dapati Fakta Ini

Pemerintah AS mengaku "ngeri" dengan ratusan korban tewas dalam demonstrasi yang terjadi di Myanmar.

Unjuk rasa yang terjadi pada Sabtu (27/3/2021) merupakan hari paling berdarah sejak militer melakukan kudeta di 1 Februari.

Setidaknya 114 orang ditembak mati aparat Myanmar, yang terjadi di 44 kota besar maupun kecil di seantero negeri.

"Junta militer siap mengorbankan banyak nyawa demi kepentingan segelintir orang," kecam Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken.

Dikutip AFP, Blinken mengaku "ngeri" dengan tumpahnya darah yang dilakukan oleh polisi maupun tentara setempat.

"Rakyat Burma (nama lama Myanmar) yang berani telah menolak pemerintahan militer yang penuh teror," tegasnya.

Sebelumnya, Kedutaan Besar AS menyatakan demnstran yang tak bersenjata dibunuh di peringatan Hari Angkatan Bersenjata.

Sementara delegasi Uni Eropa menekankan peringatan itu akan selamanya diingat sebagai "hari penuh teror dan aib".

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengaku terkejut, dan Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab menyebut terjadi "penurunan baru" di sana.

Dilansir BBC, korban tewas menentang kepemimpinan Tatmadaw, nama junta militer, juga melibatkan anak-anak.

"Mereka membunuhi kami seperti ayam maupun burung," kata Thu Ya Zaw, warga Myingyan kepada Reuters.

Dengan 114 orang tewas dalam bentrokan Sabtu, jumlah korban jiwa sejak aksi protes 1 Februari melebihi 400 orang.

Junta mengambil alih negara setelah menuding partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) melakukan kecurangan di pemilu November 2020.

Mereka menangkap sejumlah tokoh politik, termasuk Aung San Suu Kyi, dan mengadili mereka dengan berbagai tuduhan.

Sebelumnya, televisi pemerintah menyebut masyarakat seharusnya "belajar dari tragedi yang sudah-sudah". Media pemerintah menyatakan, pengunjuk rasa bisa berada dalam bahaya ditembak dari bagian belakang atau kepala.

Meski begitu, massa tetap turun ke jalan di berbagai daerah, di mana mereka berhadapan dengan aparat Myanmar.

Dalam gambar yang beredar, nampak sejumlah demonstran mengalami luka tembak dan keluarga meratapi mereka.

Direktur Burma Human Rights Network, Kyaw Win, menuturkan Tatmadaw sama sekali tidak menunjukkan belas kasihan.

"Ini usdah bukan lagi bentuk penindakan terhadap massa. Mereka melakukan pembantaian," jelas Kyaw.

Militer sama sekali tidak mengomentari penembakan tersebut, terlebih di hari penting seperti Hari Angkatan Bersenjata.

Jenderal Senior Min Aung Hlaing, pemimpin kudeta, menyatakan bahwa mereka ingin "bergandengan tangan bersama negara lain menjaga demokrasi".

"Tindakan kekerasan yang mengancam stabilitas maupun keamanan hanya demi pemenuhan tuntutan sama sekali tak bisa diterima," koarnya.(*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Situasi Myanmar Makin Buruk, Militer Gelar Serangan Udara ke Penduduk Desa",dan  "AS "Ngeri" dengan Ratusan Korban Tewas dalam Demonstrasi Myanmar",

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved