Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

Berita Viral

Kisah Septia Kurnia Rini Pekerja Migran Indonesia, 3 Tahun di Singapura, Pulang Kondisinya Lumpuh

Septia tak kuasa dengan kondisi fisiknya. Jelas ia tersiksa dan sangat membutuhkan ukuran tangan atas apa yang ia derita

Editor: Budi Rahmat
Tangkap Layar / kompas.com
Kisah Pekerja Migran yang pulang dari Singapura dalam kondisi lumpuh 

TRIBUNPEKANBARU.COM - Kisah pilu Septia Kurnia Rini pekerja migran Indonesia (PMI) ilegal yang pulang dalam kondisi lumpuh ke Indonesia.

Septia sampai di rumahnya di Komplek Taman Gading. Ia sebelumnya telah bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) di Singapura sejak tahun 2021.

Namun, kondisi kehidupan Septia berubah kala ia mengalaminya sakit bisul yang berujung pada kondisi tubuhnya yang lebih mengerikan.

Baca juga: Viral Pengungsi Rohingya di Pekanbaru Bergerombol Maksa Minta Rambutan, Pemilik: Astagfirullah

Bahkan kini Septia hanya berbaring ditempat tidur sembari berharap ada perhatian dari pemerintah pada dirinya.

Septia tinggal di sebuah rumah sederhana di Komplek Taman Gading, Jember. 

Dan kini rumah tersebut  terlihat lebih ramai dari biasanya.  Septia  hanya bisa terduduk lemah di atas ranjang, menjadi pusat perhatian para tamu.

Perempuan 38 tahun yang kini mengalami kelumpuhan. Kamar tidurnya yang berukuran 3x3 meter kian terasa sempit ketika Menteri P2MI Abdul Kadir Karding dan rombongan datang menjenguknya, Jumat (20/12/2024).

Kaki dan jari jemari Septia terlihat berwarna hitam pekat, sulit digerakkan, menunjukkan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan kesehatan perempuan ini.

Baca juga: Salat Jumat Gibran di Mesjid Baiturrahman, Semarang Viral di Medsos, Ternyata Jemaah bukan Diusir

Penyebab pasti dari kondisi yang dialami Septia hingga kini masih menjadi misteri. Namun, dugaan malapraktik saat menjalani operasi di Singapura terus membayanginya.

Septia adalah seorang pekerja migran Indonesia (PMI) ilegal yang telah bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) di Singapura sejak tahun 2021.

Demi memenuhi kebutuhan keluarga, ia meninggalkan kedua anaknya di Jember. "Awalnya saya bekerja dengan kontrak selama dua tahun, lalu tahun ketiga perpanjang kontrak kedua," ungkap dia mengawali kisahnya.

Dugaan Malapraktik 

Penderitaan ini berawal ketika Septia merasakan ada bisul di bagian paha, tak lama setelah dia memperpanjang kontraknya.

Bisul yang dideritanya ini dirasa berbeda, karena berwarna merah tanpa mata dan nyeri.

"Selama empat hari masih terasa nyeri, saya gak tahan, akhirnya saya ngasi tau majikan dan minta obat pereda nyeri," kata dia.

Namun, meski telah mengonsumsi obat, bisul tersebut tidak kunjung sembuh. Akhirnya, Septia disarankan untuk pergi ke rumah sakit di Singapura.

Singkatnya, dia lalu menjalani operasi. Namun setelah itu, Septia mengalami koma selama sembilan hari.

Ketika ia tersadar, kondisi tangan dan kakinya sungguh mengejutkan, berwarna hitam pekat, diikat dan dibungkus kain.

"Saya juga tidak tau kenapa kaki saya sampai diikat hingga tidak bisa bergerak," ujar dia.

Selama dirawat, tidak ada satu pun petugas dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) yang menjenguknya.

Terpisah jauh dari keluarga dan dalam keadaan lemah, Septia mengaku merasa amat terasing.

Setelah 13 hari, ia dipulangkan ke Indonesia oleh majikannya, namun tidak ke Jember, melainkan ke rumah sakit di Batam menggunakan kapal ferry.

"Saya istilah kata dibuang ke Batam. Baju, HP, dan gelang saya diambil majikan, saya tidak bawa apa-apa," ungkap dia sedih.

Di Batam, ia dirawat selama seminggu dengan biaya ditanggung sang majikan.

Ironisnya, majikannya sempat meminta uang kepada keluarga Septia untuk menutupi biaya perawatan di Singapura, tetapi Septia menolak.

"Saya merasa seharusnya majikan bertanggung jawab dengan kondisi saya," cetus dia.

Inilah yang Diharapkan Septia

Akhirnya, pada bulan Oktober 2024, Septia dijemput keluarganya dan kembali ke Jember. Meski sudah di rumah, kondisi kesehatan Septia tak kunjung membaik.

Ia menggambarkan kakinya yang terasa keras seperti kayu yang terbakar, kaku, dan tak bisa digerakkan.

"Mungkin ini karena malapraktik, setiap saat ini terasa nyeri. Saya tidak bisa merentangkan jari," tutur dia.

Septia yang kini masih berjuang melawan rasa nyeri berharap mendapatkan perhatian dari Pemerintah.

Ia menyampaikan kisahnya kepada Abdul Kadir Karding dan berharap ada solusi untuk mengurangi beban hidupnya.

Kisah Septia adalah salah satu dari banyak cerita pahit yang dialami oleh PMI ilegal di luar negeri.

Mendengar cerita ini, Abdul Kadir Karding menjanjikan akan memberikan dukungan lewat kerja sama dengan Pemerintah Daerah. Namun dia tak merinci dukungan seperti apa yang akan diberikan nantinya. 

Kisah ini tentu jadi perhatian kita semua. Sisi kemanusiaan untuk bisa memberikan bantuan bagi Septia. (*)

( Tribunpekanbaru.com )

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved