Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

Banjir di Sumbar

Kisah Warni Kala Banjir Bandang Sumbar, Pasrah Nyawa Melayang Saat Air Sudah Sepinggang

Saat bencana banjir bandang Sumbar, Warni warga Kanagarian Bukik Batabuah, Agam, dan suaminya hanya bisa memeluk anak mereka.

Penulis: Alex | Editor: Ariestia
Tribun Pekanbaru/Alexander
Warni, warga selamat korban banjir bandang lahar dingin merapi Simpang Bukik, Kenagarian Bukik Batabuah, Kecamatan Canduang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. 

TRIBUNPEKANBARU.COM, PEKANBARU - Saat bencana banjir bandang Sumbar, lahar dingin dari Gunung Marapi melanda di Simpang Bukik, Kanagarian Bukik Batabuah, Kecamatan Canduang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat pada Sabtu (11/5/2024) lalu, Warni dan suaminya, Fauzi hanya bisa menggendong dan memeluk anak mereka yang berusia 7 tahun di atas teras rumah.

Mereka tidak bisa kemana-mana karena air sekeliling sudah naik.

Bahkan di tempat mereka berdiri di teras rumah, air bercampur lumpur sudah sepinggang orang dewasa.

Mereka mengira, saat itu adalah detik-detik kepergian mereka meninggalkan dunia, sehingga mereka berdoa dan memohon ampun menjelang ajal menjemput.

"Kami mengira malam itu adalah malam terakhir bagi kami di dunia. Karena banjir bandang mengalir deras, apalagi rumah kami tidak jauh dari sungai yang meluap. Air sudah sepinggang, mau lari sudah tidak mungkin. Akhirnya kami pasrahkan diri pada Illahi. Detik-detik akan dipanggil, kami memohon ampun kepada Allah dan terus mengucap. Tapi Allah berkata lain, material batu besar atau pun kayu besar tidak ada yang mengarah kepada kami, dan Alhamdulillah kami selamat," kata Warni kepada Tribun, Jumat (17/5/2024).

Baca juga: FOTO: Kondisi Kabupaten Tanah Datar Usai Diterjang Galodo Sumbar

Baca juga: Kisah Keluarga Hafiz Quran Selamat dari Banjir Bandang di Sumbar, Galodo Seakan Terbelah Lewat Rumah

Baca juga: Sebuah Pertanda, Puisi Bocah SD Korban Banjir Bandang di Sumbar Ini Dibuat 3 Hari Sebelum Kejadian

Diakui Warni, awalnya ia mengira banjir bandang yang akan datang tersebut masih sama seperti sebelum lebaran Idul Fitri 1445H lalu, di mana sepekan sebelum lebaran hanya air dan lumpur yang turun dan tidak terlalu dalam sehingga ia merasa cukup dengan menyelamatkan diri di rumah.

Saat orang sibuk berlari menyelamatkan diri menjauh dari pemukiman tersebut, ia tidak ikut berlari dan berdiam diri di sana.

Namun setelah beberapa saat saja, air naik dengan cepat, ditambah dengan berbagai material besar yang ikut turun seperti batu dan kayu-kayu besar.

Di situlah ia terperanjat, tapi saat ingin menyelamatkan diri menjauh dari sana air sudah langsung tinggi.

"Sehingga tidak ada tempat lain lagi selain berdiri di teras rumah kami. Karena mau ke belakang air sudah jauh lebih tinggi, samping kiri demikian juga, samping kanan apalagi, bagian depan sekeliling kami sudah penuh oleh air dari banjir bandang ujarnya

Anak Warni, Hanafi yang berusia 7 tahun, hingga saat ini masih merasakan trauma yang amat mendalam atas kejadian tersebut.

Bahkan setiap terdengar bunyi motor maupun mesin mobil, ia terperanjat lalu bilang,

"Bu air besar datang bu, air besar datang," ujarnya sambil memeluk ibunya.

Dengan perlahan, Warni menyampaikan kalau itu bukan air atau banjir, tapi bunyi mesin motor.

Rumah Warni tinggal bagian ruang tamu saja yang bersisa, sedangkan bagian lainnya sudah habis diterjang oleh banjir bandang yang terjadi pada malam tersebut.

Demikian juga kedai nasi gorengnya, yang bernama Pandu Baru yang ada di Simpang Bukit Kenagarian Bukik Batabuah tersebut, juga disapu banjir bandang.

"Saat air susut, kami lihat kondisi rumah ternyata sudah habis, kedai juga sudah habis, banjir bandang tinggal ruang tamu saja yang tersisa, tapi Alhamdulillah kami semua selamat," tuturnya. (Tribunpekanbaru.com/Alexander)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved