Sumatra Barat
MUI Sumbar Tolak 'Islam Nusantara' di Ranah Minang
Nama Islam sudah sempurna dan tidak perlu lagi ditambah dengan embel-embel apapun.
Laporan Kontributor Tribunpadang.com, Riki Suardi
TRIBUNPADANG.COM - Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sumbar menyatakan bahwa "Islam Nusantara" tidak dibutuhkan di Ranah Minang, karena bagi MUI Sumbar, nama Islam sudah sempurna dan tidak perlu lagi ditambah dengan embel-embel apapun.
Pernyataan menolak "Islam Nusantara" oleh MUI Sumbar di Ranah Minang itu diketahui tribunpadang.com melalui akun Facebook atas nama Buya Gusrizal Gazahar yang merupakan, Ketua Umum MUI Provinsi Sumbar.
Bahkan, pernyataan yang ditulis dalam kertas berkorps surat MUI Provinsi Sumbar itu disukai oleh 456 warganet dan telah dibagikan sebanyak 1.420 kali sejak pertama kali diupload oleh Buya Gusrizal Gazahar di akun Facebooknya.
Baca: Hari Ini Jalani Sidang, Bisakah Sule Luluhkan Hati Lina untuk Tidak Bercerai?
Terkait hal tersebut, Buya Gusrizal Gazahar yang dihubungi tribunpadang.com melalui pesan chat di aplikasi WhatsApp membenarkan bahwa MUI Provinsi Sumbar menolak "Islam Nusantara" di Ranah Minang.
"Iya, benar. Itu keputusan Rakorda bidang ukhuwwah MUI Sumbar dan MUI Kab/Kota Se-Sumbar," kata Buya Gusrizal Gazahar melalaui WhatsApp Rabu (25/7/2018) malam.
Berikut bunyi pernyataan MUI Provinsi Sunbar menolak "Islam Nusantara" di Ranah Minang:
Susunan bahasa Indonesia yang menganut konsep DM, menunjukkan pembatasan Islam dalan wilayah yang disebut " Nusantara".
Ini berakibat terjadinya pengerdilan dan penyempitan ruang lingkup Islam yang semestinya menjadi rahmat untuk seluruh alam semesta (rahmatan lil'alamiin) dan untuk seluruh umat manusia (kaaffatan linnaas)
Jika dimaksudkan dengan istilah "Islam Nusantara" keramahan, washatiyah (proporsional dan pertengahan dalam keseimbangan dan keadilan), toleransi dan lainnya, itu bukanlah karakter khusus Islam di daerah tertentu tetapi adalah diantara mumayyizat (keistimewaan) ajaran Islam yang sangat mendasar.
Karena itu, menghadirkan label "Nusantara" untuk Islam hanya mengkotak-kotak umat Islam dan memunculkan pandangan negatif umat kepada saudara-saudara muslim di wilayah lain.
Wasathiyyah, samhah, 'adil, aqly' daan kainnya yang disebukan sebagai karakter "Islam Nusantara" hanyalah sebagian dari keistimewaan Islam yang tidak bisa dipisahkan dengan keistimewaan lainnya seperti rabbaniyyah ilahiyyah, syumuliyyah dan lainnya. Mengapungkan satu-satu dari mumayyizat dengan memisahkan dari mumayyizat yang lainnya hanya akan menimbulkan kerancuan dalam memahami Islam dan mengeluarkan Islam dari kesempurnaannya.
Jika "Islam Nusantara" dipahami dengan dakwah yang mengacu kepada ajaran dan pendekatan Wali Songo di Pulau Jawa, ini akan berdampak serius kepada keutuhan bangsa, karena diberbagai daerah di dalam wilayah NKRI, ada para ulama dengan pendekatan dan ajaran yang bisa saja berbeda dengan Wali Songo. Memaksakan pendekatan dan ajaran Wali Songo ke seluruh Indonesia, berarti mengecilkan peran ulama dalam menyebarkan Islam di daerah lain yang memiliki karakteriatik dakwah yang beragam.
Jika pendekatan kuktural yang menjadi ciri khas "Islam Nusantara" maka itu bukanlah monopoli "Islam Nusantara" tapi telah menjadi suatu karakter umum dakwah di berbagai wilayah di dunia ini, karena sikap Islam terhadap tradisi dan budaya tempatan, telah tertuang dalam kajian ilmu Ushul-Alfhiq secara terang.
Baca: Begini Tanggapan Polisi Menyikapi Adanya Penolakan Ustaz Abdul Somad di Semarang
Bahkan para ulama Sunatera Barat dengan perjalanan panjang sejarah dakwah Islam di Ranah Minang yang diwarnai dengan dinamika yang bgitu hebat, twlah menjalani langkah-langkah pendekatan kultural tersebut bahkan merka sampai kepada komitmen bersama yang melahirkan "Sumpah Sati Bukit Marapalam" dengan falsafahnya yang sipegang masyarakat Minangkabaubsampai har ini, yaitu: "Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah". "Suara' Mangato, Adat Mamakai". Walaupun telah sampai pada titik kebersamaan tersebut, namun tak seorangpun ulama Minangkabau menambah label Islam di Minang ini dengan "Islam Minang".