Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

Berita Riau

Tak Ajukan Banding, Perkara Korupsi dan TPPU Eks Kakanwil BPN Riau M Syahrir Divonis 12 Tahun Inkrah

Perkara TPPU eks Kakanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Riau, M Syahrir, dinyatakan inkrah atau telah berkekuatan hukum tetap

Penulis: Rizky Armanda | Editor: Nurul Qomariah
Tribunpekanbaru.com/Rizky Armanda
Sidang eks Kepala Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Riau, Muhammad Syahrir beberapa waktu lalu. 

TRIBUN PEKANBARU.COM, PEKANBARU - Perkara korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan pesakitan eks Kepala Kanwil (Kakanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Riau, M Syahrir, dinyatakan inkrah atau telah berkekuatan hukum tetap.

Pasalnya, pascavonis 12 tahun dibacakan oleh ketua majelis hakim Tipikor Pada Pengadilan Negeri Pekanbaru, Salomo Ginting, pada Kamis (31/8/2023), hingga waktu yang ditentukan terdakwa, tak mengajukan banding.

Ketika itu, terdakwa dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sama-sama menyatakan pikir-pikir terkait putusan tersebut. Hakim pun memberikan waktu 7 hari.

"Sudah habis waktu, pihak terdakwa tidak mengajukan banding," kata Rosdiana Sitorus, Panitera Muda (Panmud) Tipikor Pengadilan Negeri Pekanbaru.

"Maka dari itu perkaranya inkrah (berkekuatan hukum tetap, red)," imbuh Rosdiana.

Hakim menilai M Syahrir terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan tindak pidana korupsi sekaligus TPPU.

Hakim ketua Salomo, sebelum membacakan vonis, menyampaikan sejumlah pertimbangan yang memberatkan dan meringankan bagi terdakwa Muhammad Syahrir.

Diungkapkan Salomo, adapun hal yang memberatkan, yakni perbuatan terdakwa bertentangan dengan upaya pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di segala bidang.

Kemudian, perbuatan terdakwa bertentangan dengan program pemerintah dalam efisiensi alur birokrasi dan perizinan untuk memberikan stimulus investasi di segala bidang.

Berikutnya, perbuatan terdakwa juga dinilai mengganggu atau merusak iklim investasi di bidang perkebunan oleh pihak swasta khususnya di daerah Riau.

"Terdakwa dan keluarganya telah menikmati hasil kejahatannya," tegas hakim.

Sementara hal meringankan, terdakwa memiliki keluarga dan belum pernah dihukum.

"Menyatakan terdakwa Muhammad Syahrir telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan kumulatif kesatu alternatif pertama, dan dakwaan kumulatif kedua. Dan tindak pidana pencucian uang, sebagaimana dalam dakwaan kumulatif ketiga," jelas Salomo Ginting.

"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 12 tahun dan denda Rp1 miliar dengan ketentuan apabila tidak dibayar, diganti pidana kurungan selama 6 bulan," imbuh hakim ketua.

Tak hanya itu, M Syahrir juga dihukum dengan pidana tambahan berupa membayar uang pengganti kepada negara sejumlah 112.000 dolar Singapura dan Rp21,1 miliar lebih.

Uang pengganti ini harus dibayar maksimal 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap.

Jika tidak, harta benda dapat disita untuk menutupi kekurangan uang pengganti. Jika tidak memenuhi, diganti pidana penjara selama 3 tahun.

Untuk diketahui, vonis yang dijatuhi oleh majelis hakim ini, lebih tinggi dibanding tuntutan yang dilayangkan JPU KPK.

Dimana, JPU KPK menuntut Muhammad Syahrir dengan hukuman 11 tahun 6 bulan penjara.

Tak hanya itu, JPU KPK juga menuntut agar Syahrir membayar uang pengganti kerugian keuangan negara sebesar 112.000 dolar Singapura dan Rp21.130.375.401,00, serta ditambah denda Rp1 miliar.

Sebagaimana diketahui, Syahrir duduk sebagai pesakitan dalam perkara suap pengurusan perpanjangan izin Hak Guna Usaha (HGU) PT Adimulia Agrolestari sekaligus tindak pidana pencucian uang (TPPU).

JPU KPK menilai, Syahrir terbukti menerima suap atas jabatannya dan mengalihkan atau menyamarkan uang hasil kejahatannya itu dalam bentuk aset dan dana di rekening.

JPU dalam amar tuntutannya menyatakan, terdakwa Syahrir bersalah melanggar Pasal 12 huruf a dan huruf b juncto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP dan Pasal 3 UU Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.

"Menuntut terdakwa Muhammad Syahrir dengan pidana penjara selama 11 tahun dan 6 bulan, dikurangi selama masa penahanan yang telah dijalani," ungkap JPU KPK.

Kemudian, JPU KPK juga menuntut terdakwa untuk membayar uang pengganti kerugian negara sebesar 112.000 dolar Singapura dan Rp21.130.375.401,00.

Apabila tidak dibayarkan, maka dapat diganti dengan pidana penjara selama 3 tahun.

Tak sampai disitu, Syahrir dituntut pula membayar denda sebesar Rp1 miliar.

Dengan ketentuan, apabila denda tidak dibayar maka dapat diganti pidana 6 bulan kurungan.

Dalam pertimbangannya, JPU KPK menyampaikan sejumlah hal yang memberatkan terdakwa, salah satunya tidak berterus terang atas perbuatannya.

"Terdakwa telah menikmati hasil kejahatannya," ungkap JPU KPK.

Sementara yang meringankan bagi terdakwa yakni memiliki tanggungan keluarga. Selain itu, terdakwa sebelumnya belum pernah dihukum.

Dalam dakwaan JPU KPK terungkap, Syahrir diduga menerima gratifikasi dari perusahaan-perusahaan maupun pejabat yang menjadi bawahannya.

Tidak tanggung-tanggung, selama menjabat menjabat Kepala Kanwil BPN Provinsi Maluku Utara dan Riau sejak Tahun 2017-2022, Syahrir telah menerima uang gratifikasi, yang keseluruhannya berjumlah Rp20.974.425.400.

Rincian gratifikasi yang diterima Syahrir, sebesar Rp5.785.680.400, saat menjabat sebagai Kakanwil BPN Provinsi Maluku Utara dan Rp15.188.745.000 saat menjabat sebagai Kepala Kanwil BPN Provinsi Riau.

Di Provinsi Riau, M Syahrir menerima uang untuk pengurusan hal atas tamah di Kanwil BPN Riau dari perusahaan seperti PT Permata Hijau, PT Adimulia Agrolestari, PT Ekadura Indonesia, PT Safari Riau, PTPN V, PT Surya Palma Sejahtera.

PT Sekar Bumi Alam Lestari, PT Sumber Jaya Indahnusa Coy, PT Meridan Sejati Surya Plantation.

M Syahrir juga menerima uang dari ASN di lingkungan Kanwil BPN Provinsi Riau, untuk pengurusan izin HGU perusahaan, pengurusan tanah dan pihak lainnya yang memiliki hubungan kerja dengan Kanwil BPN Provinsi Riau.

Di antaranya, dari Risna Virgianto yang menjabat sebagai Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Kuantan Singingi tahun 2019 sampai tahun 2021 sebesar Rp15 juta.

Kemudian dari Satimin terkait pengurusan tanah terlantar/permohonan HGU PT Peputra Supra Jaya pada tahun 2020 sebesar Rp20 juta.

Jusman Bahudin terkait pengurusan pendaftaran HGU PT Sekarbumi Alam Lestari sebesar Rp80 juta.

Lalu dari Ahmad Fahmy Halim terkait pengurusan perpanjangan HGU PT Eka Dura Indonesia sebesar Rp1 miliar.

Siska Indriyani selaku Notaris/PPAT di Kabupaten Kampar sebesar Rp30 juta.

Dari Indra Gunawan terkait pengurusan HGU PT Safari Riau/PT ADEI Plantation & Industry sebesar Rp10 juta.

Suhartono terkait pengurusan perpanjangan HGU First Resource Group (antara lain PT Riau Agung Karya Abadi, PT Perdana Inti Sawit Perkasa, PT Surya Intisari Raya, PT Meridan Sejati Surya Plantation) sebesar Rp15 juta dan menerima uang terkait jabatannya Rp15.188.745.000.

Uang miliaran itu kemudian dialihkannya ke rekening lain dan digunakan untuk membeli sejumlah aset.

Di antaranya, sejumlah bidang tanah, rumah toko (Ruko), kendaraan dan lainnya.

( Tribunpekanbaru.com / Rizky Armanda )

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved