Oleh: Rudi Fajar, mantan Presdir PT RAPP, Ketua IkA Unpad Komda Riau
SATU hal yang sampai hari ini masih bikin saya geleng-geleng kepala: Saya menulis skripsi tentang Artificial Intelligence (AI) 33 tahun lalu.
Ya, tahun 1992. Ketika internet masih belum tersedia, komputer sering hang, dan istilah AI masih sangat asing dan belum dikenal.
Tapi entah kenapa, saya begitu tertarik ingin menulis dalam skripsi saya tentang AI sebagai alat bantu dalam pemeriksaan keuangan (audit). Judulnya terdengar canggih—dan memang saat itu saya merasa akan sangat keren jika bisa menulis tentang AI.
Inspirasi saya datang dari hanya 2–3 paragraf informasi dalam buku System Management yang secara singkat menjelaskan potensi AI. Saya langsung tertarik dan tertantang.
Walau minim literatur di Indonesia, saya nekat tetap menulis. Bahkan saya pergi ke Singapura hanya untuk membeli buku-buku tentang AI demi memperkaya referensi skripsi saya.
Saya mengetik skripsi saya dengan menggunakan laptop dengan layar hitam-putih dan menyimpan file di disket—nostalgia zaman DOS!
Dalam menyusun skripsi tersebut saya menggunakan program sederhana untuk mendukung konsep saya, saya dibantu teman kos saya yang jenius dari ITB, Bayu Sudjarwo, dengan menggunakan program Clipper.
Intinya, kami ingin menunjukkan bagaimana data besar (big data) bisa membantu akuntan publik dalam memilih prosedur audit yang tepat.
Tapi… semuanya tidak berjalan mulus.
“Konsep Tidak Jelas dan Tidak Aplikatif”
Itulah kalimat yang keluar dari salah satu dosen penguji saat saya maju sidang. Skripsi saya ditolak.
Saya kecewa, tentu. Tapi saya paham, mungkin memang ide saya terlalu jauh ke depan. Maka terpaksa saya putuskan untuk mengganti istilah “Artificial Intelligence” menjadi “Microcomputer Audit Software”.
Lebih membumi. Lebih bisa diterima.
Namun saya tidak mengubah substansinya. Ide dan semangat awal tetap saya pertahankan.
Saya juga bersyukur saat itu mendapat dukungan moral dari Dr. Ilya Avianti—yang kelak menjadi Komisioner OJK. Ia mengatakan,“Ide kamu bagus. Jangan menyerah dan tetap semangat.” Itu jadi bahan bakar saya untuk tetap maju.
Akhirnya, di sidang kedua, skripsi saya diterima. Bahkan dapat nilai A.