Sebagaimana diketahui terang Afred, bahwa rasio penerimaan pajak Indonesia saat ini termasuk rendah, yaitu kurang dari 12 persen, lebih rendah dari negara ASEAN lain seperti Singapura, Malaysia, Filipina, bahkan Vietnam dan Thailand yang sudah diatas 13 persen.
Idealnya menurut Bank Dunia, rasio pajak suatu negara adalah lebih dari 15 persen.
Amerika Serikat, Australia, Afrika Selatan, Brasil dan Argentina adalah contoh negara-negara yang mampu mendongkrak rasio pajaknya diatas 20 persen.
Artinya kesadaran pajak masyarakat Indonesia masih relatif rendah, ditambah dengan basis data perpajakan pun masih lemah.
"Nah, PMK 210 ini jelas merupakan langkah proaktif pemerintah untuk mendulang pendapatan pajak dari transaksi online mengingat potensi volume perdagangan online di tahun 2020 diprediksi tembus ke US$ 130 miliar. Angka ini jika dirata-ratakan dengan tarif pajak penghasilan UMKM minimal 0,5 persen saja akan memberikan potensi pajak penghasilan lebih kurang 9 triliun rupiah, ditambahkan dengan lebih kurang 189 triliun rupiah pajak pertambahan nilaiz plus pajak-pajak lain seperti pajak barang mewah," terangnya.
PMK 210 Bukan Jenis Pajak Baru, yang perlu diketahui adalah bahwa sebenarnya penerapan PMK 210 ini hanya mengatur tentang tata cara perpajakannya saja. Jadi bukan menerapkan jenis pajak yang baru.
Ini yang perlu dipahami para pedagang dan konsumen online.
Pajaknya sama saja dengan sistem konvensional, yaitu Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Pertambahan Nilai dan Penjualan Atas Barang Mewah (PPNBM).
"Pajak-pajak ini sudah diterapkan di sistem transaksi offline, nah PMK 210 ini hanya memberikan kepastian hukum dan tata caranya agar kewajiban pajak-pajak ini juga dibayarkan oleh para pedagang dalam bentuk PPh, dan konsumen online dalam bentuk PPN dan PPNBM," ujarnya. (*)