Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

'Kopi Gambut' dari Pulau Terluar butuh Sentuhan Digitalisasi

Kopi Liberika Meranti membutuhkan bantuan dari banyak pihak untuk dipromosikan agar memberikan nilai tambah kepada para petani.

ISTIMEWA
Salah satu inovasi yang dilakukan dalam pengolahan kopi liberika Meranti adalah Luwak Liberika. Kopi premium yang dipanen dari lahan gambut ini membutuhkan sentuhan digitalisasi agar dikenal masyarakat luas. 

TRIBUNPEKANBARU.COM - Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, pemerataan akses internet di Indonesia memiliki tantangan tersendiri. Seperti kondisi geografis hingga sebaran penduduk tidak merata.

Kendati demikian, pemerintah Indonesia terus melakukan berbagai upaya mengingat potensi ekonomi berkat kemajuan digital saat ini cukup besar.

Tidak hanya di kota-kota besar, daerah Tertinggal, Terdepan dan Terluar (3T) sekalipun menyimpan segudang harta karun. Mulai dari potensi pariwisata, perikanan dan pertanian.

Potensi tersebut, jika diakselerasi dengan pendekatan digitalisasi, tentu akan tergarap lebih maksimal.

Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kementerian Kominfo sudah membuktikannya. Berkat pembangunan Base Transceiver Station (BTS), sejumlah desa di wilayah 3T kini semakin maju.

Seperti pertanian di Desa Detukopi, Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang kini sudah menerapkan konsep digital farming dan smart farming. Melalui platform digital GS ­Organik yang didirikan oleh Gestianus Sino, para petani bisa berkonsultasi, mengikuti pelatihan, memesan pupuk hingga menjual hasil panen secara online.

Kemudian Badan Usaha Milik Desa (BUM-Des) Sejiram, Sambas, Kalimantan Barat yang menyediakan layanan internet service provider (ISP). Dengan terkoneksi ke internet, perekonomian warga di sana menggeliat. Juga, meningkatkan pendapatan desa sebesar Rp 50 juta hingga Rp 60 juta dalam satu tahun.

Sementara Kabupaten Kepulauan Meranti di Provinsi Riau, menantikan sentuhan BAKTI Kominfo agar segera mendapatkan jaringan internet berkualitas. Sebab, daerah yang berbatasan langsung dengan Singapura dan Malaysia ini memiliki potensi daerah yang unik untuk dikembangkan.

“Hingga saat ini, terdapat 31 wilayah blank spot yang tersebar di 9 kecamatan.  Kita sudah ajukan bantuan ke Kemenkominfo sejak tahun lalu, semoga segera terealisasi,” kata Kepala Dinas Komunikasi Informatika Statistik dan Persandian Kepulauan Meranti, Febriadi kepada tribunpekanbaru.com, Selasa (12/12/2023).

Terkait lokasi berdirinya BTS, Dia menjelaskan sudah berkoordinasi dan mencapai kesepakatan dengan Kepala Desa untuk menghibahkan lahan mereka.

“Sudah ada dua titik lahan yang kita persiapkan untuk BTS. Mereka (kepala desa) setuju memberikannya sebagai aset pemerintah daerah nantinya. Dengan begitu, saya berharap BAKTI Kominfo segera melakukan survei ke sini. Kalau pun ada aturan atau masalah lainnya, kita terbuka untuk berkomunikasi,” tuntas Febriadi.

FEATURE Kopi Liberika Meranti Riau, Komoditas Lokal Kualitas Ekspor Tembus Pasar Malaysia Sejak 1980
FEATURE Kopi Liberika Meranti Riau, Komoditas Lokal Kualitas Ekspor Tembus Pasar Malaysia Sejak 1980 (Tribun Pekanbaru/Teddy Tarigan)

Adapun potensi Kepulauan Meranti yang membutuhkan sentuhan digitalisasi tadi adalah Kopi Liberika. Liberika atau lebih dikenal sebagai excelsa adalah tanaman kopi endemik dari Liberia di benua Afrika.

Dinas Perkebunan Kepulauan Meranti menyebut budidaya Kopi Liberika di Meranti dimulai sekitar tahun 1942. Seorang perantau dari Batu Pahat, Malaysia pulang ke Desa Sempian. Ia membawa 6 benih kopi Liberika dan ditanam di lahan gambut.

Ternyata, benih itu tumbuh subur hingga menghasilkan buah. Lalu, masyarakat di sana mencoba pembibitan. Informasi tersebut menyebar luas ke desa tetangga sehingga menarik minat warga untuk mencoba berkebun kopi.

Jika diamati dari lokasi perkebunannya, memang kopi ini tergolong unik. Berbeda dari varian Robusta dan Arabika, Kopi Liberika Meranti tumbuh subur di lahan gambut dengan ketinggian hanya 2 Mdpl.

Sehingga, rasa yang dihasilkan pun berbeda. Sensasi rasa buah nangka dan coklat dipadukan dengan pahitnya kopi memberikan pengalaman baru pagi pecinta kopi.

"Kopi ini juga bisa menjadi alternatif bagi yang memiliki riwayat sakit lambung. Karena, Liberika Meranti kandungan kafeinnya rendah, hanya 1,4 persen dan aman bagi lambung. Sementara Robusta yang paling umum dikonsumsi masyarakat, kafeinnya bisa mencapai 2,4 persen," kata Al Hakim, Ketua Harian Kelompok Indikasi Geografis (IG) Masyarakat Peduli Kopi Liberika Rangsang Meranti (MPKLRM) kepada tribunpekanbaru.com, Rabu (13/12/2023).

Namun, kata Hakim melanjutkan, Kopi Liberika Meranti membutuhkan bantuan dari banyak pihak untuk dipromosikan agar memberikan nilai tambah kepada para petani.

Sebab, hasil sekali panen petani yang mencapai 10 ton itu, 90 persen diantaranya dijual ke Malaysia dalam bentuk buah kering atau green bean melalui perdagangan lintas batas. Hanya 10 persen yang dijual dalam negeri dan diolah di Meranti.

Sedangkan, setiap kilogram green bean yang dijual ke Malaysia, dihargai sekitar Rp 40 ribu. Jika dijual di dalam negeri, karena Liberika Meranti sudah mengantongi Hak Paten melalui Indikasi Geografis (IG), harganya mulai Rp 100 ribu.

Pemilihan Malaysia sebagai tujuan penjualan kopi ini bukan tanpa sebab. Selain waktu pengiriman hanya 2 jam dibandingkan ke Pekanbaru membutuhkan waktu setengah hari, permintaannya cenderung stabil dan sudah berlangsung sejak tahun 1980.

"Yang kita inginkan sekarang dalah bagaimana Liberika yang kita olah di sini hingga menjadi bubuk, mendapatkan tempat di pasar Indonesia. Sehingga, perekonomian petani ikut meningkat karena adanya perbandingan harga tadi," harap Hakim.

Harapan itu senada dengan laporan International Coffee Organization (ICO) yang menyebut Indonesia menjadi negara dengan konsumsi kopi terbesar kelima di dunia. Jumlahnya sebanyak 5 juta kantong berukuran 60 kilogram pada tahun 2021.

Promosi itu bisa saja dilakukan menggunakan media sosial. Begitu pula dengan penjualan melalui e-commerce.

Akan tetapi, jaringan internet belum sepenuhnya maksimal di Kabupaten termuda di Bumi Lancang Kuning ini.

"Promosi digital, paling youtuber pernah berkunjung ke sini. Sementara promosi digital mandiri dari warga, susah dilakukan. Karena jaringan internet di sini tidak stabil. Bahkan untuk menelepon saja, putus-putus. Mungkin karena ombak di sini terlalu tinggi, jadi susah sinyalnya menembus," kelakar Hakim.

