Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

BPOM dan Kemenkes Digugat Karena Dinilai Abai Soal Kasus Gagal Ginjal Akut

Keluarga korban gagal ginjal akut menggugat BPOM dan Kemenkes karena dinilai bertanggung jawab atas kelalaian mereka.

TRIBUNNEWS.COM/LENDY RAMADHAN
Kepala BPOM diperiksa polisi 

TRIBUNPEKANBARU.COM - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Kementrian Kesehatan (Kemenkes) akhirnya digugat oleh korban gagal ginjal akut.

Sebelumnya, pengacara keluarga korban mencabut gugatan untuk merevisi gugatan tersebut. 

Namun, gugatan itu dipastikan bakal kembali dilakukan.

Keluarga korban gagal ginjal akut menggugat BPOM dan Kemenkes karena dinilai bertanggung jawab atas kelalaian mereka.

Per 15 November 2022 199 anak dan ratusan anak-anak mengalami gangguan ginjal akibat mengonsumsi obat sirup yang mengandung etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) di atas ambang batas.

Sebelumnya, BPOM "buang badan" ketika kasus tersebut meledak. 

Mereka mengelak sebagai pihak yang bertangung jawab. 

BPOM menuding industri farmasi itu sendiri yang memproduksi obat-obatan berbahaya sebagai satu-satunya pihak yang bertanggung jawab.

Pengacara korban gagal ginjal akut akibat obat batuk sirup menyebut bahwa Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tidak memiliki standar jelas dalam mengukur cemaran EG dan DEG.

Kuasa hukum korban, Awan Puryadi mengatakan, kasus gagal ginjal akut pada anak mulai bermunculan pada September-Oktober.

Namun, pada saat itu, BPOM dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memberikan keterangan yang berubah-ubah.

Hal ini menjadi alasan korban gagal ginjal akut menggugat Kemenkes dan BPOM.

“Salah satunya misalkan disampaikan bahwa BPOM ini tidak punya standar untuk mengecek, mengetes cemaran EG dan DEG,” kata Awan saat ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Selasa (13/12/2022).

Menurut Awan, semestinya terdapat standar internasional yang mengukur cemaran racun EG dan DEG dalam obat.

Di Amerika Serikat misalnya, terdapat panduan untuk mengetes cemaran dua zat itu.

Awan mempertanyakan alasan tidak adanya standar penggunaan EG dan DEG selama puluhan tahun.

Menurutnya, jika sejak awal pemerintah menetapkan standar itu, peristiwa kematian ratusan anak tidak terjadi.

Hal ini menjadi alasan keluarga korban terdampak obat sirup yang tercemar EG dan DEG memasukkan Kemenkes dan BPOM sebagai tergugat, selain perusahaan produsen obat dan penyuplai bahan baku obat.

“Karena ada statement-statement yang dengan jelas menyatakan ‘kami tidak ada standar’ 'kami tidak ada protokol’ dan itu memang tidak ada,” ujar Awan.

Awan menuturkan, keluarga korban menilai Kemenkes dan BPOM telah abai dan dinilai harus bertanggung jawab.

Ia mengatakan, EG dan DEG masuk dalam daftar zat berbahaya milik Kemenkes maupun Kementerian Perindustrian.

Semestinya, BPOM mengawasi keberadaan zat berbahaya itu dengan cara membuat standar pada perusahaan.

Selanjutnya, perusahaan produsen obat seharusnya mengetahui bahwa zat berbahaya itu tidak boleh digunakan.

Perusahaan juga harus melakukan uji dan kemurnian agar mendapatkan izin edar.

“Harusnya perusahaan menguji mutu dan kemurnian. Harusnya sudah ditemukan dari awal,” ujarnya.

Sebagai informasi, sebanyak 199 anak meninggal dunia akibat obat sirup cair yang tercemar etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DG).

Data tersebut merujuk pada data Kementerian Kesehatan per 16 November 2022.

Adapun jumlah korban yang menderita gagal ginjal akut sebanyak 324 anak.

Sejumlah keluarga korban obat sirup beracun kemudian menggugat sembilan pihak yang dinilai bertanggung jawab.

(*)

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved