Semua kerugian itu meliputi masifnya kerja kontrak, outsourcing pada semua jenis pekerjaan, dan jam lembur yang kian eksploitatif.
Selanjutnya, menghapus hak istirahat dan cuti, tidak diwajibkannya gubernur menetapkan upah minimum kabupaten/kota, dan peran negara dalam mengawasi praktik PHK sepihak diminimalisasi.
Kemudian, berkurangnya hak pesangon, dan perusahaan semakin mudah melakukan PHK sepihak.
"Setelah membaca undang-undang nir-partisipasi tersebut, kami menemukan setidaknya delapan bentuk serangan terhadap hak-hak buruh yang dilegitimasi secara hukum," ujar Ketua Umum FBLP Jumisih dalam keterangannya kepada Kompas.com, Selasa (6/10/2020).
Sebelumnya, Presiden Jokowi menyoroti tumpang tindihnya regulasi yang menghambat investasi serta pertumbuhan lapangan pekerjaan.
Oleh karena itu, Presiden mengajak DPR untuk menyusun omnibus law, sebuah UU sapu jagat yang bisa merevisi banyak UU.
Proses pembahasan RUU ini pun terbilang cepat.
• Gara-gara Omnibus Law UU Cipta Kerja, Ada yang Mau Pindah Negara, 7 Negara Siap Menerima WNI
Hanya butuh waktu sekitar tujuh bulan bagi DPR untuk menyelesaikan pembahasan RUU yang diserahkan drafnya oleh pemerintah pada Februari lalu.
Padahal, pada saat yang sama, banyak aktivitas masyarakat yang diminta pemerintah untuk dikurangi mengingat tengah menghadapi situasi pandemi Covid-19.
Pembahasan RUU itu, khususnya terkait klaster ketenagakerjaan, sempat ditunda oleh Presiden setelah serikat buruh mengancam akan mogok nasional pada akhir April 2020.
Meski demikian, penundaan tak berlangsung lama.
Pemerintah akhirnya melanjutkan kembali pembahasannya.
Bahkan, DPR mengakui proses pembahasan memakan waktu 7x24 jam hingga menggunakan masa reses mereka.
Berpotensi Dibatalkan MK
Omnibus Law UU Cipta Kerja telah disahkan DPR pada Senin (5/10/2020).