Meski dalam keterbatasan itu, semangat pengolahan Kopi Liberika Meranti di sana patut diapresiasi.

Bagaimana tidak, jumlah lahan kopi Liberika Meranti selang tiga tahun terakhir meningkat. Kemudian, terdapat pembibitan kopi yang sudah disertifikasi dengan jumlah setiap tahunnya mencapai 2 juta bibit.

"Kita juga ada produk premium, Luwak Liberika. Memanfaatkan musang yang ada di alam, rata-rata kita memproduksinya sebanyak 50 kilogram setiap bulannya. Tapi kalau ada order, kami bisa menyediakan 500 kilogram perbulan dengan harga di gudang Rp 1,5 juta," tuntas Dia.

Berdasarkan pemaparan di atas, pemerataan akses internet di Kepulauan Meranti harus segera diwujudkan. Supaya Kopi Liberika Meranti dikenal luas oleh masyarakat dan mendapatkan pangsa pasarnya.

Lebih penting, literasi digital warga Meranti bisa terbangun baik sehingga mampu melahirkan ekosistem ekonomi digital di wilayah mereka.

Pasalnya, perkebunan kopi menjadi salah satu sumber perekonomian bagi masyarakat di sana. Badan Pusat Statistik dalam  laporan yang bertajuk Kabupaten Kepulauan Meranti Dalam Angka 2022, menyebut tanaman kopi ini menjadi salah satu unggulan warga selain Sagu, Kelapa, Karet dan Pinang. Tercatat luas lahan kopi mencapai 2,24 ribu hektare yang memproduksi hasil 1,91 ribu ton kopi.

BIJI KOPI LIBERIKA - Kopi Liberika Meranti punya cita rasa khas serta cerita unik. Kopi ini memiliki potensi bisnis menjanjikan kedepannya jika digarap secara serius..
BIJI KOPI LIBERIKA - Kopi Liberika Meranti punya cita rasa khas serta cerita unik. Kopi ini memiliki potensi bisnis menjanjikan kedepannya jika digarap secara serius.. (firmaulisihaloho/tribunpekanbaru.com)

Pakai Satelit, BAKTI Kominfo Gesa Pemerataan Akses Internet

SATRIA-1 telah diluncurkan menggunakan roket Falcon 9 milik SpaceX dari Cape Canaveral, Florida, Amerika Serikat, pada 18 Juni 2023 lalu.

Satelit terbesar di Asia milik pemerintah Indonesia ini, akan memperkuat jaringan internet dan layanan digital di 150 ribu titik terutama di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).

"Saya juga buka kepada penduduk di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) untuk menyampaikan usulannya, jadi dari bottom to up. Kalau kemarin top to down itu banyak yang salah," kata Ketua Satuan Tugas BAKTI Kominfo, Sarwoto Atmosutarno melansir Antara, Senin (27/11/2023).

Pengajuan itu bisa langsung dilakukan dengan berkirim surat ke Kementerian Kominfo untuk nantinya bisa ditindaklanjuti oleh BAKTI Kominfo.

Sarwoto melanjutkan setelah ditelusuri ulang terkait penentuan titik untuk pembangunan infrastruktur BTS 4G, ternyata ditemui banyak titik yang tidak tepat untuk dibangun BTS 4G.

Beberapa temuan itu di antaranya kendala geografis. Bahkan ditemukan juga daerah yang tidak memiliki pengguna internet sehingga sebenarnya tidak tepat untuk membangun infrastruktur berupa BTS 4G.

"Sebagai solusi, kita merekomendasikan untuk sebagian area kahar itu dapat dilayani dengan layanan dari SATRIA-1 yang diproyeksikan mulai beroperasi di akhir Desember 2023," tandasnya.

(Tribunpekanbaru.com/Firmauli Sihaloho)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved