Perjuangan dari Desa yang Tak Kenal Menyerah, Telaga Air Merah hingga Mangrove Sungai Bersejarah
Telaga Air Merah dulunya waduk PDAM yang terbengkalai. Ditutupi eceng gondok, penuh lumpur, dan hampir tak terlihat.
TRIBUNPEKANBARU.COM - “Kalau ingin sukses, yang paling utama adalah fokus pada program. Setelah itu kerja keras, tidak kenal menyerah, dan melibatkan pihak ketiga. Mereka yang sudah merasakan jerih payah, bahkan berkeringat hingga berdarah-darah, akan memiliki rasa kepemilikan dan merawat program yang ada.”
Penegasan itu disampaikan secara bersamaan oleh Media Relation Officer PT Imbang Tata Alam (ITA), M Hanshardi bersama CSR Coordinator, Arip Hidayatulloh, saat mendampingi puluhan wartawan saat mengunjungi mitra binaan Program CSR PT ITA. Kegiatan yang ditaja selama 3 hari, 16-18 September 2025, memiliki kesan yang sangat dalam.
Selama tiga hari, kami menelusuri tiga titik berbeda di Riau: sebuah telaga berair merah di tengah desa, sebuah koperasi kecil yang menjelma besar, dan sebuah hutan mangrove yang menjadi sekolah alam.
Tiga lokasi yang berbeda, namun punya satu benang merah: semangat masyarakat yang tak pernah padam.
Telaga Air Merah, Kisah dari Luka dan Gotong Royong
Pagi yang cerah di 16 September 2025. Dari Selatpanjang, deru sepeda motor mengiringi langkah kami. Jalan beraspal sepanjang 17 kilometer di Tebingtinggi Barat terasa lengang, hanya sesekali dilewati pedagang keliling. Udara masih basah oleh embun, dengan aroma gambut yang khas menusuk hidung.
Sesampainya di Dusun Tanah Merah, Desa Tanjung, kami berhenti di sebuah telaga mungil. Airnya berwarna merah pekat, seperti teh tubruk yang terlalu lama diseduh.
Di tepinya berdiri pohon beringin tua, rimbun dengan akar menjuntai, seolah sedang memayungi pondok-pondok kayu sederhana di sekitarnya.
“Bayangkan, dulu telaga ini tak lebih dari semak belukar,” kata Selamat Riyadi, Ketua BUMDes Tanjung Mandiri, sambil menunjuk ke arah air.
Telaga Air Merah dulunya waduk PDAM yang terbengkalai. Ditutupi eceng gondok, penuh lumpur, dan hampir tak terlihat. Tahun 2018, pemuda desa berinisiatif membersihkan. Sabit, parang, dan cangkul jadi senjata.
“Goresan sabit di badan kami jadi bukti. Kami gotong royong tanpa bayaran, cuma bekal roti kering dan air putih dari rumah,” kenang Selamat.
Awalnya banyak yang meremehkan. Tapi sedikit demi sedikit, telaga mulai terlihat wujudnya. Tahun 2020, telaga dibuka untuk umum. Pandemi membuatnya sepi, tetapi warga tak menyerah. Kini, Telaga Air Merah kembali hidup.
Setiap akhir pekan, wisatawan datang, dan desa memperoleh pemasukan hingga puluhan juta rupiah per tahun. Ditambah dukungan pendampingan dari PT ITA, makin memacu semangat pengelola.
Di tepi telaga, suara tawa anak-anak bercampur dengan riak air yang pelan. Seolah mengingatkan: dari luka dan lelah, lahir kebanggaan baru.
KJUMS Teluk Belitung, Dari Patungan ke Pilar Ekonomi
Esoknya, kami beranjak dari Pelabuhan Selatpanjang ke Desa Teluk Belitung. Udara terasa hangat, dengan aroma asin laut yang sesekali terbawa angin. Di desa ini berdiri Koperasi Jasa Usaha Mandiri Syariah (KJUMS), lembaga yang kini menopang ekonomi warga.
Samaun, S.Sos, Ketua KJUMS, menuturkan kisah awalnya. Tahun 2007, masyarakat kesulitan akses modal. Akhirnya, 24 orang sepakat patungan. Masing-masing menyetor Rp 1 juta. Jadilah modal awal Rp 24 juta.
“Awal tahun malah rugi Rp 700 ribu. Jumlah yang kecil, tapi bikin kaget. Untung kami tidak menyerah,” ujar Samaun.
Bantuan datang dari PT Kondur Riau Petroleum yang bertransformasi menjadi kini PT ITA. Perusahaan membantu legalitas, kantor, hingga menghadirkan pendamping profesional selama tujuh tahun. Hasilnya luar biasa.
Dari pinjaman awal Rp 400 ribu, kini koperasi mampu menyalurkan pembiayaan hingga Rp 300 juta. Tabungan masyarakat menembus Rp 1,6 miliar, aset hampir Rp 5 miliar.
“Kalau pinjam, orang ke bank. Tapi kalau nabung, lebih enak di sini. Tidak ada potongan, semuanya jelas,” kata Jasmawarti, bendahara koperasi, sambil tersenyum.
Di sebuah ruangan sederhana, kami melihat ibu-ibu antre menyetor uang tabungan. Wajah mereka tampak lega, seolah yakin uangnya benar-benar aman. Di luar kantor, seorang anak kecil berlari-lari sambil menggenggam buku tabungan milik ibunya. Koperasi ini bukan sekadar lembaga keuangan. Ia adalah bagian dari denyut kehidupan desa.
Mangrove Sungai Bersejarah, Hutan yang Menjadi Sekolah
Kamis, 18 September 2025. Perjalanan berlanjut ke Kayuara Permai, Sungai Apit, Kabupaten Siak. Dari Pelabuhan Bunsur, mobil membawa kami melewati jalan tanah berdebu, kanan-kiri dipenuhi pohon sagu. Tak lama, kami tiba di sebuah kawasan hijau rimbun: Mangrove Sungai Bersejarah (MSB).
Suasana terasa teduh. 27 jenis mangrove tumbuh di sini, dari bakau merah hingga nyirih. Burung-burung kecil beterbangan, sementara angin membuat daun-daun berdesir, menghasilkan musik alam yang menenangkan.
“Dulu di sini ada pohon beringin besar sekali, akarnya sampai melintang di sungai. Dari situlah nama Sungai Bersejarah muncul,” kata Jumadi Afrizan, Ketua Laskar Mandiri MSB.
Sejak 2019, pemuda desa membangun jalur bambu sepanjang 250 meter. Swadaya, gotong royong, sedikit demi sedikit. Pandemi sempat membuat semua berhenti. Jembatan lapuk, pengunjung sepi. Tapi bersama PT ITA, mereka bangkit lagi. Jalur kayu dibangun ulang, kokoh di antara akar mangrove.
Kini, MSB menjadi lebih dari sekadar tempat wisata. Setiap Ahad pagi, lebih dari 90 anak berkumpul belajar di sekolah alam. Mereka belajar membaca, berhitung, hingga mengenal ekosistem mangrove.
Ngah Khaidir, seorang lulusan Ilmu Lingkungan Universitas Riau, menjadi pengajar utama. “Saya ingin anak-anak paham sejak dini pentingnya menjaga hutan ini. Supaya kelak, merekalah yang akan melanjutkan,” katanya.
Tak hanya anak-anak, kawasan ini kini jadi laboratorium hidup. Puluhan mahasiswa, peneliti, hingga mahasiswa S3 datang meneliti. Dari skripsi hingga disertasi lahir dari akar-akar bakau ini.
Benang Merah: Dari Peluh ke Inspirasi
Tiga hari perjalanan, tiga kisah berbeda, tapi semuanya menyatu dalam satu benang merah: perubahan lahir dari kerja keras dan kebersamaan.
Dari Telaga Air Merah yang disulap dari semak belukar, KJUMS Teluk Belitung yang bertahan dari rugi hingga jadi lembaga keuangan desa, hingga Mangrove Sungai Bersejarah yang bangkit dan menjadi sekolah alam -- semuanya lahir dari tangan-tangan masyarakat yang tak kenal lelah.
Di akhir perjalanan, Ketua PWI Kabupaten Kepulauan Meranti, Syafrizal, menutup dengan pernyataan yang menegaskan makna perjalanan ini.
“Kalau sebelumnya kami hanya mendengar cerita dari mulut ke mulut, kali ini kami melihat langsung. Saya kagum dengan perjuangan masyarakat, dan salut kepada PT ITA yang bertahun-tahun mendampingi tanpa jenuh. Cerita-cerita seperti ini adalah inspirasi, bukan hanya untuk desa, tapi untuk kita semua.”
Kalimat itu menjadi penutup yang sempurna. Seperti simpul yang mengikat semua kisah, menegaskan bahwa di balik setiap tetes peluh masyarakat desa, ada cahaya harapan yang bisa menginspirasi siapa saja.
| PLN Bersama Warga Rehabilitasi Mangrove Lindungi Pesisir Utara Jateng dari Banjir Rob |
|
|---|
| Komisi V DPRD Riau Kawal Proses Belajar dan Pembangunan Gedung SMAN 1 Tebing Tinggi yang Terbakar |
|
|---|
| Penemuan Mayat di Area Kuburan di Selatpanjang Kepulauan Meranti, Ini Identitasnya |
|
|---|
| Ketika Air Laut Merampas Kebun Kelapa Warga Kuala Selat, Masa Depan Pun Terkoyak |
|
|---|
| Nestapa Kuala Selat: 1.800 Hektar Kebun Kelapa Mati, Warga Beralih Profesi dan Andalkan Mangrove |
|
|---|
