Tim melakukan analisis "top-down" dan "bottom-up".
Baca: Viral! Wisatawan Ini Makan Nasi Goreng di Pinggir Jalan Yogyakarta Dipalak Bayar 88 Ribu
Baca: Sosok Tak Terduga ini Hadir di Pernikahan Putri Jokowi, Jadi Perhatian di Pesawat, Netizen: Salut!
Pendekatan “top-down”, Linguistic Enquiry dan Word Count (LIWC), menggunakan pengelompokan yang dipilih oleh peneliti, dan berguna dalam memahami data dari segi teori.
Pendekatan "bottom-up," atau Differential Language Analysis (DLA) memungkinkan sebuah algoritma untuk mengelompokkan kata-kata dan dapat memberikan "pandangan transparan" yang mendalam ke dalam bahasa.
Hasil penelitian mengungkapkan, orang-orang religius menggunakan lebih banyak kata-kata religius, seperti "iblis," "berkat," dan "berdoa" daripada orang-orang nonreligius.
Mereka juga menunjukkan penggunaan kata-kata positif yang lebih tinggi, seperti "cinta”, serta kata-kata keluarga dan sosial, seperti "ibu" dan "kita".
Di sisi lain, individu nonreligius menggunakan kata-kata yang cenderung mengungkapkan kemarahan, seperti "benci”.
Mereka juga menunjukkan penggunaan kata-kata yang berhubungan dengan emosi negatif dan proses kognitif dengan frekuensi tinggi, seperti "akal sehat”.
Kata-kata lain yang sering digunakan oleh orang-orang nonreligius adalah kata-kata umpatan, mengungkit-ungkit fisik, seperti “kepala” dan “leher”, serta kata-kata yang berhubungan dengan kematian, seperti “mati”.
PERAN AGAMA
Sementara sekularisme meningkat di barat, para penulis penelitian mencatat bahwa lebih dari 80% populasi dunia mengidentifikasi beberapa jenis agama, yang nampaknya kini menjadi sebuah tren di masyarakat.
"Agama dikaitkan dengan kesejahteraan dan kehidupan yang lebih lama, tetapi hal itu juga dapat dikaitkan dengan tingkat obesitas dan rasisme yang lebih tinggi,” tutur para peneliti.
Bagi mereka, memahami penggunaan bahasa adalah bagian dari gambaran yang lebih besar tentang pemahaman bagaimana afiliasi keagamaan berkaitan dengan kehidupan selanjutnya.
Yaden dan rekan-rekannya tidak mengetahui apakah perilaku linguistik yang berbeda antara orang-orang religius dan nonreligius mencerminkan keadaan psikologis orang-orang dalam kelompok tersebut.