Ronald Tannur Bebas

Pengacara Dini Sera Bongkar Keanehan Erintuah Damanik saat Sidang: Hakim Sering Memutus atau Menyela

Dari rekontruksi yang diikuti ia berkeyakinan sebenarnya terdakwa sama sekali tidak ada niatan untuk mengantar Dini Sera Afrianti.

IST
Hakim Erintuah Manik (kanan) memvonis bebas Ronald Tannur, terdakwa yang membunuh pacarnya sendiri. 

TRIBUNPEKANBARU.COM - Hingga kini, penyelidikan atas vonis Ronald Tannur Bebas menjadi sorotan publik

Keputusan hakim dari Pengadilan Negeri Surabaya itu dinilai janggal.

Bahkan, kemudian terungkap keanehan para hakim sudah dirasakan oleh kuasa hukum korban, M. Nairul Amani SH.

M. Nairul Amani SH membeberkan bagaimana proses sidan tersebut saat hadir  dalam TalksShow Tribun Series di channel youtube Harian Surya pada Jumat (2/8/2024). 

Diungkapkan Nairul, selama sidang, ia merasa majelis hakim menunjukkan sikap yang sangat tendesius pada pihak korban. Menurutnya, hakim sering kali menyela saat saksi memberikan keterangan. 

Pengacara berkacamata itu menjelaskan keanehan tidak hanya dalam hal memperlakukan saksi.

Seorang ahli yang notabenenya bukan saksi, namun dihadirkan di persidangan untuk diminta menjelaskan temuan - temuan berdasarkan keahlian, malah ditanya soal kronologi.

"Contohnya, sidang dengan agenda mendengarkan keterangan dari ahli forensik. Pada saat itu, ahli menerangkan hasil visum et repertum, tetapi hakim sering memutus atau menyela saat ahli memberikan keterangan," ucapnya ketika ditanya momen sidang yang paling diingat.

"Pertanyaannya kira-kira begini: bagaimana ahli tahu bahwa yang membunuh korban adalah terdakwa (Gregorius Ronald Tannur)? Hal ini membuat kami bertanya-tanya mengapa hakim berpikir demikian, padahal ahli hanya memberikan penjelasan berdasarkan temuan-temuan sesuai keahliannya (ilmu forensik). Kan lucu sekali," ucapnya.

Pengacara yang tergabung dalam  Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Tabur Pari itu merinci hal yang membuatnya sangat-sangat tidak habis pikir.

Ketika itu, majelis hakim menjelaskan sebenarnya Gregorius Ronald Tannur menolong karena mengantarkan korban ke rumah sakit saat dalam kondisi kritis.

Dari rekontruksi yang diikuti ia berkeyakinan sebenarnya terdakwa sama sekali tidak ada niatan untuk mengantar Dini Sera Afrianti.

Berdasarkan gelar perkara Dini Sera Afrianti dan Gregorius Ronald Tannur yang merupakan sepasang kekasih itu ribut sejak keluar dari room karaoke Blackhole KTV.

Di lift menuju basement, terdakwa mencekik leher korban dan memukul kepala korban dengan botol tequila. Kekerasan berlanjut hingga basement.

Di basement, Dini Sera Afrianti dalam keadaan lemas dan terpengaruh alkohol duduk di luar sisi kiri mobil Gregorius Ronald Tannur.

Dini sempat duduk bersandar di pintu sebelah kiri mobil Gregorius Ronald Tannur. Tanpa menghiraukan kekasihnya, Gregorius  Ronald Tannur lalu masuk dan menjalankan mobil. Walhasil, sebagian tubuh Dini terlindas dan terseret sejauh 5 meter.

"Visumnya menunjukkan banyak kerobekan di hati yang menyebabkan pendarahan hebat, sehingga itu yang menyebabkan kematian. Kerobekan majemuk itu akibat kekerasan dari benda tumpul, tapi kenapa hal ini tidak dimasukkan dalam pertimbangan?," ucapnya.

Pertanyaan bagaimana terdakwa bisa lepas  berputar-putar di kepalanya.

Dia melihat betul saat rekontruksi Gregorius Ronald Tannur mengakui menganiaya korban hingga mereka ulang 60 adegan. Namun, semua itu dibantah terdakwa saat diadili Pengadilan Negeri Surabaya.

Menurutnya, kejanggalan tidak hanya terasa di dalam ruang persidangan. Saat kasusnya masih bergulir di ranah kepolisian sudah ada pihak yang berusaha mengaburkan penyebab kematian.

Polisi sempat menyebutkan Dini sakit lambung. Lalu ketika pihaknya mengusulkan agar jasad dilakukan autopsi namun malah ditolak.

"Tim pengacara itu sampai patungan untuk bayar autopsi. Padahal, sepanjang yang saya ketahui visum dalam perkara  pidana ditanggung negara," terangnya.

Prof. Dr. H. Sunarno Edy Wibowo, Guru Besar FH ASEAN University International menimpali, bahwa hakim memutus perkara berdasarkan keyakinan. Namun, keyakinan harus diimbangi dengan aturan.

Apa yang disampaikan jaksa, saksi, ahli, dan hasil autopsi seharusnya dibahas dalam sidang.

Terlebih lagi, ketika ahli memberikan keterangan tidak boleh di harus didengarkan dengan seksama tidak boleh disela.

"Meskipun terdakwa ada niat untuk mengantar ke rumah sakit, seharusnya hal ini tidak bisa disimpulkan sebagai penghapusan perbuatannya. Asas hukum tidak bisa begitu saja terhapus," tegasnya.

Elok Dwi Kadja SH MH Cla. selaku Humas DPC Peradi Surabaya secara jujur mengaku heran dengan sederet bukti yang ada namun putusan hakim yang menyatakan korban tewas karena alkohol.

Namun, dia berprasangka bahwa hakim sudah memutus kasus ini sesuai keyakinan, sebab  ada dalil yang mengatakan lebih baik membebaskan 1.000 orang yang bersalah daripada menghukum 1 orang yang tidak bersalah. 

"Barangkali asas itu yang digunakan hakim," ucapnya.

Saat ditanya tentang asumsi apakah sebuah perkara bisa dibeli, ia meyakinkan  selama mendalami keilmuan hukum tidak ada istilah tersebut. Namun, saat disinggung soal reputasi hukum yang tidak bagus-bagus amat, ia kemudian menjelaskan secara diplomatis.

"Penegak hukum di Indonesia ada empat; polisi, jaksa, hakim, dan pengacara. Kalau bilang enggak ada (istilah jual beli hukum) itu kok munafik sekali, tapi kalau istilah anak zaman sekarang itu YTTA atau Yang Tahu-Tahu Aja," ujarnya.

Pengacara sekaligus konsulat perkawinan itu menjelaskan lawyer adalah profesi yang mulia. Dalam beracara (mengawal klien) diatur dalam Undang-Undang 18 tahun 2003, tentang advokat. Di dalam Pasal 1 ayat 1 pada ketentuan umum dijelaskan advokat adalah orang yang memberikan jasa hukum di dalam maupun di luar pengadilan.

Tugas advokat lebih dirincikan dalam Pasal 6. Semuanya berkaitan dengan kode etik. Intinya dalam kode etik itu pengacara boleh melakukan apapun untuk memperjuangkan hak-hak klien, namun harus sesuai perundang-undangan.

"Sekalipun seorang terdakwa tetap memiliki hak-hak yang dilindungi undang-undang. Itu yang kami perjuangkan. Jadi kalau membela di sisi terdakwa bukan membela perbuatannya, tapi hak-haknya," tutupnya.

Erintuah Damanik Dilaporkan ke KY Oleh Eks Puteri Indonesia

Setelah memvonis bebas Ronald Tannur, hakim Erintuah Damanik dilaporkan ke Komisi Yudisial (KY) oleh keluarga Dini Sera. 

Belum juga laporan diselesaikan KY, laporan serupa dilayangkan kembali ke Erintuah Damanik.

Erintuah Damanik dilaporkan atas perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) oleh Fannie Lauren Christie, mantan Puteri Indonesia Persahabatan 2002 sekaligus direktur PT Indho Bali Jaya.

Fannie, yang merupakan wanita asal Bali itu sedang menghadapi masalah dengan termohon dalam PKPU yang berkaitan dengan aset Double View Mansions di Jalan Babadan, Kelurahan Desa Perenan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali.

Kasus ini bermula ketika Fannie Lauren Christie dan suaminya, Valerio Tocci, bersama tiga warga asing—Luca Simioni, Arturo Barone, dan Thomas Gerhard Huber—kerjasama dalam bisnis properti apartemen.

Namun, ketika Pandemi Covid-19 terjadi pecah kongsi.

Konflik sengketa mereka bergulir di Pengadilan Negeri Denpasar.

Putusan Pengadilan Negeri Denpasar menetapkan  19 unit apartemen menjadi milik para warga asing dengan estimasi nilai USD 7 juta hingga tahun 2056.

Lantaran, apartemen itu berdiri di atas lahan yang sewa perlawanan putusan dari pihak pemilik tanah datang dari pihak pemilik tanah.

Tiga WNA, kemudian melalui kuasa hukumnya mengajukan permohonan PKPU PT Indho Bali Jaya lewat Pengadilan Niaga pada Pengadilan Niaga Surabaya.

Disebutkan PT Indho Bali Jaya memiliki utang sebesar 7 juta USD atau setara dengan Rp113 miliar. Fannie kecewa dengan PKPU tersebut, sehingga dia melaporkan hakim pemutus ke KY.

"Perkara kami ini bukan perkara sederhana. Namun, eksepsi kami tidak dipertimbangkan dengan baik. Setiap kali kami memberikan saksi, keterangannya selalu dipotong. Begitu pula dengan kuasa hukum saya yang juga mengalami hal serupa," keluhnya.

Nomor laporan: 0260/IP/LM.01/VII/2024. Fannie menyebutkan bahwa KY akan melakukan klarifikasi terhadap hakim. Setidaknya ada dua hakim lain Sutrisno dan Djuanto turut menjadi terlapor. 

Sementara itu, Humas Pengadilan Negeri Surabaya, Alex Adam, saat dikonfirmasi menanyakan mengenai perkembangan laporan.

Ia  menyatakan bahwa hingga saat ini belum ada surat masuk dari KY terkait masalah tersebut.

(TRIBUNPEKANBARU.COM)

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved