Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

Tour de Borneo Jelajah 2335 Km

Tasman Jen dan Syaiful Menyusuri Kuching: Rasanya Masuk Peradaban Baru

Rasanya aku masuk ke peradaban baru, tidak ada lagi bunyi klakson mobil yang seolah olah memaksa aku untuk menyingkir dari jalan itu.

Editor: harismanto
Foto/Tasman jen

Mulai Kamis 13 Oktober 2016, Tasman Jen (60), salah seorang personel Trio Lisoi memulai penjelajahannya dalam Tour de Borneo atau Borneo Long Distance Cycling. Bersama Syaiful dari Komunitas Sepeda Pekanbaru Bikepacker, mereka akan melintasi rute sepanjang 2.335 km di pulau terbesar ketiga di dunia itu. Berikut catatan perjalannya yang dituliskan Tasman Jen.

DI Kuching Malaysia, kami tinggal selama dua hari. Namun, dalam dua hari itu pula aku belum menemukan si "meauuu" atau kucing di kota ini. Aku coba bertanya sana sini dan cari Google tentang nama kota ini. Ternyata nama kota Kuching sudah ada kira-kira 2 abad silam.

Bangsa Inggris-lah yang berkuasa waktu itu menamakan kota tersebut Kuching. Untung nggak dinamai "meau" city ya...hehe

Dulunya, area Sarawak, termasuk Kuching adalah wilayah Kesultanan Brunei. Akhirnya dikelola oleh petualang Inggris James Brooke, hebat juga si Brooke ini, petualang pakai sepeda juga ngga ya dia....??wkwkk

Kuching sendiri, menurut pandanganku selama dua hari ini adalah kota yang rapi dan nyaman. Infrastrukturnya pun cukup maju. Jauh dibandingan dengan kota-kota lain di wilayah Kalimantan.

Apalagi sewaktu aku keluar dari perbatasan Aruk (Indonesia) yang sulit aku ceritakan ketertinggalannya dan memasuki border Biawak (Malaysia). Rasanya aku masuk ke peradaban baru, tidak ada lagi bunyi klakson mobil yang seolah olah memaksa aku untuk menyingkir dari jalan itu.

Walaupun di luar kota tapi jalanannya tetap bersih. Setiap kira kira 500 meter di pinggir jalan yang ada rumah penduduknya disediakan tempat sampah. Jadi tidak terlihat lagi secuil sampahpun yang dibuang ke jalan kecuali. Hanya daun-daun pohon yang berserakan.

Penduduknya mayoritas beragama katolik dari suku Dayak Iban dan Tionghoa. Makin dekat ke kota Kuching, baru ditemukan suku Melayu yang identik dengan Muslim. Tegur sapa penduduknya dalam bahasa Melayu sangat ramah dan lembut. Ada perasaan aman tinggal di negeri ini.

Kami menginap di Hotel Arif dengan harga 49 ringgit per malam atau sekitar Rp 170 ribu. Lokasinya di depan masjid negara dan waterfront. Kami dapat diskon hotel 30 persen karena keistimewaan untuk para pesepeda dari Indonesia. Hebat ya!

Sahabat pesepeda Kuching memantau sebelum kedatangan kami sampai berangkat lagi. Mereka adalah pak Zick, pak Hasan, pak Mimik, Datok Kipli, dan ada juga pak Hen orang Bukittinggi yang menetap di Kuching. Mereka adalah sahabat yang luar biasa baiknya sehingga aku seperti di negeri sendiri.

Sewaktu memasuki border Aruk-Biawak kami kesulitan mendapatkan rumah makan muslim. Pengalaman lama seperti di Laos terulang kembali aku harus makam mie telor dan telor rebus sampai bosan.

Membandingkan kehidupan di perbatasan miris rasanya melihat ketimpangannya kesejahteraannya. Rasanya dengan hasil bumi kita yang sama dan ada sawitnya juga dan pertaniannya tapi kok kesejahteraannya berbeda?

Apakah itu gunanya negara supaya ada perbedaan seperti kayu-kayu di hutan. Ada yang tinggi dan ada yang pendek, ada yang dibabat dan dibakar orang dan ada yang dilindungi dan disayangi orang. Aduh pikiranku sudah ngaco...pesepeda tahu nya apa ya? Sorry, hehe.

Sangat jarang saya menjumpai polisi. Tapi warga di sana cukup tertib dalam berlalu lintas. Di Jakarta atau Pekanbaru, tiap detik saya dengar suara klakson pada jam sibuk. Tapi ya maklum juga sih karena penduduk disini cuma 10 persennya warga Jakarta.

Bersepeda di sana sama nyamannya dengan jika kita berkendara di jalan tol di luar kota. Jalan rata dan halus kayak pipinya artis. Sesekali ada juga macet, tapi tidak sehiruk pikuk penuh debu dan emosi seperti di pertigaan Senen misalnya. Hari kedua aku jalan ke waterfront, China Town dan India Town. Terlihat bangunan tua yang masih tetap dipertahankan.

Besok Insya Allah kami akan kembali ke tanah air Republik Indonesia tercinta. Melewati border Tebedu-Entikong. Banyak pembelajaran yang bisa aku ambil dari kota Kuching ini. Semoga catatan kecil ini ada manfaatnya buat penggiat travelling sepeda. Salam dari Meauuu...puuus...pus. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved